SEPANJANG JALAN KENANGAN: SEBUAH KOMEDI MASYARAKAT Oleh: Muharyo Penerbit: PT Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 1988, 311 halaman ADEGAN: depan sebuah loket kantor pos. Sederetan orang-orang ubanan antre hendak mengambil uang pensiun. Sambil menunggu namanya dipanggil, mereka mencincang waktu dengan adu obrolan, membanyol, dan mengodol-odol pengalaman konyol. Ada yang mengatakan pernah tinggal di daerah terpencil dan bertetangga macan. Ada yang mendongeng pernah berkelahi melawan singa. Bahkan ada mantan pejuang menyatakan pernah mencuri dokumen dari laci meja Jenderal Spoor. Dalam adegan itu terselip sekuen-sekuen yang menyoroti perilaku para pensiunan, yang bukan saja mengharapkan uang pensiunnya "disesuaikan", tapi juga merasakan kebutuhan berkumpul, meski harus tersiksa berdiri dalam antrean. Mereka perlu bernostalgia membuka-buka album lama. Masih ada ratusan adegan serupa itu yang dipergelarkan oleh "dalang" Muharyo, yang sesuai dengan judulnya, menampilkan beragam kenangan. Suka-duka mengatasi berbagai cobaan, atau membaktikan jasa bagi masyarakat meski tidak tampak, atau sengaja tidak ditampakkan, atau tidak diakui secara resmi -- menjadi kebanggaan pribadi, lantaran dapat menggusur stres, mengobati frustrasi karcna tak punya kantor lagi, apalagi ajudan. Paling tidak, kebanggaan semacam itu dapat didongengkan kepada anak-cucu, asal tanpa tendensi menggurui, tanpa pamrih hendak mendirikan kerajaan tersendiri, menobatkan diri menjadi kaisar dan anak-cucunya menjadi kawula yang patuh pada aturan tunggal sang maharaja. Muharyo cukup mampu mengendalikan hampir semua tokohnya. Juga dalam pasemon atau sentilan, pada umumnya ia mampu mengontrol, karena sebelum membeberkan lakon, ia berangkat dari rumah dengan bekal kesadaran akan humor. Humor tampaknya memang masih tetap disahkan sebagai sarana untuk menyentil, hanya dengan satu syarat: jangan mengejek atau menyinggung perasaan secara personal. Memang tidak sedikit dalang yang lantaran berpegang pada itikat membanyol, tanpa sadar menertawakan orang yang bibirnya ndower atau cacad "onderdil" tubuh. Muharyo, dilihat dari sekian banyak lakon yang disuguhkanya, jelas seorang pencerita, pengamat masyarakat dan perilaku manusia, lagi humoris. Jangkauan pengalamannya membentang sejak masa kanak-kanak di HIS, dengan tokoh-tokoh semacam Eyang Siten (Asisten Wedana) nJiken, Bude Reso sebagai satu-satunya anggota keluarga yang salat dan puasa, hiruk-pikuk Imlek dan Capgomeh dengan barong liong, atau setori babu naik pangkat yang klasik itu. Melewati zaman Jepang dengan kinrohoshi plus tamparannya, sampailah di zaman perjuangan dengan menampilkan anak-anak TP (Tentara Pelajar), hingga zaman sekarang dengan general check up di klinik canggih, dan oom-oom oversek (over-seked, lewat usia lima puluh tahun) yang suka show of force dengan akal-akal kawin lagi. Tapi Muharyo bukan pengejek. Ia sendiri, tersirat, pernah mengalami dan menghayati pasang-surut kehidupan. Ia bisa menerima setiap keadaan sebagaimana adanya, tanpa perlu meratapi nasib yang hanya akan menimbulkan stres dan frustrasi. Ia dapat membuat diagnosa dan terapi sendiri, bahwa selain pasrah kepada Tuhan, menyalakan harapan, dan membanting tulang, juga perlu melihat dunia dengan sikap humor. Konon, humor itu seperti menu yang bermanfaat, berselera tapi tidak menggendutkan seperti bestik empuk, tapi tanpa gemuk. Jadi, enak dan perlu juga. Di Amerika humor jadi barang dagangan penting. Pakar-pakarnya yang terkenal antara lain Dr. Matt Weinstein, pendiri biro konsultasi Playfair, yang setiap tahun mengajar lebih dari 10.000 orang agar lebih suka berlelucon. Juga Dr. Joel Goodman, yang mengelola The Humor Project, yang membuat program-program humor bagi para manajer, eksekutif, pendidik, pengelola rumah sakit dan konsultan di Amerika, Kanada, Norwegia, Swedia, dan Panama. Atau pasangan Lynne Alpern dan Esther Blumenfeld, yang secara teratur memberikan ceramah di Emory University dengan topik khas "Adding Humor to Your Life: the Salt Free. Low Calories, Polyunaturated, All-Natural Guide to Feeling Good". Humor memang berkhasiat. Dalam studi-studi ilmiah dapat disimpulkan bahwa lelucon dapat memperlancar peredaran darah, memperkuat organ-organ dalam tubuh, mengendurkan urat, dan merangsang produksi endorfin yang khasiatnya menghilangkan rasa sakit. Dalam buku laris Anatomy of an Illness Norman Cousine membeberkan bagaimana ia menyembuhkan penyakit sumsum tulang belakangnya dengan banyak melahap buahbuahan yang bervitamin C dan menonton film-film dagelan Marx Brothers. Kesimpulan dia, lelucon itu dapat membina pandangan hidup yang positif, yang mampu mempercepat proses penyembuhan. Ada pendapat, terutama terhadap orang-orang yang sudah berusia sekitar setengah abad, bahwa mereka tampak semakin serius, kurang suka bercanda, dan merasa dirinya "tidak pantas" melucu sehingga kelihatan angker. Mengapa dunia dilihat dengan kaca mata yang kelewat gelap? Penulis seperti Muharyo jelas punya misi untuk mengajak memandang dunia ini lebih berseri. Muharyo seorang humoris. Dan karena untuk menjadi humoris tidak perlu melalui pendidikan formal, ia pun sangat pantas disebut sebagai humoris yang "humoris causa". Sugiarta Sriwibawa
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini