Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Peringatan kemerdekaan ke-55 tahun ini agaknya bisa menjadi saat yang tepat untuk mempertanyakan kembali arah kebijakan ekonomi pasar yang disponsori IMF tersebut. Pada intinya, IMF meminta Indonesia meliberalkan semua sektor ekonomi. Semua pintu masuk dibuka lebar-lebar. Tak ada lagi barikade atau bea masuk yang diberlakukan, bahkan untuk komoditi strategis seperti beras dan gula.
Pelarangan ekspor seperti yang diberlakukan untuk kayu log juga dihapus. Monopoli diharamkan. Peran pemerintah juga dikurangi dan BUMN terus diprivatkan. Lebih jauh dari itu, semua lembaga yang dulunya kebal audit kini harus dibuka dan auditor asinglah yang harus mengaduk-aduk isi perut lembaga atau BUMN seperti Bulog, PLN, dan Pertamina. Pendek kata, Indonesia harus bertelanjang ria.
Semua itu merupakan bayaran yang harus diserahkan kepada IMF setelah krisis ekonomi menghantam Indonesia pada pertengahan Juli 1997. Krisis itu sendiri berawal dari Thailand dan kemudian merembet ke negara Asia lain seperti Indonesia, Malaysia, Filipina, dan Korea Selatan. Nilai tukar rupiah anjlok pada titik yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Daya beli masyarakat menurun tajam dan rakyat makin miskin, terutama di perkotaan. Bisa dibilang, Indonesia kembali ke awal tahun 1970-an. Pembangunan ekonomi yang berlangsung 30 tahun tiba-tiba seperti lenyap tak berbekas.
Itulah sebabnya, Soeharto tak punya banyak pilihan. IMF menjadi satu-satunya tumpuan harapan. Negara Asia lain termasuk Jepang juga sedang mati-matian mempertahankan perekonomiannya sendiri, sehingga tak mungkin dimintai bantuan. Setelah penekenan bersejarah itu, IMF menyediakan dana pinjaman talangan senilai US$ 43 miliar untuk memulihkan perekonomian Indonesia. Pinjaman itu merupakan yang terbesar dalam sejarah IMF. Dari jumlah pinjaman talangan tersebut, hingga kini IMF sudah mengucurkan pinjamannya sekitar US$ 10 miliar.
Bagaimana hasilnya? Perekonomian Indonesia memang sudah memperlihatkan tanda-tanda kehidupan. Pertumbuhan ekonomi mulai positif setelah dua tahun silam mencatat pertumbuhan negatif 14 persen. Kegiatan ekspor juga meningkat tajam. Tahun ini diperkirakan ekspor Indonesia bisa mencapai US$ 60 miliar, tertinggi sepanjang sejarah Indonesia. Surplus perdagangan pada semester I 2000 juga lumayan tinggi, yakni US$ 15,5 miliar, lebih tinggi dari perkiraan sebelumnya yang hanya US$ 14 miliar. Ini mencerminkan sektor industri mulai menggeliat, terutama industri kecil menengah.
Konsumsi juga meningkat. Sepertinya sebagian masyarakat Indonesia, terutama golongan kelas menengah dan golongan atas, sudah berhasil mengatasi krisis ekonomi. Hal ini terutama bisa dilihat di pusat-pusat belanja dan jalan raya. Mal atau plaza kini mulai padat dipenuhi pengunjung. Antrean di kasir sudah jadi pemandangan biasa. Mobil mewah juga makin banyak berada di jalan raya, mulai dari yang buatan lokal sampai yang diimpor langsung dari luar negeri. Jangan heran jika pemilik pusat belanja dan produsen mobil sudah bisa tersenyum.
Sepintas lalu, tak ada yang perlu dicemaskan di Indonesia. Liberalisasi perekonomian berjalan seiring dengan demokratisasi di panggung politik. Tapi, jika dilihat dengan kaca pembesar, masih banyak persoalan mendasar yang belum terselesaikan. Sebut saja penanganan masalah restrukturisasi perbankan, restrukturisasi utang swasta, berbagai masalah kelembagaan, juga penegakan hukum yang hingga kini masih belum jelas.
Restrukturisasi perbankan yang menelan biayadalam bentuk obligasi pemerintahsampai Rp 400 triliun ternyata tak membuat bisnis perbankan bergerak maju. Bank-bank masih kesulitan menyalurkan kredit. Menurut Institute for Development of Economics and Finance (Indef), ada duit masyarakat sekitar Rp 470 triliun yang mengendap di brankas bank dan Bank Indonesia, yang menganggur begitu saja gara-gara bank lebih memilih aman ketimbang kejeblos untuk kedua kalinya.
Penyelesaian utang swasta juga masih tersendat. Prakarsa Jakarta baru mampu menyelesaikan restrukturisasi utang sekitar US$ 5 miliar, sementara Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) baru menyelesaikan tak lebih dari 10 persen dari kredit macet yang ditanganinya, sekitar Rp 400 triliun. Dampaknya jelas, sektor riil masih pingsan hingga sekarang, terutama perusahaan besar.
Selain itu, ada masalah lain yang juga bisa membuat Indonesia sulit mempertahankan momentum ekonomi yang terjadi sekarang, yakni soal separatisme dan otonomi daerah. Permintaan daerah kaya semakin lama semakin banyak, dan celakanya pemerintah pusat banyak menjanjikan kepada provinsi-provinsi tersebut. Misalnya, Presiden Abdurrahman berjanji akan mengembalikan 75 persen pendapatan Aceh ke provinsi penghasil gas itu. Begitu pula dengan Riau, yang kaya minyak. Kendati untuk jangka panjang mungkin hal ini malah menjanjikan, dalam jangka pendek jelas memuncratkan banyak persoalan, seperti bagaimana membiayai daerah yang miskin sumber daya alam, yang jauh lebih banyak jumlahnya itu.
Walhasil, banyaknya masalah itu memunculkan satu pertanyaan: apakah jalan pemulihan ekonomi yang ditempuh Indonesia dengan arahan IMF sudah tepat? Mengapa pada satu sisi Indonesia memperlihatkan segi positif yang melegakan, tapi di sisi lain kegelapan masih membayang dengan jelas? Apakah benar rakyat sudah menikmati pemulihan ekonomi ini?
Tak sulit menjawab pertanyaan itu. Ekonom Nomura Securities Singapura, Adrian Panggabean, melihat bahwa Indonesia tidak mempunyai grand strategy di bidang ekonomi, sehingga seperti berjalan dengan mata tertutup. Semua permintaan IMF diluluskan tanpa syarat. Indonesia sepertinya tak ingin kehilangan predikat sebagai anak baik (good boy) di mata IMF dan juga negara donor lain.
Celakanya, Indonesia tak bisa melaksanakan semua program itu dengan baik, terutama dalam mengantasi dampak sampingnya. Bahkan Indonesia terlihat seperti kebingungan ketika program pemulihan ini justru menciptakan komplikasi yang lain. Di satu sisi, Indonesia memang membutuhkan pembukaan akses pasar agar perekonomian tidak terkonsentrasi pada satu kelompok atau lapisan, tapi di sisi lain muncul masa transisi yang malah menyengsarakan sebagian penduduk Indonesia.
Lihat saja liberalisasi sektor pertanian. Pintu impor beras dan gula dibuka lebar-lebar dan monopoli Bulog dipangkas habis. Dampaknya ternyata amat besar. Pasar beras dan gula Indonesia dibanjiri produk impor yang dijual dengan harga yang jauh lebih murah. Jangan kaget kalau petani menjerit karena mereka tak disiapkan menyongsong kebijakan baru itu. Padahal, negara-negara Eropa, dan juga Thailand, yang sama-sama terkena krisis, masih memberlakukan pajak impor sampai 95 persen. Pembukaan ekspor kayu log secara mendadak juga memunculkan komplikasi yang tak kalah seriusnya, yakni penyelundupan log.
Indonesia agaknya tak mau becermin pada kegagalan liberalisasi di sektor keuangan yang mulai dilakukan pada 1983 dan dilanjutkan pada 1988. Pada saat itu, persyaratan mendirikan bank dilonggarkan, termasuk pembentukan bank campuran. Apa yang terjadi? Jumlah bank membengkak sampai 240 buah. Akibatnya, persaingan antarbank berlangsung sangat keras. Bajak-membajak sumber daya manusia terjadi. Rebutan nasabah dengan berbagai iming-iming menjadi pemandangan biasa. Sementara itu, tenaga supervisi di Bank Indonesia tiba-tiba menjadi jauh dari memadai untuk menjalankan tugas mengawasi bank-bank baru tersebut.
Wajar jika proses selanjutnya tak seperti yang dirancang saat palu deregulasi diketuk. Mobilisasi dana masyarakat ternyata tak semuanya kembali ke dunia usaha dalam bentuk pembangunan pabrik baru atau perluasan usaha oleh mereka yang memang piawai di bidangnya. Bank-bank yang sukses menyedot dana masyarakat justru mengalirkannya ke kelompok usahanya sendiri. Sebagian malah masuk ke kantong para pemiliknya. Pembangunan pabrik baru terkonsentrasi pada para pemilik bank. Tidak mengherankan jika konglomerasi tumbuh bak cendawan di musim hujan.
Dampaknya baru kita rasakan sekarang. Banyak kredit ituyang dikucurkan bukan karena pertimbangan kelayakan proyek tapi karena hubungan dengan pemilik bankyang tidak kembali karena usahanya bangkrut atau memang digunakan untuk kegiatan lain. Lebih dari Rp 400 triliun kredit perbankan nyangkut di tangan konglomerat dan macet. Tak hanya itu. Dunia perbankan Indonesia, yang berhubungan melalui jaringan pinjaman antarbank, juga kolaps. Dalam tempo satu setengah tahun, pemerintah sudah menutup 55 bank atau hampir seperempat jumlah bank di Indonesia. Lagi-lagi, rakyat jugalah yang harus menanggung risikonya. Ibaratnya, konglomerat yang makan nangkanya, rakyat yang harus belepotan getahnya.
Dua contoh tadi menunjukkan kepada Indonesia bahwa tak semua liberalisasi berjalan baik jika tak dipersiapkan dengan benar. Soal liberalisasi sektor pertanian dan keuangan, misalnya, dengan jelas memperlihatkan bahwa pemerintah tak siap menghadapi eksesnya. Repotnya, Indonesia malah mempercepat proses liberalisasi ketika perangkatnya belum siap. Padahal, Indonesia sudah punya jadwal sendiri untuk melakukan liberalisasi perekonomiannya yang berkaitan dengan AFTA (ASEAN Free Trade Area) dan APEC (Asia Pacific Economic Cooperation), yakni pada 2003 dan 2004.
Untuk soal AFTA ini pun, Adrian mengkritiknya terlalu cepat. ''Kalau Indonesia memang tidak siap, ya, tinggal bilang saja sehingga jadwalnya dimundurkan," katanya. Tapi yang dilakukan Indonesia adalah tetap menandatanganinya. Padahal, jika Indonesia tidak siap, ekonomi pasar justru bisa menghabisi Indonesia karena negara ini tak mungkin lagi menghalangi atau memproteksi pasarnya. Apalagi selama iniakibat berbagai kebijakan proteksi berlebihan hanya pada kelompok-kelompok dekat kekuasaan di masa laluproduk Indonesia sering lebih mahal ketimbang produk impor. Lihat saja, harga sepeda motor Cina lebih murah 30 persen ketimbang buatan Indonesia, terlepas di sana ada dumping atau tidak.
Maka, kalau pasar benar-benar dibuka nanti pada 2003/2004, Indonesia bisa jadi akan sulit menyaingi produk impor karena harganya mahal. Hal ini sangat mungkin terjadi karena ketergantungan Indonesia pada bahan baku impor dan inefisiensi yang masih tinggi. Karena itulah Adrian mengingatkan agar Indonesia berani mengambil sikap. Jika memang dianggap merugikan, tidak ada salahnya Indonesia mengoreksinya. Kalau dibiarkan, ekonomi pasar hanya akan menjerumuskan Indonesia.
Kalau begitu, apakah liberalisasi atau ekonomi pasar merupakan pilihan yang salah? ''Jelas tidak," kata Adrian. Menurut dia, yang penting adalah kesiapan Indonesia sendiri menciptakan pasar yang bebas dan efisien. Ekonom Fakultas Ekonomi UGM, Tony Prasetyantono, dan ekonom Fakultas Ekonomi UI, Muhammad Ikhsan, melihat hal yang sama. Menurut keduanya, Indonesia tidak siap melaksanakan ekonomi pasar. Bukan karena para pelaku pasar yang tidak siap, tapi disebabkan aturan main dan penegakan hukum yang masih belepotan.
Tony dan Ikhsan melihat ekonomi pasar yang dianut Indonesia sangat berbeda dengan yang terjadi di Amerika Serikat sebagai model ekstrem ekonomi pasar. ''Di sana persaingan memang bebas. Tapi ada aturan yang membatasi persaingan itu agar bisa berlangsung fair. Semua pihak harus menaatinya," kata Tony. Dia mencontohkan Microsoft. Amerika jelas sangat diuntungkan oleh Microsoft, yang menyumbang pendapatan sangat besar bagi negara itu. Tapi, karena perusahaan yang didirikan Bill Gates itu dinilai memonopoli perangkat lunak operasi komputer, dia harus memecah diri. Tony berkata, ''Amerika memang mendapat banyak keuntungan dari Microsoft. Namun, begitu aturan persaingan bebas dilanggar, aturan tetap ditegakkan."
Nah, semua itu tidak terjadi di Indonesia. Ikhsan menyebut sistem perekonomian Indonesia sebagai kapitalis kebun binatang. Selain cuma jago kandang, aturan yang berlaku adalah, ''Siapa yang akrab dengan pengurus kebun binatang, dia yang menang," katanya. Salah satu buktinya adalah menguatnya konglomerasi pada awal 1990-an. Pengusaha yang punya duit banyak dan dekat dengan kekuasaan saja yang mampu terus menganakpinakkan perusahaannya.
Jadi, kata kuncinya adalah aturan main yang jelas yang menjadi koridor bagi siapa pun yang bermain di dalamnya. Lebih dari itu, penegakan hukum juga harus menjadi prioritas. Ikhsan menyebut beberapa contoh betapa penegakan hukum di Indonesia masih sangat lemah. Wakil Kepala LPEM FE-UI itu berkata, ''BLBI adalah contoh korupsi yang jelas. Tapi sampai kini masalah itu belum juga terselesaikan." Artinya, bukan pilihan pada ekonomi pasar atau liberalisasi yang salah, melainkan Indonesia yang gagap menerapkannya.
Agaknya, Indonesia memang harus mengundang kembali IMF untuk membicarakan semua persoalan ini. Liberalisasi pasar memang harus dilakukan seiring dengan demokratisasi di bidang kehidupan yang lain. Untuk itulah diperlukan konsensus baru. ''Terutama, karena masih banyak yang mempertanyakan arah kebijakan kita yang propasar," kata Mari Elka Pangestu, ekonom CSIS. Menurut Mari, konsensus itu diperlukan antara lain untuk menentukan arah ekonomi pasar yang bagaimana yang akan dipilih Indonesia.
Dia mengungkapkan bahwa Indonesia selama ini sudah menganut ekonomi pasar tapi banyak sekali penyimpangannya. Dalam istilah Adrian, ekonomi pasar yang kita anut adalah ekonomi pasar yang banci. Ada banyak contoh yang menunjukkan hal itu, yakni persaingan yang tidak sehat, monopoli, pemenangan kontrak secara sepihak, tender kepada yang tidak semestinya, dan banyaknya proteksi. Mari menegaskan, ''Penyimpangan seperti ini yang tidak boleh terjadi lagi."
Selain itu, Adrian juga mengemukakan pentingnya Indonesia mencari kembali posisinya yang hilang akibat berakhirnya Perang Dingin pada akhir 1980-an. Semula, Amerika Serikat menganakemaskan Indonesia karena ketakutannya pada komunisme, tapi kini sikap itu berubah total. Semula, AS mendorong habis perusahaannya untuk menginvestasikan dananya ke Indonesia pada kurun waktu 1970-1980-an, tapi kini hal itu tak lagi jadi pilihan. Indonesia bukan anak emas lagi.
Selain itu, berakhirnya Perang Dingin membuat uang kembali pada karakternya semula: mengalir ke tempat yang aman dan menguntungkan. Jangan kaget kalau arus investasi ke Indonesia belakangan ini sangat kecil. Bahkan Indonesia mengalami arus investasi negatif dalam tiga tahun terakhir. Tak pelak lagi, Indonesia harus mencari niche (ceruk) baru agar tidak tergilas oleh perdagangan bebas dunia yang tinggal dua tahun lagi.
Karena itu, Indonesia mestinya tak perlu malu hati untuk meminta koreksi, agar tak lagi banci. Kalau memang arah kebijakan ekonomi pasar yang dirancang IMF ternyata tak sesuai dengan sasaran, Indonesia sendiri yang akan rugi, bukan IMF. Sebab, Indonesia tetap saja harus membayar utangnya.
M. Taufiqurohman, Dwi Wiyana, Leanika Tanjung, Agus H.
FLUKTUASI IHSG DAN RUPIAH JUNI 1999 - AGUSTUS 2000 |
7 Juni 1999 14 Februari 2000 20 Oktober 1999 30 Mei 2000 24 April 2000 20 Juli 2000 1 Agustus 2000 7 Agustus 2000 |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo