Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Daerah

13 Agustus 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kerinci

INI insiden klasik dengan alasan kuno. Ratusan penduduk etnis Kerinci dan sekitar 2.000 warga etnis Jawa di Kecamatan Kayuaro, Kabupaten Kerinci, Provinsi Jambi, melakukan tawuran massal Senin pekan lalu. Akibatnya, enam rumah dan sebuah mobil hangus serta 14 rumah lainnya rusak.

Bentrok bermula ketika ratusan warga etnis Kerinci dari 16 desa mematok area ladang milik warga etnis Jawa yang terhampar di luar area perkebunan teh PTP Nusantara VI Kayuaro. Mereka juga membakar pondok-pondok ladang dan merusak tanamannya. Alasan mereka, tanah-tanah itu semula milik adat masyarakat Kerinci yang dipinjamkan ke Belanda sejak 1925. Tahun ini, batas peminjaman berakhir. Karena itu, menurut logika mereka, tanah itu wajib diserahkan kembali.

Masalahnya, sebagian dari tanah seluas 6.000 hektare itu sekarang dikuasai warga etnis Jawa, yang secara turun-temurun berdiam di sana sejak dibawa Belanda sebagai buruh perkebunan (kuli kontrak). Melihat aksi warga Kerinci itu, warga etnis Jawa tak tinggal diam. Mereka balas menyerang desa-desa yang didiami penduduk etnis Kerinci di Desa Tanjungbungo dan Desa Kotomenanti. Malamnya, ganti etnis Kerinci melancarkan aksi balasan.

”Rabu kemarin, semua pihak sudah kembali berunding dan berdamai di hadapan Bupati. Bupati pun bersedia membantu kerugian yang dialami masyarakat,” ujar Kepala Kepolisian Resor Kerinci Superintenden Drs. Iwan Gumiwa.

Padangpariaman

URUSAN tanah selalu bikin masalah. Senin pekan lalu, giliran puluhan masyarakat Ketaping Selatan, Kabupaten Padangpariaman, Sumatra Barat, yang meradang karena merasa tanahnya diambil tanpa ganti rugi setimpal oleh proyek Bandar Udara Ketaping. Protes dilakukan warga dengan cara membongkar plang-plang peringatan di bandara itu, lalu mengusungnya ke Gedung DPRD Sumatra Barat. ”Tembak dulu kami jika mau menggarap tanah kami,” kata Abas, 66 tahun, salah seorang warga Ketaping Selatan, kepada anggota Komisi A DPRD Sum-Bar yang menerima mereka.

Warga yang menamakan diri Kelompok 68 itu jengkel karena pembebasan lahan proyek bandara bertele-tele sejak awal. Mereka menuduh beberapa pejabat Badan Pertanahan Nasional (BPN), pemerintah daerah, dan kepala desa setempat melakukan manipulasi dan korupsi.

Proses pembebasan lahan di daerah Ketaping Selatan yang berbatasan dengan Kota Padang itu diawali pada 1984. Tanah seluas 652 hektare itu ditebus sekitar Rp 2,7 miliar dari dana APBN murni yang dikucurkan pada 1993. Tapi, waktu itu, para petani hanya mendapatkan ganti rugi tanaman dan bangunan. BPN berjanji membayar ganti rugi tanah belakangan. Ternyata, belakangan hari, BPN dan Pemda Padangpariaman malah mengatakan tanah itu milik negara, sehingga tak perlu ganti rugi. Muncullah protes tadi.

Kendal

AMUK massa tepercik ke ratusan warga Banaran, Kecamatan Sukorejo, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah. Dengan penuh emosi, mereka menjarah kebun cengkeh milik PT Perkebunan Cengkeh, Kamis pekan silam. Mereka menebangi setidaknya dua truk pohon cengkeh yang sudah siap petik. Akibatnya, perusahaan itu menderita kerugian puluhan juta rupiah.

Penjarahan baru berhenti setelah petugas Brimob yang sudah lama berjaga di kebun itu melepaskan tembakan. Dua orang warga setempat, Timin dan Setam, tertembak paha dan telapak kakinya. Karena luka yang serius, dua korban itu dirawat di Rumah Sakit Islam Weleri. ”Setelah sembuh, baru mereka kami usut,” ucap Wakil Kepala Kepolisian Resor Kendal Senior Inspektur Polisi Ahmad Yudi. Penjarahan yang bukan untuk pertama kalinya ini tergolong berani dan jumlahnya cukup besar.

Pemicunya adalah sengketa tanah antara petani setempat dan PT Perkebunan Cengkeh milik Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri). Menurut Rebin, warga Beringinsari, tanah itu semula milik penduduk, statusnya tanah negara, peninggalan Perkebunan Belanda RKM (Rotterdamsche Kultur Maatschappij). Warga punya bukti berupa kartu girik. Karena pada 1961 Gappri membutuhkan lahan untuk percobaan penanaman cengkeh, melalui aparat desa, tanah tersebut dipinjam selama 25 tahun, berikut kartu giriknya (bukti pembayaran pajak). ”Tapi warga sedikit pun tidak menerima ganti rugi,” ucap Sutoyo, 75 tahun, salah seorang saksi hidup.

Surabaya

MUNCIKARI ternama Hartono kembali bikin berita. Ia kalap ketika juru sita Pengadilan Negeri Surabaya yang dikawal satu regu aparat polisi hendak menyita rumahnya di Jalan W.R. Supratman 85, Surabaya, Selasa pekan lalu.

”Rumah ini akan saya bakar,” teriaknya setengah histeris. Ia serius. Tak lama setelah ia mengeluarkan ancaman, rumah itu benar-benar hendak dibakarnya. Untung, petugas keburu mencegah sehingga kebakaran tak meluas. Hartono kemudian digelandang ke kantor polisi.

Penyitaan rumah itu merupakan konsekuensi macetnya pembayaran utang Hartono kepada Bank Artha Graha, yang sampai medio Desember 1999 mencapai Rp 32 miliar. Karena utang tak segera dilunasi—sebagai aset agunan bersama beberapa rumah Hartono lain di Bali, Jakarta, Batam, dan Surabaya—rumah itu pun dikuasai oleh Bank Artha Graha.

Bank Artha Graha lantas menjual aset-aset yang diagunkan oleh Hartono, termasuk yang di Jalan W.R. Supratman itu. Namun, Hartono sendiri enggan pindah kendati rumah sudah laku dijual. Edison Von Bulow, S.H., pengacara Adi Prasetyo, yang membeli rumah itu, mengemukakan Hartono sudah setahun diberi peringatan, termasuk anmaning dari pengadilan. ”Klien kami memberikan prioritas bila Hartono berniat membeli kembali rumah itu,” ujar Edison, ”tapi tak ada respons memadai dari Hartono.” Maka, terjadilah eksekusi itu.

Balikpapan

APES menimpa Pertamina. Kilang minyak Pertamina di Unit Pengolahan (UP) V Balikpapan, Kalimantan Timur, meledak dan terbakar, Senin pekan lalu. Satuan pemadam kebakaran milik Pertamina Balikpapan yang mengerahkan sekitar 250 personel dan tiga mobil pemadam baru berhasil memadamkan api setelah bekerja sekitar tiga jam. Insiden itu menyebabkan dua karyawan Pertamina yang berada di dekat lokasi, Iwan Simarmata dan Makrup, mengalami luka bakar di bagian tangan. Mereka kini masih menjalani perawatan intensif di Rumah Sakit Pertamina Balikpapan.

Menurut Chusnul Busro dari Bagian Humas Pertamina UP V, peristiwa meledaknya kilang minyak tersebut diperkirakan akan mengurangi produksi Pertamina UP V Balikpapan 20 ribu barel per hari dari total produksi 265 ribu barel per hari. Untuk sementara, kerugian Pertamina masih dihitung, tapi dipastikan mencapai miliaran rupiah.

Insiden itu terjadi diduga disebabkan oleh ausnya sejumlah pipa pada unit Hydroskimming Central (HSC) sehingga tidak mampu menahan tekanan gas yang disalurkan. ”Hasil pemeriksaan sementara tim forensik Mabes Polri menemukan kenyataan, dari tiga buah pipa yang diketahui terbakar, rata-rata ketebalannya sudah jauh menyusut,” kata Kepala Polresta Balikpapan, Superintenden Abdul Madjid R. Tapi, sehari kemudian, kilang yang terbakar itu sudah beroperasi kembali meskipun dengan kapasitas 65 persen.

Flores

MARIA Kaung, ibu muda yang sedang hamil 8 bulan itu, akhirnya mengembuskan napas terakhir di Rumah Sakit Umum Bejawa, Flores, Rabu pekan lalu. Bayi laki-laki yang dikandungnya tak bisa diselamatkan oleh tim dokter yang berusaha melakukan operasi caesar. Kematian Maria menambah jumlah korban wabah rabies di Pulau Flores, Nusatenggara Timur, menjadi 60 orang, dari 2.196 kasus gigitan akibat hewan pembawa rabies.

Tingginya kasus rabies merupakan ekses dari besarnya populasi anjing di Flores. Secara kultural, masyarakat setempat memang suka memelihara hewan tersebut. Padahal, anjing merupakan hewan utama yang menjadi pembawa virus rabies.

Ketua Komisi E DPRD NTT, Daniel Polin, mengatakan pihaknya akan mengusulkan agar pemerintah pusat menyatakan wabah rabies di Pulau Flores itu sebagai bencana nasional. Sementara itu, Kepala Seksi Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Hewan (P3H) Dinas Peternakan NTT Drh. Artati Loasana menyatakan kesulitan mengatasi wabah rabies itu akibat keterbatasan dana, yang hingga sekarang baru terkumpul Rp 400 juta. ”Padahal, untuk mengeliminasi dan memvaksin ribuan hewan di Flores, dibutuhkan sekitar Rp 4 miliar,” kata Artati.

Wicaksono, laporan koresponden daerah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus