Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Koalisi Masyarakat Sipil Kritik Cara DPR Kebut Revisi UU Minerba: Akrobat Konstitusi

Proses revisi UU Minerba diinilai terang-terangan bertentangan dengan konstitusi dan tata tertib pembentukan peraturan perundang-undangan

21 Januari 2025 | 08.42 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Suasana rapat Badan Legislasi DPR RI yang membahas rencana revisi UU Minerba di kompleks parlemen Senayan, Jakarta pada Senin malam, 20 Januari 2025. TEMPO/Sultan Abdurrahman

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Proses revisi Undang-Undang Mineral dan Batubara (UU Minerba) yang dikebut Badan Legislasi DPR RI (Baleg DPR) menuai kritik tajam dari masyarakat sipil. Perwakilan koalisi Bersihkan Indonesia Aryanto Nugroho menilai langkah DPR dalam penyusunan revisi yang dilakukan secara diam-diam tersebut sebagai tindakan yang ugal-ugalan dan mengabaikan prinsip transparansi serta partisipasi publik.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Prosesnya terang-terangan bertentangan dengan konstitusi dan tata tertib pembentukan peraturan perundang-undangan. Meski anggota DPR mengklaim ingin melibatkan publik dan mematuhi putusan Mahkamah Konstitusi (MK), rapat Panja justru digelar tertutup tanpa partisipasi masyarakat," kata Aryanto dalam diskusi bertajuk 'Respon Jaringan Masyarakat Sipil atas Agenda Rapat BALEG DPR RI untuk Revisi RUU Minerba’ secara daring, Senin, 20 Januari 2025.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut Aryanto, revisi UU Minerba yang tidak masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) seharusnya tidak dapat dilanjutkan secara terburu-buru. Ia menduga langkah ini sengaja dilakukan untuk melegitimasi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2023 yang sebelumnya menuai kritik karena memberikan prioritas izin usaha pertambangan khusus (IUPK) kepada organisasi masyarakat (ormas) keagamaan.

"Langkah ini secara tidak langsung mengakui bahwa PP No. 25 Tahun 2023 melanggar UU. Namun, alih-alih mencabut PP tersebut, pemerintah dan DPR memilih merevisi UU Minerba. Ini akrobat konstitusi yang menunjukkan bahwa regulasi hanya diubah untuk membenarkan pelanggaran," ujar Aryanto.

Revisi ini juga dianggap membuka jalan bagi badan usaha, koperasi, dan perusahaan perorangan untuk memperoleh wilayah usaha pertambangan tanpa proses lelang. Dalam rancangan revisi, disebutkan bahwa wilayah pertambangan mineral logam dengan luas di bawah 2.500 hektare dapat diberikan secara prioritas tanpa melalui mekanisme lelang.

"Dulu, izin pertambangan wajib melewati proses lelang yang transparan. Kini, prioritas diberikan kepada ormas, perguruan tinggi, hingga koperasi. Ini mengindikasikan privatisasi sumber daya alam dengan skema yang minim akuntabilitas," kata dia.

Ia juga menyoroti dampak geopolitik dan ekonomi global yang meningkatkan kebutuhan terhadap mineral seperti nikel, tembaga, dan timah untuk mendukung teknologi energi hijau. Dia menilai kebutuhan itu mungkin saja menjadi latar belakang mengapa UU minerba harus segera direvisi agar banyak pihak yang mendapatkan wilayah tambang.

Menurut dia, langkah ini berpotensi merugikan masyarakat dengan meminggirkan prinsip keadilan dan keberlanjutan dalam pengelolaan sumber daya alam.

Aryanto meminta DPR untuk menghentikan proses revisi UU Minerba yang dinilai cacat prosedur dan substansi. Ia menegaskan bahwa penyusunan regulasi harus mengedepankan kepentingan publik, bukan melayani kepentingan segelintir kelompok.

"Jika proses seperti ini terus berlangsung, DPR hanya akan semakin kehilangan legitimasi di mata rakyat," ujarnya.

Polemik revisi UU Minerba ini menjadi sorotan publik, terutama terkait transparansi dan akuntabilitas pengelolaan sumber daya alam yang berdampak luas bagi masa depan ekonomi dan kelestarian lingkungan Indonesia.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus