WARTAWAN, kendati sering dianggap sebagai momok, sebenarnya tak beda dengan warga biasa. Ia tak kebal hukum, dan tak memiliki hak-hak istimewa lainnya. Artinya, wartawan juga bisa dihadapkan pada sebuah situasi yang tidak menguntungkan. Ini dialami Elkana Lengkong, wartawan majalah Detik (Detektip Informasi-Kriminil). Pekan lalu, ia terpaksa memasang iklan permohonan maaf di harian Kompas, kepada Mierawan H.S., Dirut PT Iradat Puri selaku seorang sumber berita. Dalam ikian tersebut, Lengkong mengaku telah merugikan dan mencemarkan nama baik Mierawan. Pasalnya, dalam Detik nomor 0428, 0430, dan 0431 -- terbit bulan Juni-Juli 1987 -- nama Mierawan selaku Direktur Utama telah dikaitkan dengan hilangnya (atau mungkin kematiannya) A.P. Limbong Allo, Kepala Kantor Pemangku Hutan (KKPH) Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah, di tahun 1971! Lho? Ini memang kasus lama, tapi populer. Awal cerita, dimulai tahun 70-an, ketika kayu hitam alias ebony ramai diperebutkan orang. Nah, waktu itu, KKPH Limbong Allo diajak Mierawan ke Dusun Tambarana untuk menyaksikan pembelian kayu hitam. Tapi entah mengapa, sejak itu Limbong tak pernah kembali. Dan pula tak pernah ditemukan jejak ataupun mayatnya. Sementara itu, dari beberapa kesaksian yang dihimpun dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang kemudian dikutip habis oleh Elkana Lengkong, ada tersirat bahwa Limbong merupakan korban dari persaingan kayu hitam. Dari sejumlah orang yang dicurigai, tersebutlah Mierawan H.S. alias Mien Tjao. Setelah 16 tahun berlalu, berita ini diangkat kembali oleh Elkana. Bahkan dalam Detik nomor 0430, lebih ditegaskan lagi dalam kalimat, yang berbunyi, "Banyak Bukti Menguatkan Terlibatnya Seorang Pengusaha". Di situ kembali diungkap bagaimana mulanya Limbong menghilang. Dan kalau sudah begitu, siapa lagi "pengusaha" yang merasa terpojok, kalau bukan Mierawan H.S. Sebab namanya memang sering disebut walaupun disingkat. Mierawan lalu menunjuk Pengacara Palmer Situmorang, untuk membersihkan namanya. Langkah pertama Palmer adalah menemui redaksi Detik di Jakarta. Ia menuntut pertanggungjawaban Detik, sebab berita itu dianggap berat sebelah dan sangat merugikan kliennya. Menanggapi gugatan tersebut, Detik mengirimkan seorang wartawannya, bersama sang pengacara, ke Palu. Tujuannya: membuat agar berita jadi seimbang. Hasilnya, dalam Detik nomor 0435 dan 0436 kisah KKPH Limbong diungkap kembali. Dalam dua tulisan itu, nama Mierawan hanya disinggung beberapa kali. Itu pun tidak dalam bobot yang negatif. Bahkan dalam tulisan di Detik nomor 0435, disebutkan "Beberapa Pernyataan tidak Sesuai dengan Berita Acara Pemeriksaan". Artinya, sebagian laporan yang ditulis oleh Lengkong tidak bisa dijamin kebenarannya. Selain mengirim wartawan ke Palu, demikian keterangan Pemimpin Redaksi Detik Abdul Aziz's, pertanggungjawaban atas tuntutan Mierawan juga dilimpahkan kepada Lengkong. "Toh dia yang lebih tahu masalahnya, sementara kami akan membantu dari belakang," ujarnya. Lengkong, yang sudah mengabdi di Detik selama enam tahun, menolak semua tuduhan. Menurut dia, semua berita yang ditulisnya adalah benar. "Anehnya, setelah Mierawan menggugat, saya tak pernah dihubungi lagi oleh redaksi di Jakarta. Bahkan tiba-tiba saja nama saya tak lagi tercantum di boks redaksi," tuturnya. Adapun yang datang ke rumah Lengkong bukannya utusan dari Detik, tapi aparat polisi dari Polwil. Mereka, konon atas nama Mierawan, berulang kali menawarkan agar Lengkong mau menandatangani iklan permohonan maaf yang akan dimuat di Kompas. Semula ia menolak. Tapi, dengan alasan ingin hidup tenang, Lengkong akhirnya mau juga. "Tapi saya tetap yakin, berita yang saya tulis benar," ujarnya.BK dan Rustam F Mandayun
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini