KETIKA para pemimpin Indonesia, di awal 1950-an, pada umumnya menggebu-gebu dengan gagasan nasionalisasi, Syafrudin Prawiranegara, hampir sendirian, secara sangat vokal menentang rencana itu. Padahal, hal itu juga sudah diputuskan dalam Kongres Masyumi di Yogyakarta, Desember 1949, dan ia sendiri menduduki posisi penting sebagai mentcri keuangan dalam Kabinet Hatta maupun Natsir. Nasionalisasi terhadap De Javasche Bank kemudian dilakukan juga oleh Kabinet Sukiman-Suwirjo. Dan Syafrudin ditunjuk sebagai presiden bank itu oleh Menteri Keuangan Jusuf Wibisono, karena ia adalah tokoh yang bisa diterima pihak Belanda, baik atas dasar moral maupun kompetensinya. Namun, dalam jabatannya yang baru itu, ia masih tetap juga berpegang pada pendiriannya semula, dengan alasan-alasan rasional-ekonomi. Ia berpendapat bahwa nasionalisasi, apabila dilaksanakan pada waktu itu, hanya berarti pemborosan keuangan negara. Pada waktu itu, negara sedang kekurangan dana, baik rupiah maupun devisa. Dari pada dana yang terbatas itu dipakai buat menggantikan modal asing, lebih baik dipergunakan untuk pembangunan pertaman, terutama mencapai swasembada pangan dan membangun daerah dengan transmigrasi. Perusahaan-perusahaan asing, terutama milik Belanda, perlu dipertahankan dan malah dianjurkannya untuk mengundang modal asing. Suara seperti itu sudah tentu dianggap sumbang dan malahan melawan arus. Tapi ia justru menulis sebuah artikel khusus yang "mencuci pikiran" kaum nasionalis pada waktu itu, dan berusaha meyakinkan bahwa modal asing itu tidak berbahaya bagi bangsa dan negara, malah sangat diperlukan. Apabila modal asing sudah masuk dan berperan dalam meningkatkan produksi, maka yang perlu dilakukan pemerintah adalah mengontrol dan menentukan pembagian hasil produksinya. Buruh harus mendapat upah dan jaminan sosial yang layak, pemilik tanah perlu mendapatkan sewa tanah yang pantas, negara akan mendapat pajak yang diperlukan untuk menyelenggarakan pemerintahan, ada cukup cadangan guna pemeliharaan modal, dan pemilik modal perlu mendapatkan cukup keuntungan, sehingga masih menarik baginya untuk melanjutkan perusahaannya. Fungsi-fungsi modal di atas, menurut Syafrudin, baru bisa dilaksanakan oleh modal asing. BUMN yang mengambil modal asing akan menanggung beban yang terlalu berat, malah ia yakin tidak bisa. Karena itu, menurut dia, sebelum memiliki pengalaman dan tenaga ahli yang cukup, nasionalisasi barulah berarti "pemindahan hak". Malah di tangan yang belum berpengalaman, ia meramalkan bahwa produksi akan merosot. Pemerintah akan banyak memberi subsidi dan proteksi. Tapi yang akan menjadi korban adalah konsumen. Atas dasar alasan itu, ia berpendapat, untuk sementara industrialisasi lebih baik diserahkan kepada modal asing. Tapi bangsa Indonesia perlu banyak belajar berproduksi dan memimpin perusahaan. Strategi yang dipilihnya bukan nasionalisasi, melainkan "Indonesianisasi". Inilah yang dilakukannya di Bank Indonesia. Dengan gigih ia mempertahankan staf Belanda, memanfaatkan dan memperlakukan mereka baik-baik. Secara sadar Syafrudin melakukan transfer keahlian untuk mendidik kader-kader profesional. Syafrudin, yang sarjana hukum, menapat pengalaman ekonominya di Jawatan Pajak, baik di masa Belanda maupun Jepang. Ini memberi dasar bagi sikap prudennya dalam APBN. Dalam kedudukannya sebagai Gubernur BI, yang mampu ia pertahankan selama enam tahun, sejak Juli 1951, keprihatinan utamanya adalah menjaga keseimbangan moneter baik dari segi APBN maupun neraca pembayaran, dan menahan tingkat inflasi serendah mungkin. Di sini ia juga hampir sendirian dalam menganjurkan prinsip anggaran berimbang di tengah-tengah arus kuat dalam setiap kabinet untuk menjalankan cara pembiayaan defisit. Ia terpaksa berbeda pendapat dengan rekan separtainya, Jusuf Wibisono, yang menganjurkan pembiayaan defisit untuk melakukan industrialisasi. Rencana Urgensi Industrialisasi yang diprakarsai Sumitro Djojohadikusumo juga dikritiknya, karena rencana ini, yang diteruskan pelaksanaannya oleh kabinet-kabinet selanjutnya, dipandang terlalu "ambisius", mengingat ketersediaan dana pemerintah. Sumitro sendiri berpendapat bakwa prinsip anggaran berimbang perlu dilaksanakan secara fleksibel, sebab kalau tidak akan terjadi stagnasi. Menurut Syafrudin, RAPBN yang dircncanakan defisit harus bisa ditutup dengan pinjaman dalam negeri, lewat pasar uang dan modal, tetapi karena lembaga ini belum berkembang, ia menganjurkan pinjaman luar negeri. Tapi besarnya juga perlu dipertimbangkan, sesuai dengan kemampuan dana rupiahnya untuk modal kerja. Kalau tidak pemerintah akan terpaksa membiayainya dengan mencetak uang, yang berarti juga Inflasi. Kecenderungannya yang sangat kuat adalah menajamkan skala prioritas. Proyekproyek pemerintah haru diarahkan ke bidang-bidang produktif. Ia juga menganjurkan pengurangan anggaran militer dan sosial, kecuali di bidang pendidikan yang dinilainya terlalu dianaktirikan. Sejalan dengan pendiriannya di atas, ia juga selalu mengingatkan agar pemerintah tidak memperluas birokrasi. "Salah satu penghalang yang terbesar dalam pelaksanaan pembangunan," katanya, "adalah birokrasi." Perluasan birokrasi ini biasanya diikuti berbagai peraturan baru. Setiap peraturan akan membawa konsekuensi administrasi dan organisasi yang luas, yang selalu berarti penambahan biaya, apalagi jika setiap waktu mengalami perubahan. Karena itu, ia menganjurkan penyederhanaan peraturan dan perundang-undangan negara. Syafrudin, oleh kawan-kawan seperjuangannya, sering disebut sebagai tokoh yang suka berbicara terus terang. Berbicara terus terang mengenai dirinya, kita bisa menilai bahwa pandangan-pandangannya tentang pembangunan ekonomi nampak selalu didasarkan kepada pertimbangan-pertimbangan efisiensi mikroekonomi. Ia sebenarnya penganut aliran marginal Neo-Klasik. Hal ini lebih tampak dari penolakannya terhadap aliran Keynesian, yang menampilkan peranan pemerintah. Ia sangat curiga terhadap efisiensi birokrasi yang besar, intervensi pemerintah yang terlalu jauh, dan kemampuan BUMN sebagai badan usaha. Sepintas ia nampak sebagai penganut moneterisme Friedman, kalau melihat pahamnya yang minimalis terhadap peranan negara. Tapi berbeda dengan riedman, Syafrudin tidak berpendapat bahwa volume uang yang beredar dapat menggerakkan kegiatan ekonomi masyarakat. Di Indonesia, lebih-lebih di masa 1950-an, lembaga-lembaga ekonomi, selain belum banyak berkembang, juga belum berfungsi sebagaimana mestinya. Syafrudin berpandangan bahwa kredit belum tentu bisa menggerakkan produksi, karena faktor nilai yang mempengaruhi tabiat dan pribadi anggota masyarakat, demikian pula kemampuan dan pengalaman masyarakat sendiri. Karena itu, ia melihat pentingnya mengembangkan sumber daya manusia, baik dari segi motivasi maupun kemampuan teknis dan manajerialnya. Sikapnya yang rasional-ekonomis, yang mengutamakan prinsip-prinsip efisiensi, keseimbangan moneter, dan keuntungan komparatif dalam industri dan ekspor dalam pandangannya tentang kebijaksanaan ekonomi, sering menutup jiwa nasionalismenya, bahkan mengganggu pengakuannya sendiri sebagai seorang sosialis-religius. Namun, kepribadiannya itu barangkali bisa dijelaskan dengan orientasinya kepada kesempatan kerja, peningkatan daya beli rakyat, perlindungan kepada konsumen, perluasan kredit kepada pengusaha kecil, pembangunan pertanian, pembentukan modal nasional lewat peningkatan produktivitas, dan pegangannya yang kuat kepada moral ekonomi Islam. M Dawam Raharjo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini