Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Memukul Lambung Eksportir

Para eksportir tembakau menderita kerugian besar akibat merosotnya kurs dm terhadap dollar AS. kerugian membuat daya beli mereka melemah, sehingga memukul para petani dan hasilnya runyam.

12 Desember 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PUKULAN telak kembali mengenai lambung para eksportir tembakau NaOogst. "Kerugian tahun ini luar biasa," ujar R. Boedi Hidayat, Ketua Asosiasi Tembakau Indonesia Jawa Timur. "Setiap ekspor 1000 bal rugi sekitar Rp 100 Juta." Tahun ini ekspor tembakau-cerutu dari Besuki mencapai 150.000 bal. Eksportir terbesar PTP-27 (40.000 bal) yang terkenal sejak terjadinya kasus Jenggawah itu. Sisanya diekspor oleh 17 perusahaan swasta -- termasuk golongan Sariyem (Sisa Pribumi Yang Empat). Khusus kelompok Sariyem--NV Megananda, PT Daun Madu, PT Kebon Bako Arum, NV Ismail -- tahun ini mengekspor masing-masing sekitar 3000 bal. "Sudah nasib kami rupanya. Baru akan bangkit sudah mendapat pukulan lagi," ujar seorang staf di NV Ismail. Lima tahun lalu, ketika harga tembakau Na-Oogst merosot, banyak eksportir yang rontok tertimbun utang. Tinggal empat eksportir pribumi yang berusaha keras bangkit lagi, yang mereka sebut kelompok Sariyem. Penyebab kenlgian tahun ini sama sekali di luar kekuasaan mereka merosotnya kurs DM terhadap dollar AS bulan Mei lalu. "Sewaktu kita ambil kredit untuk pembelian, kita perhitungkan 1 DM sama dengan Rp 330. Ketika terjadi lelang di Bremen nilai 1 DM tinggal Rp 260," ujar R. Boedi Hidayat, Ketua ITA Ja-Tim. Kemudian R.H.J. Boediarto, seorang staf dari NV Megananda memperkirakan tiap-tiap perusahaan dari Sariyem rugi setidaknya Rp 150 juta. Yang paling beruntung tampaknya hanya PT Ledokombo, kampiun baru kelompok swasta. "Kami lain. Biarpun tidak untung tapi tidak rugi," ujar Dharsan Wanamarta, direktur Ledokombo. "Sebab kami menempuh cara red clausule LC," katanya. Tahun lalu Ledokombo mengekspor 30.000 bal--meninggalkan eksportir lainnya. Ledokombo yang pintar itu melakukan cara lain memang. Pembelian dan penjualan dilakukan oleh partnernya yang di Spanyol--Tabacorella Co. Jadi uang DM tak usah dirupiahkan. Sedangkan para eksportir lain mendapat kredit pembelian dari bank-bank Indonesia.. Pengembalian kredit harus merupiahkan sejumlah uang DM sebagai hasil penjualan/lelang Juni-Juli lalu, ketika DM masih senilai Rp 260. Kerugian yang melanda eksportir itu tentu membuat daya beli mereka melemah. Padahal memasuki bulan Desember ini berarti memasuki musim panen raya. Para petani tentu mengharapkan agar para eksportir bersaing melakukan pembelian seperti musim panen yang lalu. Harapan petani itu tentu saja tidak terwujud. Maka, kini giliran petani temhakau yang prihatin karena harga hasil panen mereka hanya berkisar so% dari harga panen yang lalu. "Kalau dulu harga topnya Rp 300.000, sekarang tinggal Rp 90.000 saja yang top," ujar Kasim seorang petani di Jenggawah. Bukan hanya daya beli para eksportir yang lemah yang merundung petani. Tapi juga musim yang jelek. Banyaknya hujan yang turun sepanjang kemarau lalu menyebabkan hasil panen yang runvam. "Lebih so% tembakau Besuki rusak oleh hujan," ujar H. Anwar, petani terkenal dari Mangli maupun Kasim petani beken di Jenggawah. Kerusakan itu terwujud pada bentuk daun yang mengecil, di samping banyak yang rubuh dan mati. "Tahun ini hampir tak ada daun tembakau yang panjangnya 60 cm. Rata-rata hanya 25 cm," ujar R.H.J. Boediarto, staf Megananda dan Ketua Perwakilan ITA Lumajang. Karena itu hasil panen tahun ini yang kualitas dek/omblad (mutu baik, utuh, cukup elastis) jadi rebutan oleh kalangan eksportir. Saingan Kamerun PT Mayangsari, misalnya, yang terkenal sebagai pembeli daun tembakau kualitas baik. "Kalau dulu dalam tiga hari kita bisa membeli 20 ton, tapi sekarang dalam seminggu hanya tiga ton saja," ujar Bambang seorang staf PT Mayangsari. Jadi kebanyakan hanya kualitas filler--untuk isi cerutu. Padahal kepopuleran tembakau Besuki yang belum terkalahkan di dunia ini adalah kehebatannya untuk bungkus cerutu. Karena itu para petani yang menguasai sekitar 12.000 ha tembakau sekarang ini mulai menghitung-hitung utang. Misalnya Mustina, 70 tahun, petani tembakau sejak zaman Belanda itu. Dia punya 0,2 ha tanah. Biaya produksi yang dikeluarkan setidaknya sudah Rp 150.000. Tapi hasil panennya tahun ini hanya 1 kuintal seharga Rp 60.000 saja. "Dulu bisa empat kuintal dan uang yang saya terima tahun lalu bisa Rp 500.000," katanya. Pendek kata, "kerugian per ha sekurang-kurangnya Rp Z40.000," ujar Kasim, petani Jenggawah setelah memperinci dengan agak njelimet. Permintaan pasaran (di luar negeri) sendiri sebenarnya masih tinggi. Beginilah laporan Sumitro, perantara tembakau Bremen, 29 Juni lalu. Tapi lebih dititikberatkan pada bahan deklomblad. Untuk jenis filler, Indonesia mendapat saingan kuat dari Kamerun, misalnya, yang selain mendapat fasilitas sebagai anggota MEE, juga menjual dalam partai besar. Juga terdapat penurunan konsumsi rokok cerutu dan sigarello, khususnya di Negeri Belanda (berkurang 32,48%) dan Jerman Barat (berkurang 49,71%).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus