Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RAPAT maraton digelar di kantor Pusat Investasi Pemerintah, lantai 5 Graha Mandiri, Jalan Imam Bonjol, Jakarta. Sejak Senin sampai Kamis pekan lalu, Pusat Investasi, Direktorat Jenderal Kekayaan Negara Kementerian Keuangan, dan Nusa Tenggara Partnership—pemegang saham asing PT Newmont Nusa Tenggara—alot menegosiasikan perpanjangan perjanjian jual-beli tujuh persen saham Newmont Nusa Tenggara.
Negosiasi kadang kala harus tertunda lantaran perwakilan dari Nusa Tenggara Partnership harus ke Singapura untuk berkonsultasi dengan kantor pusat. "Perpanjangan perjanjian jual-beli saham sudah diteken. Diperpanjang enam bulan," kata Kepala Pusat Investasi Pemerintah Soritaon Siregar di Jakarta, Kamis pekan lalu.
Nusa Tenggara Partnership dan Pusat Investasi memang sedang diburu waktu. Maklum saja, perjanjian jual-beli yang diteken 6 Mei lalu kedaluwarsa pada 6 November. Gara-garanya, Dewan Perwakilan Rakyat masih mempersoalkan pembelian tersebut. Selain itu, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral belum menyetujui transaksi itu. Akibatnya, Pusat Investasi Pemerintah tak bisa melakukan pembayaran.
Hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan membuat posisi Kementerian Keuangan juga semakin terjepit. Jumat tiga pekan lalu, BPK menyerahkan hasil audit pembelian saham Newmont oleh Pusat Investasi kepada DPR. Sebelumnya, DPR memang meminta BPK mengaudit keputusan pemerintah tersebut.
BPK berpendapat pembelian saham Newmont merupakan penyertaan modal, yang merupakan kewenangan presiden, bukan Menteri Keuangan. "Kami tidak menyalahkan pemerintah," kata Wakil Ketua BPK Hasan Bisri. "Kami hanya berpendapat pembelian itu penyertaan modal yang harus disetujui DPR terlebih dulu," dia menambahkan (lihat "Pembeliannya Tak Salah, tapi Harus Patuh").
Seolah-olah mendapat amunisi, pada 28 Oktober lalu, DPR mengirimkan surat kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono agar menginstruksikan pemerintah daerah Nusa Tenggara Barat membeli tujuh persen saham Newmont. Surat itu diteken Wakil Ketua DPR Pramono Anung.
Meskipun demikian, Pusat Investasi Pemerintah tetap berniat memperpanjang batas waktu pembelian saham. Itu sebabnya Pusat Investasi terus berunding secara maraton dengan pemegang saham Newmont Nusa Tenggara.
OPTIMISME terasa di kantor Pusat Investasi akhir Ramadan, Agustus lalu. Pemicunya, ada tanda-tanda BPK tak banyak mempermasalahkan pembelian saham Newmont. Auditor negara itu, kata sumber Tempo, hanya mempertanyakan sumber dana pembelian. Duit pembelian berasal dari dana investasi Pusat Investasi senilai Rp 1 triliun dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2010 dan sisa keuntungan Rp 1,5 triliun.
Satu setengah bulan setelah Lebaran, para auditor BPK merampungkan audit. Indikasi para auditor BPK "ramah" terhadap Kementerian Keuangan ternyata benar. Menurut sumber Tempo tadi, dalam konsep pendahuluan laporan pemeriksaan, para auditor BPK berpendapat tidak ada yang salah dalam prosedur pembelian saham Newmont Nusa Tenggara, baik oleh Kementerian Keuangan, Pusat Investasi, maupun Newmont. "Comply alias patuh sesuai dengan aturan," ujarnya.
Hasil pemeriksaan auditor tak jauh berbeda dengan hasil kajian hukum internal BPK. Dalam kajian yang diteken Nizam Burhanuddin, Kepala Direktorat Pembinaan dan Pengembangan Hukum BPK, disebutkan dana Pusat Investasi dari APBN ataupun keuntungan bisa digunakan untuk membeli saham Newmont. "Pembelian tujuh persen saham Newmont tak perlu mendapat persetujuan DPR," tulis kajian hukum internal BPK itu.
Hasil pemeriksaan auditor dibawa ke sidang badan. Sidang badan dihadiri tujuh anggota BPK. Seorang pejabat di Kementerian Keuangan mengisahkan, berdasarkan informasi dari narasumber di BPK, dalam sidang badan kedua, auditor berpendapat prosedur Kementerian Keuangan dalam membeli tujuh persen saham Newmont Nusa Tenggara sudah sesuai dengan peraturan. "Para auditor tak berpendapat pembelian saham Newmont itu disetujui DPR terlebih dulu atau tidak," kata dia. "Para auditor tak memasuki wilayah ini. Mereka menyerahkan perbedaan itu kepada DPR dan pemerintah."
Terjadi perdebatan setelah tim auditor melaporkan dan mempresentasikan hasil pemeriksaannya. Di sidang badan itu, Hasan sangat vokal. Hasan menyatakan anggota BPK berhak memberi pendapat atau opini atas rencana Pusat Investasi membeli saham Newmont. Acuannya Pasal 11 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK. Hasan mendapat dukungan dari Ali Masykur Musa, anggota BPK lainnya.
Hasan dan Ali menilai pembelian saham Newmont tergolong penyertaan modal pemerintah. Penyertaan ini diatur Pasal 24 Ayat 7 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Hasan berpendapat penyertaan modal bisa dilakukan dalam kondisi tertentu untuk menyelamatkan perekonomian negara. Kondisi tertentu ini adalah kontrak karya pertambangan. Sesuai dengan kontrak, pemegang saham asing harus melepas 51 persen sahamnya ke Indonesia. "Penyertaan modal perlu izin DPR," ujar si sumber dari Kementerian mengutip Hasan dalam sidang badan tersebut.
Anggota BPK, Taufiequrachman Ruki, berbeda pendapat dengan Hasan. Mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi itu, kata sumber Tempo tadi, menilai Menteri Keuangan tak perlu izin DPR untuk membeli saham Newmont. Alasannya, pembelian itu hanya investasi. Aturan khususnya (lex specialis) sudah jelas: Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara Pasal 41 Ayat 1 sampai 3. Sebagai bendahara umum negara, Taufiequrachman berpendapat, Menteri Keuangan bisa melakukan investasi saham, surat utang, atau investasi langsung. Pendek kata, Menteri Keuangan tak perlu izin DPR untuk membeli Newmont.
Perdebatan panas dan alot berjam-jam tak selesai. Akhirnya terpaksa sidang badan memutuskan menggelar semacam voting. Skornya telak, 6 : 1. Enam anggota BPK berpendapat bisa mengeluarkan sendiri opini audit Newmont. Opini bisa ditebak: Kementerian Keuangan harus meminta izin DPR sebelum membeli saham Newmont. Hanya Taufiequrachman yang berpendapat tak perlu izin Dewan.
Setelah sidang badan tersebut, para auditor terpaksa mengubah hasil audit pembelian saham Newmont. Keenam anggota BPK tadi juga mengabaikan hasil kajian hukum internal BPK. Tak mengherankan, kata sumber Tempo, laporan akhir BPK kepada DPR berbeda dengan hasil pemeriksaan awal para auditor. Di situ BPK berpendapat Menteri Keuangan harus mendapat izin DPR sebelum membeli saham Newmont. "Jungkir balik 360 derajat antara hasil pemeriksaan akhir dan pemeriksaan pendahuluan," ujarnya.
Anehnya, hasil laporan BPK ke Senayan—gedung DPR—tak ditandatangani ketua penanggung jawab pemeriksaan Syafri Adnan Burhanuddin. Auditor utama BPK itu sedang ke London. Hasil pemeriksaan diparaf wakil penanggung jawab Bambang Pamungkas. Saat hasil laporan diserahkan ke DPR, Taufiequrachman juga sedang di Hong Kong.
Sumber Tempo di Kementerian Keuangan mempertanyakan kejanggalan-kejanggalan itu. Dia juga menilai langkah BPK menggunakan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003, terutama Pasal 24 Ayat 7, tidak tepat. Alasannya, penyertaan modal hanya mengacu pada kondisi tertentu penyelamatan perekonomian negara. "Penyelamatan perekonomian negara itu force majeure (darurat)," katanya. Pembelian saham Newmont tak termasuk penyelamatan perekonomian negara. Sebab, meski pemerintah tak melakukan penyertaan modal di Newmont pun negara atau perekonomian tidak terancam. "Penyertaan modal di situ tak dibolehkan karena syaratnya tak memenuhi," ujarnya. "Investasilah yang tepat."
Dalam konteks pembelian saham Newmont, sumber ini melanjutkan, BPK justru telah melakukan audit hukum (legal opinion) atau melakukan tafsir hukum atas pasal-pasal Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003. "Pertanyaannya, apakah BPK punya otoritas, wewenang, dan kapabilitas menafsirkan hukum?"
Hasan menampik BPK telah mengeluarkan opini hukum pembelian saham Newmont. "Kami mengaudit implementasi atau kepatuhan atas peraturan dan perundangan-undangan," ujarnya. Menurut dia, hasil pemeriksaan auditor berubah karena memang belum final. "Pada pemeriksaan awal, para auditor hanya melihat Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2008—petunjuk teknis Undang-Undang Perbendaharaan Negara," ujarnya.
Adapun Taufiequrachman enggan berkomentar banyak. BPK, kata dia, bukan lembaga komando seperti angkatan bersenjata atau kepolisian sehingga, bila ada perbedaan pendapat, wajar saja. "Itulah pendapat institusi. Saya menghormatinya," ujarnya kepada Tempo lewat pesan pendek. "Beda pendapat tak harus ditampilkan sebagai dissenting opinion karena BPK lembaga audit, bukan lembaga yudisial."
BPK sudah mengetukkan palunya. Toh, optimisme di Pusat Investasi tak hilang. Mereka tetap yakin benar. "Kalau berdebat benar atau salah dalam konteks perundangan, kami siap fight," ujarnya (lihat "Pembelian Newmont Investasi Nonpermanen).
Tampaknya perdebatan soal pembelian saham Newmont masih akan panjang. Presiden, menurut Menteri Pertambangan Jero Wacik, telah meminta Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia menyelesaikan perbedaan pendapat hukum tersebut. "Pemerintah akan menempuh jalur hukum," ujarnya di Jakarta pekan lalu.
Padjar Iswara, Agoeng Wijaya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo