MENDIANG pelawak Gepeng memang dikenal "edan". Para sobatnya tahu betul, dia lebih suka berhenti jadi orang ketimbang harus berhenti menenggak alkohol. Bahkan ketika penyakit lever menyatroni dirinya, Gepeng acuh saja. Kebiasaannya minum dan mabuk tetap berlanjut meski sudah berkali-kali harus indekos di rumah sakit dan muntah darah. Tahun lalu, seniman serba bisa itu menemui ajalnya. Levernya berantakan dihajar alkohol. Sungguh tragis. Ia seolah tak peduli pada segala jerih payah yang telah membawanya ke puncak popularitas dan kemewahan. Padahal, kebolehannya tak diragukan lagi, baik di panggung lawak, ketoprak, wayang kulit, maupun film kocak. Mengapa tokoh sehebat dia bisa berperilaku ngawur? Dalam psikologi, bisa jadi lantaran kena penyakit manic-depressive, yakni gangguan jiwa yang membuat penderitanya tak sanggup mengontrol gejolak emosi. Tata krama pun tak dipedulikan, karena perilaku tak lagi dikendalikan oleh akal sehat. Bila kumat, penderita bisa merasa tcrlalu gembira, sehingga tak sanggup menahan tertawa, sekalipun berada di kamar mayat. Sebaliknya, bisa pula dirundung sedih dan murung yang bukan kepalang, hingga merangsang niat untuk bunuh diri atau menyakiti diri sendiri. Pada stadium ringan, penderita memang masih bisa berkompensasi untuk menekan sensasi, misalnya dengan menenggak alkohol atau lari ke psikiater. Dari banyak kasus, terlihat bahwa justru orang-orang yang punya bakat alam cemerlang cenderung demikian. Uniknya, mereka bisa lebih kreatif kalau sedang kumat. Secara teoretis, pada saat itu mereka sanggup menyalurkan lebih banyak energi dan kreativitas," ujar Dr Michael Gittlin, Direktur Lembaga Neuro Psikiatrik Universitas California, AS. Yang menarik adalah hasil penelitian Dr. Kay Jamison (1986), dari Asosiasi Psikiatri Amerika, terhadap sejumlah artis, penulis, dan penyair. Hasilnya mencengangkan: 30% mengaku menderita manic-depressive. Dari kelompok itu, yang paling menderita adalah penyair, karena separuhnya tergolong menderita gangguan jiwa itu, jauh di atas persentase rata-rata seniman lainnya. Tapi jangan sangka penyakit itu cuma menyergap mereka yang pernah mengalami syok -- seperti orang kaya atau populer mendadak -- hingga tak siap secara kejiwaan. Syok hanya faktor pelengkap yang memperparah penyakit yang diduga bersumber pada kromosom 11 itu. Dalam hal ini, faktor keturunan lebih menentukan ketimbang faktor psikis. Terbukti, 60% sampai 70% pembawa gen itu menunjukkan gejala kejangkitan manic-depressive. Dua bintang film sangat cantik dan amat tersohor di zamannya, Jennifer Jones dan Vivien Leigh, mungkin adalah penyandang bakat bawaan itu. Di samping kemasyhuran, tak ada hal-hal serius yang katakanlah "merusakkan" hidup mereka. Jennifer dirundung murung terus-menerus dan berkali-kali mencoba bunuh diri. Hanya saja, publikasi tentang ini bisa dibendung, karena suaminya adalah jutawan film, David O. Selznick. Dua tahun sesudah sang suami meninggal, Jennifer -- lagi-lagi coba bunuh diri -- ditemukan terapung-apung di pantai Malibu. Ia masih bisa diselamatkan, bahkan kemudian menikah lagi dan akhirnya dinyatakan sembuh. Lain halnya Vivien, pemeran Scarlet 0'Hara dalam film Gone with the Wind yang sangat memukau itu. Kalau penyakitnya kambuh, ia bukan berusaha bunuh diri, tapi -- dan ini sangat menyiksa suaminya, aktor besar Lawrence Olivier -- menggoda laki-laki lain, tanpa pilih-pilih. Bisa tukang kebun, kacung, atau lawan mainnya dalam film. Pada puncak depresinya, Vivien, yang waktu itu sedang dalam perjalanan di pesawat udara, mendadak mencabik-cabik pakaiannya, menjerit-jerit seraya mengatakan bahwa pesawat itu akan jatuh, lalu menyerang siapa saja yang mencoba menenangkannya. Di samping sukses besar dan bakat bawaan, manic-depressive juga bisa muncul akibat pengalaman sangat dramatis yang menimpa diri seseorang, hingga ia cenderung "menghancurkan diri sendiri". Connie Francis, misalnya, penyanyi tenar bersuara mezzo-sopran tahun 1960-an. Ia, pada tahun 1974, diperkosa di sebuah kamar hoel di Long Island. Sejak itu, Connie tak pernah waras betul, bahkan pada tahun 1983 ia terpaksa dimasukkan ke rumah sakit jiwa, karena menderita manic-depressve. Lebih dari sekali memang, Connie mencoba -- dan berhasil menegakkan kariernya kembali, namun tiap kali pula ia harus dilarikan ke rumah sakit. Penyanyi ini selalu dicekam rasa takut, ke mana pergi selalu dikawal, dan tak pernah lagi mau menginap di hotel. Batinnya tetap tidak bisa menerima pemerkosaan itu, bahkan senantiasa terbelenggu dalam kalut dan ketakutan. Kuat dugaan, Connie yang punya jutaan penggemar di seluruh dunia itu takkan pernah tersembuhkan. Aktris Pamela Presntiss lain lagi Pada tahun 1964, di tengah shooting film What a New Pussycat, yang dibintangi bersama aktor Peter O'Toole, dia kepergok mencoba bunuh diri. Lalu, setelah film itu rampung, Pamela menghilang selama 5 tahun. Ternyata, ia menghabiskan sebagian besar waktunya di sebuah rumah sakit jiwa. Setelah pulang ke rumah, Pamela membeberkan cerita yang di telinga awam sulit diterima. "Di sana, Anda menemukan sebagian dari orang yang sangat baik dan sangat cemerlang." Lebih jauh lagi Pamela bilang, "Dan Anda akan mengetahui inti dari watak mereka -- tak suka main belakang, tipu muslihat. Mereka hanya manusia yang jujur, murni, dan kasar." Memang, penderita manic-depressive tak bisa menyembunyikan perasaan. Kalau benci ya benci, begitu pula kalau senang. Apalagi jatuh cinta. Cuma perasaan mereka cepat berubah-ubah, sekarang benci besok cinta, itu biasa. Seperti kata William Frosch, psikiater dari Universitas Cornell, "Mereka sepertl penumpang roller-coaster yang remnya blong."Praginanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini