BERHATI-hatilah, dia pembunuh sadistis," kata Hunter memperingatkan rekannya, Dee Dee McCall. Sementara itu, saking rindunya pada Oshin, Ryuzo berkata, "Tak satu pun surat yang datang, rupanya Oshin sudah melupakan saya." Nah, pemirsa, kalimat-kalimat seperti itu kelak akan muncul berupa dialog langsung dalam bahasa Indonesia. Memang, baik Hunter, Dee Dee McCall, Oshin, ataupun pelbagai tokoh lain, akan tetap berdialog dalam bahasa masing-masing. Hanya saja kelak, yang terdengar bukan lagi kalimat-kalimat asing, tapi langsung kalimat-kalimat bahasa Indonesia. Sebab, mulai tahun depan, TVRI sudah akan menggunakan dubbing system dan total editing. "Dengan peralatan ini, penonton bisa menikmati jalan cerita film dengan lebih baik," kata Direktur Televisi Ishadi. Maklum, selama ini banyak pemirsa yang dikecewakan oleh teks film (subtitel), yang sering tak sesuai dengan adegan di layar. Entah karena teksnya yang mendahului adegan, atau sebaliknya. Menurut Ishadi, sudah sejak 1987 TVRI mengajukan permohonan pada pemerintah untuk membeli peralatan ini. Alhamdulillah, jawabannya tiba Desember tahun lalu. Japan's Aid Grant Program, melalui Japan International Corporation Agency, sanggup memasok peralatan yang dibutuhkan TVRI, lengkap dengan tenaga ahlinya. Semua gratis -- kalau membeli pemerintah harus mengeluarkan sedikitnya 502 juta yen atau sekitar Rp 6,77 milyar. Jadi, mulai tahun depan, TVRI tak perlu repot menerjemahkan. Soalnya, itu bukanlah pekerjaan mudah. Bayangkan, dalam seminggu ada 21 film yang diputar. Padahal menurut Gogor R. Arifitantyo, Kasubdit Naskah Film TVRI, hasil terjemahan sebuah film seri bisa sepanjang 300 halaman. Baru di saat film disiarkan, teks terjemahan itu ditembakkan ke layar secara manual. Tak jarang, karena panjangnya terjemahan, sang petugas jadi lengah. Maka, subtitel pun adi tak sesuai dengan adegan. Lantas bagaimana dengan pemirsa asing yang tidak mengerti bahasa Indonesia? Tak perlu khawatir, mereka tetap bisa menikmati serial film TV dalam bahasa aslinya. Sebab, dubbing system ini memiliki empat jalur suara. Satu jalur digunakan oleh dialog berbahasa Indonesia, jalur lainnya yang menggunakan bahasa Inggris akan dipancarkan melalui gelombang radio FM. Artinya, "Kami juga akan membuka channel khusus bagi mereka yang ingin mendengarkan suara aslinya," kata Dachlan, Kasubdit Teknik TVRI. Untuk urusan dubbing ini, TVRI akan merekrut artis dan para dubber yang profesional tentu saja -- yakni mereka yang terbiasa melakukan dubbing. Dengan demikian, perbedaan antara gerak bibir dan suara yang keluar -- seperti pada film Oshin -- tidak terlalu besar. "Mereka kan sudah terbiasa mengisi suara," kata Ishadi. Bibir Ishadi menyungging senyum, tapi bibir Arswendo Atowiloto sebaliknya. Pemimpin redaksi majalah Monitor itu, ternyata sangat tidak setuju dengan dubbing. Alasannya, tidak semua film cocok dengan teknologi ini. Film-film seri komedi, misalnya, kalau di-dubb bisa menjadi tidak lucu lagi. Atau film action. "Masa, ada orang Barat bicara begini: 'Gue bunuh lu!' Kan tidak cocok," ujar Arswendo. Nada tak setuju terdengar pula dari kalangan pelajar dan mahasiswa. Katanya, dubbing hanya akan menjauhkan mereka dari bahasa Inggris. "Dubbing itu tidak mendidik," kata Hani Adji, mahasiswi. Memang betul, Dik, tapi silakan saja putar channel khusus untuk pemirsa asing. Oke?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini