BANK-bank papan atas bebas berlomba, entah bikin cabang baru atau menaikkan martabatnya jadi bank devisa. Tak syak lagi, itu berkat deregulasi perbankan Pakto 27. Di pihak lain, bank pasar termangu-mangu, dengan likuiditasnya yang kian hari kian seret. Belum lagi "vonis" masuk kecamatan, yang sudah digariskan dalam Pakto, dan mesti terlaksana dalam dua tahun mendatang. Bagi sebagian besar bank pasar, keharusan masuk desa itu sungguh mengerikan. Tak ubahnya kucing diterjunkan ke sungai. Mereka takut tenggelam, membayangkan potensi masyarakat desa yang pas-pasan, belum lagi harus bersaing dengan Simpedes dan Kupedes yang sukses itu. Adalah Gubernur Jawa Tengah H.M. Ismail yang ikut prihatin memikirkan bank pasar. Awal Februari silam, ia menyurati Menteri Dalam Negeri dan Departemen Keuangan. Di situ Ismail mengungkapkan jika bank pasar dijadikan Bank Perkreditan Rakrat (BPR) yang beroperasi di kecamatan, maka akan muncul berbagai masalah. Katakanlah, bila harus masuk desa, maka 19 bank pasar itu akan kehilangan nasabahnya yang begitu banyak. Memang, ada 305.159 nasabah -- kebanyakan pedagang kecil -- yang akan kehilangan tempat untuk mendapatkan modal. Duh, repotnya bisa kebangetan. Ada yang memperkirakan, mereka akan lari pada para pelepas uang: rentenir dan pengijon. Padahal, pendirian bank pasar itu, selain membantu golongan ekonomi lemah, juga dimaksudkan untuk mengikis rentenir, lintah darat. "Bank pasar selama ini juga menyentuh sektor informal," ujar Gubernur Ismail. Dalam hal ini ia yakin, pemerintah pusat akan mendengar masukan dari bawah. "Keluhan-keluhan itu akan ditampung dan "kami akan mempelajarinya," begitu tanggapan Gubernur Bank Indonesia Dr. Adrianus Mooy. Tapi diingatkannya juga bah va ketentuan Pakto 27 yang menyangkut bank pasar justru dibuat untuk melindungi bank bersangkutan. Jika bank pasar tetap di tingkat kabupaten, maka mereka akan tercebur ke dalam satu persaingan sengit melawan bank-bank besar. Dan bisa dipastikan, mereka kalah. Sedangkan di desa, biarpun bersaing, lawan-lawannya masih berimbang. Peluang untuk sukses juga ada, karena sebelumnya kan sudah berpengalaman di kota. Dr. Mooy menegaskan pula, bank pasar boleh saja tetap tinggal di kota, asalkan meningkatkan diri jadi bank umum swasta. Tapi peluang inl, menurut Soepadi ketua Bank Perkreditan Rakyat Ja-Teng, DIY (Daerah Istimewa Yogyakarta), sama sekali tak ada. Dua bank pasar terbesar di Ja-Teng pun (di Magelang dan Klaten), modalnya cuma sekitar Rp 1 milyar. Sedangkan total modal ke-19 bank pasar milik Pemda Ja-Teng cuma Rp 3,2 milyar. Maka, berarti persyaratan Pakto 27 tak terpenuhi, karena untuk jadi bank umum, harus tersedia Rp 10 milyar. "Mau go public pun tak mungkin, karena modal harus Rp 5 milyar," tutur Soepadi. Ia menyayangkan eksistensi bank pasar di Ja-Teng, yang sudah tumbuh dan tahun lalu bisa menyumbang ke kas Pemda Rp 825 juta, lalu bayar pajak (termasuk bea meterai) Rp 595 juta. Mengingat kondisi yang begitu suram, Pemda Ja-Teng bukan tak mungkin akan kehilangan bank pasarnya, yang dirintis sejak 1954 itu. Ferbapri (Federasi Bank Perkreditan Rakyat Indonesia) pun sudah kehabisan akal. "Kita sudah sampai ke bapak-bapak rakyat (Komisi VII DPR-RI), itu berarti sudah top," ujar Dahali Pandjaitan, Ketua Umum Ferbapri. Ia mengingatkan, bank pasar itu muncul dan berakar di kota. Bank pasar juga menjadi sumber pendapatan asli daerah. Kalau cuma diberi 2 tahun untuk pindah, atau diubah menjadi bank umum, waktunya amat sempit. "Dari 202 bank pasar anggota Ferbapri, mungkin cuma 2,5% yang mampu jadi bank umum," kata Pandjaitan. Dalam perhitungannya, tenggang waktu itu mestinya 5-10 tahun. Kepada DPR, Pandjaitan juga mengharap agar undang-undang perbankan yang baru segera diselesaikan. Dari situ mungkin akan muncul harapan baru tentang bank pasar. Tapi jika semuanya buntu, "paling tidak Paktonya yang harus direvisi," tambah Pandjaitan. Gubernur BI agaknya tidak happy kalau usahanya menata perbankan dihambat. Ia hanya mengungkapkan bahwa sudah ada 96 permohonan untuk mendirikan BPR, 45 di antaranya sudah memperoleh izin prinsip, tersebar di beberapa daerah Jawa, Bali, Sumatera, Sulawesi, Maluku. Pemerintah terus mendorong pertumbuhan bank-bank itu. Sebab, "Lembaga-lembaga keuangan di desa belum memadai," ujar Mooy. Dari 3 ribu bank desa dan 2 ribu lebih lumbung desa saja, tutur Mooy, volume usaha yang dicapai baru Rp 50 milyar. Sedangkan kredit yang disalurkan Rp 27,8 milyar, dana yang dikumpulkan sekitar Rp 7 milyar. "Jadi, masih kecil sekali kemampuannya," ucap Mooy lagi. Namun, kalau bank pasar hendak tetap bercokol di kota, ya, mesti mencari bergabung (merger) seperti bank-bank pasar di Bandung. Tapi inilah justru yang dihindari bank pasar Ja-Teng. Maunya mereka, tenggang waktu 2 tahun itu diperpanjang. "Kalau kita beri 5 tahun, pasti mereka juga bilang kurang. Makanya, kerjakan dulu, setelah itu dilihat lagi," tutur Mooy menegaskan.Suhardjo Hs, Moebanoe Moera, Yopie Hidayat, Heddy Lugito (Ja-Teng)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini