MANGKUK penampung getah karet itu sudah dua minggu penuh. Tapi
dia dibiarkan saja tergantung di batang pohon. Baunya menyebar
ke mana-mana dan lalat mengerubung. Sudah hampir setengah bulan
petani karet di Desa Bunut, Kecamatan Aek Nabara (Sum-Ut tidak
mempedulikan kebun karet mereka. Gara-garanya harga karet
merosot.
Para petani kecil merasakan keadaan harga sekarang ini lebih
parah dibandingkan tahun 1967. "Kalau waktu itu sekilo beras
bisa dibeli dengan 2 kilo karet, sekarang diperlukan 4 kilo
karet untuk sekilo beras," keluh seorang petani.
Buat seorang petani karet senerti Amran Dalimunthe, 37 tahun,
dari daerah karet di Sum-Ut itu kelihatannya masih ada sandaran
hidup yang lain. Dia masih bisa menjual hasil kebunnya yang lam
seperti mangga, duku ataupun durian yang memang sedang musimnya
sekarang ini. Buruh penyadap karet yang paling terpukul. Di
Kalimantan kabarnya mereka ada yang sampai makan gadung, sejenis
umbi-umbian liar yang harus dimasak secara khusus karena
beracun.
Di Kalimantan Selatan jatuhnya harga karet sekarang sudah sampai
mengakibatkan masalah sosial. Buruh penyadap meninggalkan
kampung dan mencari pekerjaan ke kota, terutama Banjarmasin. Di
sini mereka menjadi buruh bangunan. "Serbuan" ke kota oleh
buruh-buruh karet ini mengakibatkan daerah yang mereka
tinggalkan kekurangan tenaga produktif untuk kegiatan sosial,
seperti kerja bakti. Sehingga beberapa kepala desa kabarnya
mengeluh karena mandeknya kegiatan gotong-royong yang jadi
tulang punggung pembangunan desa.
Non-Kuota
Kalau masih ada yang bertahan di antara buruh penyadap itu
mereka mencari penghasilan dengan menebangi pohon karet dan
dijual sebagai kayu bakar. Harga jual kayu bakar jenis ini
menurut beberapa orang lebih bagus dibandingkan dengan harga
karetnya. Seribu potong harganya Rp 3.000.
Selain jatuhnya harga karet merosotnya harga kelapa sawit juga
cukup membuat repot para pengusaha. Kapasitas pabrik turun
tinggal separuh. "Pabrik kami ini sebenarnya berjalan tidak
sesuai lagi dengan kapasitasnya," kata Hasibuan, seorang staf
dari PT Prima Palm Indah yang terletak antara Medan dan Belawan.
Mubazirnya produktivitas pabrik tersebut disebabkan impor otline
dari Malaysia yang diizinkan beberapa bulan yang lalu. "Setelah
adanya impor oiline tersebut keuntungan kami menjadi menipis.
Akibatnya jatah Crude Palm Oil(CPO) dari perkebunan di sini tak
bisa kami tebus," kata Hasibuan lagi.
Selain harga, volume ekspor hasil tanaman keras Indonesia
setengah tahun pertama (Januari-Juni) 1981 dibandingkan dengan
periode yang sama pada tahun 1980 mengalami penurunan.
Berdasarkan catatan Departemen Perdagangan dan Koperasi yang
paling menyolok tercatat ekspor minyak sawit dan kayu. Pada
bulan Januari-Juni 1980 Indonesia mengekspor minyak sawit
212.000 ton, sedangkan pada bulan yang sama tahun 1981 tercatat
hanya 88.000 ton. Kayu dari 7,5 juta ton menjadi sekitar 4 juta
ton.
Sedangkan kopi dari 126.000 ton turun jadi 100.000 ton. Teh agak
bertahan dari 37.000 menjadi 33.000 ton, bungkil kopra dari
180.000 ton menjadi 157.000 ton. Sedangkan karet dari 470.000
ton menjadi 413.000 ton. Sekalipun ada yang naik, seperti lada
dari 12.000 ton menjadi 14.000 ton. Tembakau dari 9.000 ton naik
jadi 12.000 ton.
Sekalipun terpukul oleh harga yang dari Rp 1.200 tahun 1980
menjadi tinggal Rp 600 per kg, petani kopi masih mujur bisa
bertahan. Namun berbagai daerah penghasil kopi, seperti Lampung
dan Sum-Ut para petani sudah ada yang terpaksa hidup dengan
mernbarterkan hasil perkebunan mereka dengan kebutuhan
sehari-hari. "Petani kopi memang terkena karena jatuhnya harga,
tapi nasib mereka lebih baik. Karena sekalipun harga turun, kopi
masih ada harga. Dan masih bisa disimpan untuk jangka yang cukup
lama," kata Nirwan D. Bakrie, General Manager Divisi Komoditi
dari PT Bakrie & Brothers.
Jatuhnya harga kopi sekarang ini karena adanya kelebihan
persediaan kopi dunia. Produksi Indonesia tahun ini 270.000 ton.
Kuota untuk International Coffee Organisation berjumlah 138.000
ton. Kelebihan kuota itu harus dipasarkan ke negara-negara
nonkuota, seperti negara-negara Eropa Timur dan Timur Tengah.
"Tapi masalahnya persaingan dari Brazil dan beberapa negara
Afrika kuat. Mereka menjual kurang lebih 60% dari stok
nasionalnya," kata Nirwan. Dan harganya bersaing keras. Mereka
lebih unggul, karena yang menjual adalah negara. Sehingga
pertirnbangannya bukan lagi untung-rugi. Melainkan bagaimana
mendapatkan devisa di tengah-tengah krisis harga sekarang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini