Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tapi, awal pekan ini, Menteri Pertambangan dan Energi, Susilo Bambang Yudhoyono, datang ke Kejaksaan Agung untuk menyerahkan berkas dan bukti awal dugaan korupsi di proyek listrik Paiton I. Mark-up biaya? Diduga kuat memang terjadi. Proyek ini dibangun dengan investasi US$ 2,5 miliar, sementara pembangkit lain yang punya kapasitas setara dan bahan bakar sama tak lebih dari US$ 1,2 miliar. ”Jika terbukti ada unsur korupsi, kolusi, dan nepotisme dalam proyek itu, siapa pun yang terlibat, baik dari pihak kita maupun pihak luar negeri, akan menghadapi proses peradilan,” ujar Yudhoyono. Jaksa Agung Marzuki Darusman sendiri telah memerintahkan Direktur Bidang Korupsi, Chaerul Imam, untuk segera mengumpulkan data sehubungan dengan kasus tersebut.
Lo, bagaimana dengan jalan negosiasi? ”Jalan terus,” kata Laksamana Sukardi, Menteri Negara Penanaman Modal/Pembinaan BUMN. Bahkan, menurut Sukardi, negosiasi akan dilakukan segi tiga, yakni pemerintah Indonesia, Paiton Energy Corporation, dan para krediturnya. Dia mengatakan bahwa pemerintah belum memutuskan sampai berapa banyak Paiton diminta menurunkan harga jualnya, yang sekarang US$ 0,0856/kWh—tarif termahal di Indonesia. Menteri Yudhoyono mengharapkan, Paiton bersedia menurunkan tarif listriknya hingga US$ 0,035. ”Harga itu yang paling wajar sekarang. Tapi, saya belum dengar adanya tanggapan dari pihak Paiton,” kata Yudhoyono.
Langkah ”mendua” pemerintah itu dipertanyakan oleh Abdul Hakim Garuda Nusantara. Menurut pengamat hukum ini, pemerintah harus memilih dengan jelas dan pasti antara jalan hukum dan jalan negosiasi. Tidak mungkin kedua jalan itu dilakukan berbarengan. ”Bagaimana mungkin pemerintah bisa berunding dengan pihak yang mereka dalilkan sebagai perampok?” katanya. Karena itu, kata Hakim, pemerintah harus mendahulukan proses peradilan pidananya dan menghentikan perundingan dengan Paiton Energy. ”Semua kewajiban yang harus dibayar oleh PLN harus dihentikan sampai kasusnya selesai,” tutur bekas ketua yayasan LBH Indonesia itu.Artinya, pemerintah tidak boleh memakai jalan hukum ini hanya untuk menekan Paiton di meja perundingan, misalnya agar bersedia menurunkan harga jual. ”Tidak ada trade off. Kalau mau membongkar korupsi, ya, harus sampai tuntas. Jangan sampai kalau Paiton sudah bersedia menurunkan harga jualnya sesuai dengan permintaan pemerintah, lalu proses pemeriksaannya dihentikan,” kata Hakim. Pemerintahan Gus Dur agaknya harus tegas. Kalau terbukti ada perbuatan pidana di Paiton, kontrak yang sangat memberatkan PLN itu bisa batal karena dibuat dengan cara-cara yang melanggar ketertiban umum.
Saran Hakim sebenarnya pernah ditempuh PLN. Jalan hukum ditempuh karena PLN memang tak punya banyak pilihan. Jika tarif Paiton tak diturunkan, umpamanya, PLN jelas tak akan sanggup membayar kewajibannya. Untuk Paiton I saja, kewajiban per tahun yang harus dibayar PLN mencapai US$ 758,2 juta. Jika ditambah Paiton II, yang juga sudah beroperasi, kewajiban PLN membengkak menjadi US$ 1,3 miliar. Sementara itu, untuk mendapat utang IMF sebesar US$ 460 juta saja, pemerintah Indonesia harus menekan begitu banyak syarat. Jelas, pemerintah Indonesia (juga PLN) tak akan mampu menutup utang Paiton yang tiga kali lipat utang dari IMF tadi. Urusan PLN kini memang berada di tangan pemerintah setelah Presiden Gus Dur mengumumkan akan menempuh jalan perundingan, pekan lalu.
Urusan akan cepat selesai? Repot, terutama jika Paiton menolak mengubah kontrak pembelian listriknya (power purchase agreement). PLN sudah mencobanya berkali-kali, tapi selalu buntu. Sumber TEMPO mengungkapkan, perundingan mentok jika sampai pada pembahasan biaya investasi. Padahal, kunci segala masalah itu ada pada angka investasi yang gila-gilaan tersebut. Jika investasinya bisa dikoreksi, harga jualnya pasti akan turun dengan sendirinya. ”Repotnya, Paiton I kan sudah membelanjakan US$ 2,5 miliar. Jadi, mau enggak mau duit itu harus dibayar kembali,” kata sumber itu.
Mau tak mau, untuk membobol kebuntuan, jalan hukum harus ditempuh. Hanya, pemerintah harus lewat pengadilan pidana dan bukan perdata seperti yang dilakukan PLN. Paling tidak, ada beberapa soal yang bisa langsung dibereskan jika jalan itu yang dipilih. Pertama, PLN akan terbebas dari kontrak yang mencekiknya, jika menang di jalur hukum ini. Kedua, Indonesia bisa memulai menerapkan pemerintahan yang bersih sebagaimana dituntut oleh negara-negara maju dan lembaga donor multilateral seperti IMF dan Bank Dunia.
Bekal untuk membuktikan tudingan korupsi itu bukannya tidak ada. Hasil pemeriksaan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dengan gamblang menjelaskan segala trik PT Paiton Energy. Pemeriksaan itu bahkan bisa membuktikan lubang-lubang mana saja yang dipakai Paiton untuk mengeduk keuntungan sebesar-besarnya. Salah satu contoh yang paling jelas adalah keterlibatan bekas presiden Soeharto. Menurut BPKP, derajat keterlibatan Soeharto adalah aktif. Begitu pula para pembantunya, termasuk bekas menteri Ginandjar Kartasasmita dan J.B. Sumarlin.
Dalam laporan itu, Presiden Soeharto ditengarai melakukan dua tindakan yang merugikan negara. Yang paling pokok tentu saja Keppres No. 37/1992 tentang Usaha Penyediaan Tenaga Listrik oleh Swasta. Keputusan ini jelas cacat hukum karena Undang-Undang No. 1/1967 (diperbaharui dengan Undang-Undang No. 11/1970) tentang Penanaman Modal Asing dan Undang-Undang No. 15/1985 tentang Ketenagalistrikan dengan jelas menyebutkan bahwa asing masih diharamkan masuk ke sektor kelistrikan. Meski ketika itu Indonesia sangat membutuhkan tambahan pasokan listrik, sementara pemerintah dan PLN tak sanggup menyediakannya, mestinya Soeharto tak begitu saja mengeluarkan keppres yang mengabaikan aturan hukum yang lebih tinggi.
Pelanggaran lain oleh Soeharto adalah kolusi. Soeharto ternyata memilih keluarga dan kroninya sebagai mitra perusahaan asing yang ingin membangun pembangkit swasta. Dari lima pembangkit terbesar dengan kapasitas di atas 1.200 megawatt, hanya Tanjungjati A yang terlepas ke tangan pengusaha non-Cendana, Aburizal Bakrie. Empat lainnya diambil oleh Hashim Djojohadikusumo dan Siti Hediati Prabowo (Paiton I), Bambang Trihatmodjo (Paiton II), serta Tanjungjati B dan C oleh Siti Hardijanti Rukmana. Pembangkit yang lain pun sebagian besar digarap oleh Keluarga Cendana dan kroninya. Sudah begitu, dari 27 proyek listrik swasta yang disetujui pemerintah, cuma satu yang melalui proses tender. Lainnya: main tunjuk saja.
Rekomendasi BPKP sudah gamblang: periksa Soeharto, Ginandjar Kartasasmita, I.B. Sujana, Sumarlin, sampai anggota Tim Negosiasi PLN sendiri. Apalagi yang ditunggu Jaksa Agung Marzuki Darusman?
M. Taufiqurohman, Dewi Rina C, Hendriko L. Wiremmer
Tabel Perjalanan Tarif Paiton I & Rekomendasi Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan
Perjalanan Tarif Paiton I | |||||||
Tanggal | Tawaran Paiton Energy (US$/kWh) | Tawaran Tim Negosiasi PLN (US$/kWh) | Keterangan | ||||
Tahun 1-7 | Tahun 8-13 | Tahun 14-30 | Tahun 1-7 | Tahun 8-13 | Tahun 14-30 | ||
17 Jun '93 19 Jun '93 9 Juli '93 10 Ags '93 12 Jan '94 11 Feb '94 | 0,0998 0,0998 0,0879 0,0856 0,0856 | 0,0873 0,0873 0,0873 0,0841 0,0841 | 0,057 0,057 0,057 0,0569 0,0569 | 0,064 0,082 0,082 0,082 0,0856 0,0856 | 0,0532 0,601 0,601 0,601 0,0841 0,0841 | 0,0278 0,0391 0,0391 0,0391 0,0569 0,0554 | Konsorsium Paiton menolak membahas biaya modal, deadlock Tim Negosiasi PLN (TNP) menaikkan harga beli, Paiton tetap tak mau turun Hashim mengirim surat ke Soeharto sekaligus mengajukan tawaran baru, tapi masih tetap lebih tinggi dari tawaran TNP Paiton kembali menurunkan tawarannya, tapi TNP ngotot tak mau naik. Setelah mendapatkan petunjuk Mentamben I.B. Sujana, TNP melunak dan menawarkan harga persis seperti tawaran Paiton Keputusan Mentamben tentang harga final Paiton I |
Rekomendasi Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan | |||
Yang Harus Diperiksa | Jabatan | Dugaan Kesalahan | Keterangan |
Soeharto | Bekas Presiden | ||
Ginandjar Kartasasmita | Bekas Mentamben | ||
Ida Bagus Sujana | Bekas Mentamben | ||
J.B. Sumarlin | Bekas Menkeu | ||
Sanyoto Sastrowardoyo | Bekas Ketua BKPM |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo