Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Karet Membusuk, Desa Ditinggal

Harga karet merosot. Jatuhnya harga beberapa komoditi mengakibatkan para petani/buruh tani menderita. Selain harga, volume ekspor hasil tanaman keras Indonesia juga mengalami penurunan.

12 Desember 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MANGKUK penampung getah karet itu sudah dua minggu penuh. Tapi dia dibiarkan saja tergantung di batang pohon. Baunya menyebar ke mana-mana dan lalat mengerubung. Sudah hampir setengah bulan petani karet di Desa Bunut, Kecamatan Aek Nabara (Sum-Ut tidak mempedulikan kebun karet mereka. Gara-garanya harga karet merosot. Para petani kecil merasakan keadaan harga sekarang ini lebih parah dibandingkan tahun 1967. "Kalau waktu itu sekilo beras bisa dibeli dengan 2 kilo karet, sekarang diperlukan 4 kilo karet untuk sekilo beras," keluh seorang petani. Buat seorang petani karet senerti Amran Dalimunthe, 37 tahun, dari daerah karet di Sum-Ut itu kelihatannya masih ada sandaran hidup yang lain. Dia masih bisa menjual hasil kebunnya yang lam seperti mangga, duku ataupun durian yang memang sedang musimnya sekarang ini. Buruh penyadap karet yang paling terpukul. Di Kalimantan kabarnya mereka ada yang sampai makan gadung, sejenis umbi-umbian liar yang harus dimasak secara khusus karena beracun. Di Kalimantan Selatan jatuhnya harga karet sekarang sudah sampai mengakibatkan masalah sosial. Buruh penyadap meninggalkan kampung dan mencari pekerjaan ke kota, terutama Banjarmasin. Di sini mereka menjadi buruh bangunan. "Serbuan" ke kota oleh buruh-buruh karet ini mengakibatkan daerah yang mereka tinggalkan kekurangan tenaga produktif untuk kegiatan sosial, seperti kerja bakti. Sehingga beberapa kepala desa kabarnya mengeluh karena mandeknya kegiatan gotong-royong yang jadi tulang punggung pembangunan desa. Non-Kuota Kalau masih ada yang bertahan di antara buruh penyadap itu mereka mencari penghasilan dengan menebangi pohon karet dan dijual sebagai kayu bakar. Harga jual kayu bakar jenis ini menurut beberapa orang lebih bagus dibandingkan dengan harga karetnya. Seribu potong harganya Rp 3.000. Selain jatuhnya harga karet merosotnya harga kelapa sawit juga cukup membuat repot para pengusaha. Kapasitas pabrik turun tinggal separuh. "Pabrik kami ini sebenarnya berjalan tidak sesuai lagi dengan kapasitasnya," kata Hasibuan, seorang staf dari PT Prima Palm Indah yang terletak antara Medan dan Belawan. Mubazirnya produktivitas pabrik tersebut disebabkan impor otline dari Malaysia yang diizinkan beberapa bulan yang lalu. "Setelah adanya impor oiline tersebut keuntungan kami menjadi menipis. Akibatnya jatah Crude Palm Oil(CPO) dari perkebunan di sini tak bisa kami tebus," kata Hasibuan lagi. Selain harga, volume ekspor hasil tanaman keras Indonesia setengah tahun pertama (Januari-Juni) 1981 dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun 1980 mengalami penurunan. Berdasarkan catatan Departemen Perdagangan dan Koperasi yang paling menyolok tercatat ekspor minyak sawit dan kayu. Pada bulan Januari-Juni 1980 Indonesia mengekspor minyak sawit 212.000 ton, sedangkan pada bulan yang sama tahun 1981 tercatat hanya 88.000 ton. Kayu dari 7,5 juta ton menjadi sekitar 4 juta ton. Sedangkan kopi dari 126.000 ton turun jadi 100.000 ton. Teh agak bertahan dari 37.000 menjadi 33.000 ton, bungkil kopra dari 180.000 ton menjadi 157.000 ton. Sedangkan karet dari 470.000 ton menjadi 413.000 ton. Sekalipun ada yang naik, seperti lada dari 12.000 ton menjadi 14.000 ton. Tembakau dari 9.000 ton naik jadi 12.000 ton. Sekalipun terpukul oleh harga yang dari Rp 1.200 tahun 1980 menjadi tinggal Rp 600 per kg, petani kopi masih mujur bisa bertahan. Namun berbagai daerah penghasil kopi, seperti Lampung dan Sum-Ut para petani sudah ada yang terpaksa hidup dengan mernbarterkan hasil perkebunan mereka dengan kebutuhan sehari-hari. "Petani kopi memang terkena karena jatuhnya harga, tapi nasib mereka lebih baik. Karena sekalipun harga turun, kopi masih ada harga. Dan masih bisa disimpan untuk jangka yang cukup lama," kata Nirwan D. Bakrie, General Manager Divisi Komoditi dari PT Bakrie & Brothers. Jatuhnya harga kopi sekarang ini karena adanya kelebihan persediaan kopi dunia. Produksi Indonesia tahun ini 270.000 ton. Kuota untuk International Coffee Organisation berjumlah 138.000 ton. Kelebihan kuota itu harus dipasarkan ke negara-negara nonkuota, seperti negara-negara Eropa Timur dan Timur Tengah. "Tapi masalahnya persaingan dari Brazil dan beberapa negara Afrika kuat. Mereka menjual kurang lebih 60% dari stok nasionalnya," kata Nirwan. Dan harganya bersaing keras. Mereka lebih unggul, karena yang menjual adalah negara. Sehingga pertirnbangannya bukan lagi untung-rugi. Melainkan bagaimana mendapatkan devisa di tengah-tengah krisis harga sekarang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus