Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Kapan Mendung Tebal ini Berlalu

Indonesia bisa segera pulih jika pemerintah konsisten menyelesaikan pelbagai masalah fundamental. Jika gagal, krisis ekonomi jilid kedua tidak mustahil bakal terjadi.

13 Agustus 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Presiden Abdurrahman Wahid jelas bukan Bandung Bondowoso—satria Medangkamulan yang wajib membangun seribu candi dalam tempo semalam sebagai syarat menyunting Roro Jonggrang. Kalau kiai asal Jombang itu dipaksa membangun ekonomi kita yang porak-poranda sebelum "fajar menyingsing", bisa-bisa dia—seperti pelawak Topan di iklan obat pegal linu—berkata, "Lo, kok jadi mahaberat begitu. Lembur, dong." Tapi, walau baru sepuluh bulan duduk di kursinya dan mewarisi segunung masalah, banyak orang berharap Presiden Abdurrahman bisa menemukan obat apa saja—termasuk daging rusa Bogor, kalau itu manjur_agar ia segera merampungkan "seribu candi" dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.

Sebaiknya kita mulai realistis, siapa pun yang duduk di kursi presiden, tidaklah mungkin menyelesaikan krisis dengan cepat. Masa jabatan Presiden Abdurrahman yang tersisa empat tahun dua bulan lagi rasanya terlalu pendek untuk membuahkan angka-angka bagus ekonomi seperti masa sebelum krisis tiga tahun lalu. Warisan yang diterima Abdurrahman ibaratnya sebuah mobil kuno yang mogok, sehingga perlu waktu untuk mencari onderdil, memasang dan menyetel mesin, sebelum mobil dikebut kembali—itu pun kalau bisa ngebut—di jalan tol. Ekonom Nomura Securities Singapura, Adrian Panggabean, menjamin siapa pun yang akan duduk di kursi nomor satu pasti tak mampu melakukan perbaikan secepat kilat.

Warisan bobrok itu bisa menjadi daftar yang sangat panjang. Sebut saja beberapa: ketergantungan pada utang luar negeri yang makin parah, sistem perbankan yang keropos akibat kebijakan yang tidak berhati-hati, utang macet konglomerat yang mencapai Rp 400 triliun, korupsi yang kronis, sampai sistem hukum dan peradilan yang lemah dan korup. Sungguh perlu "pil ekstrakuat" untuk menyelesaikannya.

Dan waktu sepuluh bulan memang terlalu singkat untuk sekadar menaikkan sedikit angka-angka di grafik. Sudah begitu beratnya beban, pemerintahan Abdurrahman kurang cepat belajar dari masa lalu sehingga tumpukan pekerjaan makin membukit. Hatta Radjasa dari Fraksi Reformasi malah menilai Presiden menambah sendiri bebannya dengan kasus korupsi Bulog atau soal dana kiriman Sultan Brunei. Artinya, pemerintah masih belum memperlihatkan komitmen yang jelas dalam penghapusan korupsi. Ini jelas menguras modal legitimasi yang dimiliki Abdurrahman dari hari ke hari—pilar penting untuk menyangga pertumbuhan ekonomi dan meyakinkan investor asing agar mau menanamkan modalnya di sini.

Begitu terkurasnya "tabungan" Abdurrahman ini, sampai-sampai kondisi nilai tukar rupiah, misalnya, kini lebih buruk dibandingkan dengan saat B.J. Habibie naik menggantikan Soeharto, atau sewaktu Habibie turun panggung. Waktu itu rupiah ada di kisaran Rp 7.400 sedolar Amerika, sementara sekarang ini nilainya Rp 8.500 hingga Rp 9.200. Indeks harga saham di Bursa Jakarta, yang pernah menembus angka 700, sekarang anjlok di bawah 500 poin.

Toh, ini bukan waktunya untuk terlalu pesimistis. Paling tidak, ekonom Raden Pardede dari Danareksa menilai bahwa prestasi ekonomi Abdurrahman Wahid tak jelek-jelek amat. Adrian Panggabean setuju dengan pendapat ini. Raden menunjuk berbagai indikator makroekonomi yang sudah membaik: pertumbuhan ekonomi yang sudah positif (meskipun belum sekencang Thailand, Malaysia, atau Korea Selatan), angka ekspor yang meningkat tajam, atau jumlah pengangguran yang mulai berkurang.

Harapan tentang "langit yang segera cerah dari mendung tebal" itu juga bisa dilihat dari angka konsumsi rakyat yang mulai naik. Konsumsi listrik naik lumayan tajam, penjualan mobil laris manis, perusahaan eceran kebanjiran pembeli (lihat tabel). Bahkan, konsumsi menjadi pendorong utama pertumbuhan ekonomi pada semester kedua 1999 dan kuartal pertama 2000. Semua itu menunjukkan bahwa sebagian masyarakat Indonesia—apa boleh buat, baru golongan menengah ke atas—sudah mulai bisa mengatasi krisis. Yang menengah ke bawah, seperti sering diimbau pemerintah selama 30 tahun lebih ini, ya harus bersabar dulu, entah sampai kapan.

Titik-titik terang ini bisa saja menjadi lampu sorot benderang, tapi syaratnya juga tidak ringan. Ekonom Mari Pangestu menilai pemerintah harus segera melakukan restrukturisasi perbankan, restrukturisasi utang swasta, perbaikan makroekonomi, memberesi kelembagaan, dan melakukan penegakan hukum. Inilah "obat manjur" untuk menyembuhkan perekonomian Indonesia. Sebaliknya, bila soal tadi dibiarkan, niscaya ketidakpastian dan ketidakpercayaan kepada ekonomi Indonesia makin menumpuk.

Ketidakpastian pada akhirnya bisa membuat investasi asing seret. Jika itu terjadi, sulit bagi Indonesia untuk terus menggenjot pertumbuhan ekonominya. Sistem ekonomi Indonesia, yang sudah lama gagal membangun kekuatan modal bangsa sendiri, akhirnya membuat modal asing dan juga utang luar negeri mutlak dibutuhkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Padahal, pertumbuhan positif belakangan ini ternyata didorong modal sendiri—terutama sektor industri menengah dan kecil—dan jasa perusahaan asing yang masih bertahan di Indonesia. Dan Mari Pangestu menegaskan bahwa modal sendiri dan jasa asing di sini saja tak cukup.

Adrian juga mencatat hal yang sama. Ekonom ini malah meramalkan Indonesia bakal menghadapi kesulitan berarti sepanjang 2002-2010 jika beberapa faktor struktural tadi tidak juga diperbaiki. Dia melihat bahwa pertumbuhan ekonomi yang saat ini positif disebabkan oleh faktor siklikal (faktor alamiah) jangka pendek, hanya bakal berlangsung sampai 2001. Saat ini, dengan atau tanpa pemerintah, perekonomian memang akan tumbuh dengan sendirinya, begitu analisis Adrian. Widjojo Nitisastro pernah mengatakan kecenderungan ini sebagai "ekonomi tumbuh di malam hari ketika pemerintahan sedang tidur".

Namun, tanpa perombakan struktural, pertumbuhan lebih pesat sulit dicapai. Adrian mengatakan bahwa ukuran untuk melihat apakah perbaikan struktural sudah dilakukan atau belum, antara lain, adalah regulasi perbankan, kompetisi di pasar, restrukturisasi ekonomi di semua sektor, dan adanya bentuk arahan ekonomi. Dalam bahasa Adrian, "Kita harus tahu ke mana kita akan pergi."

Mampukah Presiden Abdurrahman Wahid melaksanakan berbagai perbaikan struktural? Banyak ekonom atau politisi yang pesimistis. Persoalan paling mendasar yang dihadapi Presiden Abdurrahman adalah makin menciutnya dukungan parlemen kepadanya. Bisa dibilang, kini hanya Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa yang berdiri di belakang Abdurrahman. Fraksi yang lain lebih sering "melawan" ketimbang mendukung kebijakan Presiden.

Melemahnya dukungan publik itu terjadi setelah Presiden sering mengeluarkan kebijakan yang tidak jelas. Taruhlah ketika memecat Jusuf Kalla dan Laksamana Sukardi akhir April lalu. Atau kasus Bulog dan Brunei. Atau perubahan nama Irianjaya menjadi Papua dan persetujuan pemerintah atas Jeda Kemanusiaan di Aceh yang dianggap pengakuan terhadap gerakan separatisme. Berbagai kebijakan tadi mendapat kritik yang keras dari parlemen. Pemerintahan seperti itu tidak akan efektif dan akan sulit mengambil keputusan-keputusan penting, kata ahli ilmu politik Andi Alfian Mallarangeng.

Kepastian hukum dan jaminan keamanan juga masih jadi kendala besar bagi investasi asing yang akan masuk kemari. Pelaku bisnis juga masih dihantui oleh maraknya aksi main hakim sendiri oleh rakyat di jalan-jalan. Tak sedikit perusahaan yang sudah merasa aman tiba-tiba tanahnya diklaim sebagai milik rakyat.

Soal lain yang juga disorot adalah tim ekonomi kabinet Presiden Abdurrahman yang dianggap kurang bagus kinerjanya. Walau secara individual terdiri dari para cerdik pandai, hampir tak ada kemajuan berarti dalam restrukturisasi sektor riil, misalnya. Padahal, tanpa sektor riil dibenahi, Indonesia sulit berbicara tentang peningkatan ekspor atau pengurangan pengangguran karena mesin-mesin berhenti berputar atau pabrik-pabrik mengurangi shift kerjanya. Pertumbuhan ekonomi, lagi-lagi, sulit digenjot.

Restrukturisasi perbankan juga masih menyisakan satu pertanyaan besar: apakah bank-bank yang direkapitalisasi benar-benar sudah sehat? Jika sudah sehat, perbankan mestinya sudah menyalurkan kredit ke sektor riil. Tapi yang terjadi sebaliknya. Hingga kini, dana masyarakat yang disalurkan menjadi pinjaman cuma sekitar 30 persen. Tidak aneh jika sektor riil sekarang berteriak gara-gara kekeringan likuiditas.

Karena itulah, Mari Pangestu menekankan pentingnya situasi politik dan keamanan bagi pulihnya perekonomian kita. Hal penting lain, pemerintah tidak lagi mengeluarkan kebijakan yang ambivalen. Tanpa ada jaminan itu semua, investor asing dan juga pelaku ekonomi lain tetap akan melihat Indonesia sebagai negara dengan risiko tinggi.

Jika pemerintah bisa memberikan jaminan itu, Mari yakin, Indonesia bakal pulih dalam tiga tahun. Sebaliknya, jika kondisi sekarang tidak berubah, yang terjadi justru perlambatan perbaikan ekonomi. Adrian juga punya perhitungan yang hampir sama. Menurut dia, jika perbaikan struktural berhasil, mulai tahun 2002 perekonomian Indonesia akan tumbuh makin cepat. Tapi, jika tidak, Indonesia bakal menghadapi kesulitan yang lebih berat dalam jangka waktu yang lebih lama.

Jadi, pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid tak bisa main-main. Parlemen juga tak bisa seenaknya sendiri "mengganggu" pemerintah tanpa alasan yang jelas. Survei Danareksa baru-baru ini juga mengungkapkan hal yang sama. Konsumen yang menjadi responden Danareksa mengkhawatirkan hubungan yang tidak harmonis antara pemerintah dan DPR. Jika pemerintahan ini gagal membangun landasan yang kukuh, jangan berharap perekonomian Indonesia bakal kembali seperti sebelum krisis. Kalau ini terjadi, keadaan sungguh buruk: Indonesia terlempar kembali ke kegelapan di dalam jurang krisis ekonomi yang kedua. Untuk bangkit kembali, bisa-bisa lebih sulit ketimbang tugas Bandung Bondowoso membangun seribu candi dalam semalam.

M. Taufiqurohman, Leanika Tanjung, Agus Hidayat

Proyeksi Makroekonomi Indonesia 2000-2005

Indikator

1999

2000

2001

2002

2003

2004

2005

Pertumbuhan ekonomi (%)

0,2

3,8

4-5

5-6

5-6

6-7

6-7

PDB per kapita (US$)

693

912

998

1.095

1.201

1.300

1.409

Utang LN pemerintah (US$ miliar)

74,8

81,0

83,9

83,1

81,1

79,1

76,5

Utang swasta (US$ miliar)

71,1

64,7

63,7

66,1

71,5

78,2

86,1

Utang pemerintah (termasuk utang DN) terhadap PDB (%)

104,2

90,1

83,5

75,2

66,9

59,5

52,7

Laju inflasi (%)

2,0

6-8

5-7

5-7

4-6

3-5

3-5

Nilai tukar (Rp/US$)

7.699

6.500-7.500

6.500-7.500

6.500-7.500

6.500-7.500

6.500-7.500

6.500-7.500

Suku bunga deposito 6 bulan (%)

14,2

12,1

10,3

9,8

8,8

8,8

8,8

Surplus (defisit) Perdagangan (US$ miliar)

20,5

20,3

18,1

17,0

15,7

14,8

14,2

Surplus (defisit) transaksi Berjalan (US$ miliar)

5,6

3,9

1,0

(0,8)

(2,7)

(4,4)

(5,8)

Cadangan devisa bruto (US$ miliar)

27,1

30,7

33,6

34,4

35,0

35,2

34,8

Cadangan devisa (bulan impor)

7,1

7,0

7,0

6,5

5,9

5,3

4,6

Kesempatan kerja (juta orang)

88,8

91,2

93,9

96,4

98,9

101,4

104,0

Pengangguran terbuka (%)

6,4

5,8

5,0

4,5

4,0

3,5

3,0

Sumber: Program Pembangunan Nasional (2001-2005)

Indikator Konsumsi Masyarakat

Indikator

1996

1997

1998

1999

2000

Konsumsi listrik (GWh)

56.932

64.312

65.261

71.332

n.a

Konsumsi semen ( juta ton)

25,4

27,4

19,3

18,8

n.a

Penjualan mobil (unit)

332.036

386.709

58.033

93.814

155.236 *)

Penjualan motor (unit)

1.377.206

1.801.066

431.485

487.759

357.283 **)

Penjualan Matahari (Rp miliar)

542,6

580,9

625,8

691,2

843,2 ***)

Penjualan Ramayana (Rp miliar)

n.a

347,6

428,5

387,7

453,5 ***)

Keterangan:

*) Sampai Juli 2000

**) Sampai Juni 2000

***) Berdasarkan laporan keuangan per Maret

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus