Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bulan ini merupakan hari-hari yang merepotkan lagi untuk Madelaine—bukan nama sebenarnya. Perempuan separuh baya asal Australia ini mesti mengurus kartu izin tinggal tetap ke Direktorat Jenderal Keimigrasian di Kuningan, Jakarta Selatan. Kartu "izin lima tahunan" miliknya segera kedaluwarsa. "Jika kartu itu tidak berlaku, saya bisa dideportasi," katanya pekan lalu kepada Tempo.
Bila dideportasi, itu berarti bencana bagi Madelaine dan keluarganya. Ibu tiga anak ini sudah belasan tahun menjadi tulang punggung keluarga. Suaminya, yang warga negara Indonesia, kehilangan pekerjaan sejak badai krisis moneter menghantam negeri ini pada 1998. Ketika suaminya masih bekerja dulu, praktis kebutuhan ekonomi mereka tak ada masalah. "Kini saya sendiri yang menanggung mereka semua," kata Madelaine.
Sekarang kenyataan pahit ini harus dihadapi Madelaine. Tak banyak orang tahu ia bekerja sebagai guru di sebuah sekolah internasional di Jakarta. Sesekali ia juga menyambi sebagai penerjemah sebuah lembaga internasional, profesi sampingan yang kerap ia lakukan saat suaminya masih bekerja dulu. Tentu saja semua itu ia lakukan dengan cara sembunyi-sembunyi. Soalnya, selama puluhan tahun, surat izin yang ia kantongi memang hanya untuk menetap, bukan bekerja. Itu pun dengan mudah ia peroleh karena menikah dengan warga negara Indonesia. "Mengurus surat izin bekerja di sini sangat sulit," katanya.
Harapan Madelaine sempat melambung ketika pemerintah mengesahkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian pada Mei lalu. Pasal 61 beleid itu menyebut para pemegang kartu izin tinggal terbatas dan izin tinggal tetap boleh mencari nafkah di Indonesia, khususnya para pasangan kawin campur. Tapi itu semua bukan jaminan ia bebas mencari kerja. Soalnya, di satu sisi, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menegaskan, warga asing harus mendapat izin dari Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi sebelum bekerja. Nah, Madelaine tak punya izin itu. "Seharusnya saat ini saya sudah ditangkap," kata perempuan yang fasih berbahasa Indonesia ini.
Kartu izin menetap atawa biasa disingkat kitap diberikan kepada warga negara asing yang hendak berdomisili di Indonesia dengan masa lima tahun. Izin ini hanya diberikan kepada mereka yang suami atau istrinya serta anak-anaknya warga negara Indonesia. Juga bagi yang sudah lama bekerja di Indonesia. Lalu, ada lagi kartu izin terbatas atau kitas, yang lebih mirip visa tahunan. Bila sudah sering mengurus kitas, warga asing akan lebih mudah mengurus kitap. Syarat utama mendapatkan dua izin itu: mesti ada sponsor, entah dari suami/istri atau perusahaan tempat ia akan ditampung.
Mendapatkan dua jenis surat itu tak gratis. Biaya resmi mengurus kitas, misalnya, Rp 750 ribu. Bila lewat calo, dan relatif keluarnya lebih cepat, harganya naik jadi Rp 3-5 juta. Adapun harga resmi kitap lebih tinggi, yakni Rp 3 juta. Lewat calo? Bisa sampai Rp 75 juta. Harga ini bervariasi, tergantung besar-kecilnya perusahaan yang menjadi sponsor. Pintu calo ini membuat pengurusan kitap dan kitas hanya dalam hitungan hari. Kendati melelahkan, Madelaine memilih mengurus sendiri. "Saya tak sanggup membayar calo," katanya.
Tapi, ya itu tadi, kendati sudah mengantongi kitas dan kitap, bukan berarti mereka bisa bekerja di Indonesia. Menurut Undang-Undang Ketenagakerjaan, pekerjaan yang dilakukan orang asing harus sesuai dengan izin yang dikeluarkan. Artinya, dilarang menyambi. Penjaminnya juga harus perusahaan besar, tak boleh perseorangan. Sponsor Madelaine, misalnya, hanyalah sang suami. Sekolah tempat ia bekerja enggan menjadi sponsor karena terbentur biaya. Toh, kedua pihak ini sama-sama menutup mata telah melanggar peraturan. "Orang asing yang mengalami dan melakukan hal seperti saya ini jumlahnya ribuan," katanya.
Perkara ruwetnya izin bekerja juga dialami suami Nia K. Schumacher. Pria yang berstatus warga negara Jerman ini tak bisa bekerja selain di sektor pendidikan. Padahal suaminya memiliki keahlian sebagai konsultan teknik. Tapi izin membatasi mereka. Pernah tebersit niat keduanya nekat membuka biro konsultan teknik berdasarkan UU Keimigrasian yang baru itu. Namun keinginan keduanya langsung kempis setelah mempelajari UU Ketenagakerjaan. "Kalau ditangkap, suami saya tak akan boleh ke Indonesia lagi," kata perempuan berusia 42 tahun ini.
Koordinator Aliansi Pelangi Antar Bangsa—lembaga yang mengurusi persoalan kawin campur—Julie Mace, menyebut ada ratusan pasangan kawin campur yang mengalami nasib serupa. Aliansi Pelangi pernah diminta Dewan Perwakilan Rakyat memberi masukan untuk revisi RUU Imigrasi. Julie beserta anggota lembaga ini awalnya sangat menyambut baik undang-undang yang baru. Namun mereka kecewa setelah UU Ketenagakerjaan mengganjal harapan mereka. "Posisi kami pasangan kawin campur ini kembali lemah," katanya.
Di mata anggota Komisi Hukum DPR, Eva Kusuma Sundari, UU Keimigrasian yang baru itu mestinya bersifat lex posterior derogat legi priori, peraturan baru "mengalahkan" peraturan yang lama. Dengan demikian, Undang-Undang Ketenagakerjaan tak boleh melarang warga negara Indonesia yang memiliki pasangan warga negara asing mencari nafkah. Hanya, prakteknya, kata Eva Kusuma, setelah undang-undang itu disahkan, keberatan langsung datang dari Kementerian Tenaga Kerja, yang merasa urusan pekerjaan bukanlah urusan Imigrasi. "Mereka (Menteri Tenaga Kerja) merasa wilayahnya diambil Imigrasi," kata anggota Fraksi PDI Perjuangan ini.
Juru bicara Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Suhartono, membantah jika dikatakan pihaknya tak sejalan dengan semangat Undang-Undang Imigrasi baru itu. "Kami masih seiring sejalan dengan Direktorat Jenderal Keimigrasian," ujarnya. Menurut Suhartono, kementeriannya dan Direktorat Imigrasi sama-sama sepakat, pasal 61 hanya ditujukan kepada perorangan. "Kalau perusahaan atau kelompok, masih wilayah kami," katanya.
Direktur Izin Tinggal dan Status Keimigrasian Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Firdaus Amir, menyebut UU Keimigrasian yang baru sudah jauh lebih toleran. "Banyak yang salah kaprah dengan Pasal 61 UU Keimigrasian ini," ujarnya. Pasal itu, kata Firdaus, memang ditujukan untuk pasangan kawin campur yang istri atau suaminya ingin bekerja. Namun pekerjaan yang dimaksud hanya memenuhi kebutuhan hidup seperti yang tercantum di pasal itu. "Tidak ditujukan bagi pekerjaan seorang expert," katanya kepada Tempo.
Menurut Firdaus, kategori pekerjaan yang bisa memenuhi kebutuhan hidup inilah yang kini tengah dibahas bersama Kementerian Tenaga Kerja. Rencananya, akan dibuat peraturan pemerintah yang akan membahas spesifik apa itu kriteria pekerjaan yang dikategorikan sekadar memenuhi kebutuhan hidup. Ini, ujarnya, dilakukan agar tidak ada tumpang-tindih antara UU Keimigrasian dan UU Ketenagakerjaan. Jika tak ada aral melintang, pada pertengahan November ini pembahasan rancangan peraturan pemerintah itu dilakukan. "Dan selama belum ada peraturan pemerintah ini, warga asing tak boleh sembarangan bekerja," katanya.
Mustafa Silalahi, Gita Lal
Tumpang-Tindih
UU No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian
Pasal 61:
Pemegang Izin Tinggal terbatas sebagaimana dimaksud dalam pasal 52 huruf e dan huruf f dan pemegang izin tinggal tetap sebagaimana dimaksud dalam pasal 54 ayat (1) huruf b dan huruf d dapat melakukan pekerjaan dan/atau usaha untuk memenuhi kebutuhan hidup dan/atau keluarganya.
UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan
Pasal 1 (13):
Tenaga kerja asing adalah warga negara asing pemegang visa dengan maksud bekerja di wilayah Indonesia.
Pasal 42:
Pasal 185 (sanksi)
(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 42 ayat (1) dan ayat (2), pasal 68, pasal 69 ayat (2), pasal 80, pasal 82, pasal 90 ayat (1), pasal 143, dan pasal 160 ayat (4) dan ayat (7) dikenai sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo