MEREKA datang ke Jakarta, para bankir Jepang yang kaya raya itu. Merekalah bankir asing yang pertama memanfaatkan peluang dari Paket Oktober 27 alias Pakto. Pintu sudah dibuka, dan dengan cekatan, masing-masing mencari mitra usaha di negeri ini. Ada kabar, sudah 20 bank lokal yang mengajukan permohonan izin patungan pada Bank Indonesia. Tapi yang disetujui baru beberapa, salah satu adalah Bank Internasional Indonesia (BII), yang bekerja sama dengan Fuji Bank, bank nomor satu di Jepang. Sesuai dengan aturan main Pakto, Fuji akan menyetor 85% dari modal yang direncanakan: Rp 42,5 milyar. Sisanya, 15% atau Rp 7,5 milyar, disediakan oleh BII. Mereka akan berkantor di Nusantara Building, dengan nama PT Fuji International Indonesia Bank (FII). "Kerja sama ini merupakan perwujudan dari peluang yang diberikan pemerintah dalam Pakto," kata Indra Widjaja, Wakil Presdir BII. Fuji Bank sendiri bukanlah pendatang baru di Indonesia. Bank yang memiliki total aset 44.742 milyar yen ini (per Maret 1988) sudah malang melintang sebagai pemasok dana di beberapa perusahaan patungan Indonesia-Jepang. Contoh: PT Mutual International Finance, PT Jaya Fuji Leasing Pratama, dan perusahaan tekstil PT Tivico. Siapa calon nasabah Fuji? "Selain perusahaan patungan Jepang, kami juga akan memberikan kredit pada perusahaan lokal yang berorientasi ekspor," kata seorang pejabat Fuji. Hanya disayangkannya, belum ada batasan jelas tentang perusahaan apa yang berorientasi ekspor? Yang sudah melakukan ekspor atau yang baru akan ekspor? Batasan itu penting, sebab Pakto mengharuskan bank patungan mengarahkan 50% dananya kepada perusahaan yang berorientasl ekspor. Sementara itu, Indra Widjaja tenang-tenang saja. Pemilik pabrik minyak kelapa sawit ini yakin, daya tembus banknya akan sangat tajam, terutama pada perusahaan patungan Jepang-Indonesia. Dengan FII, "kami tak perlu capek-capek mengejar customer dari Jepang," kata Indra. Selain itu, karena nama Fuji, sindikasi dari bank-bank luar negeri pun akan mudah diperoleh. Tapi di samping bendera Fuji yang berkibar di sini, akan menyusul beberapa bendera lainnya. Enam bank peringkat atas di Jepang yang diwawancarai TEMPO di Tokyo menyatakan sudah siap terjun ke Indonesia, bahkan ada yang sudah memilih partner lokal. Sanwa Bank, misalnya. Bank peringkat ke-5 di Jepang dengan total aset 37.613 milyar yen ini sudah memilih Bank Bali sebagai mitra usahanya. Ini wajar, karena sejak 15 tahun lampau, Sanwa "menanamkan" dua orang penasihatnya di Bank Bali. Juga, Industrial Bank of Japan, misalnya,sudah cukup lama terdengar akan berpatungan dengan Bank Duta. Tapi, "Masih dalam perundingan," kata Abdul Gani, Dirut Bank Duta. Penjajakan masih berlangsung antara Mitsubishi Bank dan Bank Buana, Sumitomo Bank-Bank Niaga, dan Dai-Ichi Kangyo Bank-Bank Panin. Sementara itu, yang tampak masih kerling kiri kerling kanan cari partner adalah Mitsui Bank. Tak salah lagi, daya pikat Pakto sudah mulai merasuk. Tapi mengingat pengalaman masa lampau, pihak Indonesia juga perlu waspada. Kerja sama kita dengan bank asing pertama kali sudah dijalin tahun 1957, antara Bank Perdania dan The Daiwa Bank dari Jepang. Sebuah sumber yang keberatan disebut namanya menceritakan bagaimana lihainya mereka bermain di sini. Caranya? Tenaga profesional Jepang yang bekerja di bank patungan itu tercatat mendapat gaji US$ 20.000 per bulan, padahal nyatanya cuma US$ 3.000 per orang. Ini berarti ada selisih US$ 17.000 yang ditransfer ke kantor pusat Daiwa di Tokyo. Dalam buku Perbanas 1988/1989, disebut minimal ada 11 eksekutif Jepang yang di Bank Perdania. Nah, kalau dihitung-hitung dari pos gaji saja, tiap tahun Bank Daiwa sudah "membawa lari" US$ 2.244.000 dari Indonesia. Belum termasuk laba dari dividen murninya. Menurut UU PMA, seharusnya setelah 10 tahun, 51% modal perusahaan patungan itu sudah jadi milik pribumi. Padahal, sumber itu yakin, 50% saham Bank Perdania masih dipegang Daiwa. Menengok penampilan asing yang tak sedap itu, tak ada salahnya kalau kita dengan jeli menimbang-nimbang untung-ruginya kehadiran mereka di negeri ini. Jelas, ada alih keterampilan dari mereka, tapi jangan harap terlalu banyak dari modal mereka. Salah-salah, justru dana Indonesia yang diboyong keluar olehnya. Dengan peluang membuka cabang di daerah, maka katakanlah, minimal bank asing akan membawa modal minimal Rp 42,5 milyar (US$ 24,5 juta). Di samping itu, mereka harus membiayai kegiatan ekspor 50%. Tapi apakah itu berarti mereka rugi? Rasanya, kok ya, nggak. Setidaknya di sini mereka meraup laba lebih dari kalau uang itu didepositokan dengan bunga 7% di negeri asalnya. Sungguh, bukan maksud tulisan ini untuk berburuk sangka, tapi sekadar mengajak Anda-Anda agar waspada.Budi Kusumah, Moebanoe Moera, Seiichi Okawa, Bachtiar Abdullah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini