PUKULAN telak kembali mengenai lambung para eksportir tembakau
NaOogst. "Kerugian tahun ini luar biasa," ujar R. Boedi Hidayat,
Ketua Asosiasi Tembakau Indonesia Jawa Timur. "Setiap ekspor
1000 bal rugi sekitar Rp 100 Juta."
Tahun ini ekspor tembakau-cerutu dari Besuki mencapai 150.000
bal. Eksportir terbesar PTP-27 (40.000 bal) yang terkenal sejak
terjadinya kasus Jenggawah itu. Sisanya diekspor oleh 17
perusahaan swasta -- termasuk golongan Sariyem (Sisa Pribumi
Yang Empat).
Khusus kelompok Sariyem--NV Megananda, PT Daun Madu, PT Kebon
Bako Arum, NV Ismail -- tahun ini mengekspor masing-masing
sekitar 3000 bal. "Sudah nasib kami rupanya. Baru akan bangkit
sudah mendapat pukulan lagi," ujar seorang staf di NV Ismail.
Lima tahun lalu, ketika harga tembakau Na-Oogst merosot, banyak
eksportir yang rontok tertimbun utang. Tinggal empat eksportir
pribumi yang berusaha keras bangkit lagi, yang mereka sebut
kelompok Sariyem.
Penyebab kenlgian tahun ini sama sekali di luar kekuasaan mereka
merosotnya kurs DM terhadap dollar AS bulan Mei lalu. "Sewaktu
kita ambil kredit untuk pembelian, kita perhitungkan 1 DM sama
dengan Rp 330. Ketika terjadi lelang di Bremen nilai 1 DM
tinggal Rp 260," ujar R. Boedi Hidayat, Ketua ITA Ja-Tim.
Kemudian R.H.J. Boediarto, seorang staf dari NV Megananda
memperkirakan tiap-tiap perusahaan dari Sariyem rugi setidaknya
Rp 150 juta.
Yang paling beruntung tampaknya hanya PT Ledokombo, kampiun baru
kelompok swasta. "Kami lain. Biarpun tidak untung tapi tidak
rugi," ujar Dharsan Wanamarta, direktur Ledokombo. "Sebab kami
menempuh cara red clausule LC," katanya. Tahun lalu Ledokombo
mengekspor 30.000 bal--meninggalkan eksportir lainnya.
Ledokombo yang pintar itu melakukan cara lain memang. Pembelian
dan penjualan dilakukan oleh partnernya yang di
Spanyol--Tabacorella Co. Jadi uang DM tak usah dirupiahkan.
Sedangkan para eksportir lain mendapat kredit pembelian dari
bank-bank Indonesia.. Pengembalian kredit harus merupiahkan
sejumlah uang DM sebagai hasil penjualan/lelang Juni-Juli lalu,
ketika DM masih senilai Rp 260.
Kerugian yang melanda eksportir itu tentu membuat daya beli
mereka melemah. Padahal memasuki bulan Desember ini berarti
memasuki musim panen raya. Para petani tentu mengharapkan agar
para eksportir bersaing melakukan pembelian seperti musim panen
yang lalu.
Harapan petani itu tentu saja tidak terwujud. Maka, kini giliran
petani temhakau yang prihatin karena harga hasil panen mereka
hanya berkisar so% dari harga panen yang lalu. "Kalau dulu harga
topnya Rp 300.000, sekarang tinggal Rp 90.000 saja yang top,"
ujar Kasim seorang petani di Jenggawah.
Bukan hanya daya beli para eksportir yang lemah yang merundung
petani. Tapi juga musim yang jelek. Banyaknya hujan yang turun
sepanjang kemarau lalu menyebabkan hasil panen yang runvam.
"Lebih so% tembakau Besuki rusak oleh hujan," ujar H. Anwar,
petani terkenal dari Mangli maupun Kasim petani beken di
Jenggawah.
Kerusakan itu terwujud pada bentuk daun yang mengecil, di
samping banyak yang rubuh dan mati. "Tahun ini hampir tak ada
daun tembakau yang panjangnya 60 cm. Rata-rata hanya 25 cm,"
ujar R.H.J. Boediarto, staf Megananda dan Ketua Perwakilan ITA
Lumajang. Karena itu hasil panen tahun ini yang kualitas
dek/omblad (mutu baik, utuh, cukup elastis) jadi rebutan oleh
kalangan eksportir.
Saingan Kamerun
PT Mayangsari, misalnya, yang terkenal sebagai pembeli daun
tembakau kualitas baik. "Kalau dulu dalam tiga hari kita bisa
membeli 20 ton, tapi sekarang dalam seminggu hanya tiga ton
saja," ujar Bambang seorang staf PT Mayangsari. Jadi kebanyakan
hanya kualitas filler--untuk isi cerutu. Padahal kepopuleran
tembakau Besuki yang belum terkalahkan di dunia ini adalah
kehebatannya untuk bungkus cerutu.
Karena itu para petani yang menguasai sekitar 12.000 ha tembakau
sekarang ini mulai menghitung-hitung utang. Misalnya Mustina, 70
tahun, petani tembakau sejak zaman Belanda itu. Dia punya 0,2 ha
tanah. Biaya produksi yang dikeluarkan setidaknya sudah Rp
150.000. Tapi hasil panennya tahun ini hanya 1 kuintal seharga
Rp 60.000 saja. "Dulu bisa empat kuintal dan uang yang saya
terima tahun lalu bisa Rp 500.000," katanya. Pendek kata,
"kerugian per ha sekurang-kurangnya Rp Z40.000," ujar Kasim,
petani Jenggawah setelah memperinci dengan agak njelimet.
Permintaan pasaran (di luar negeri) sendiri sebenarnya masih
tinggi. Beginilah laporan Sumitro, perantara tembakau Bremen, 29
Juni lalu. Tapi lebih dititikberatkan pada bahan deklomblad.
Untuk jenis filler, Indonesia mendapat saingan kuat dari
Kamerun, misalnya, yang selain mendapat fasilitas sebagai
anggota MEE, juga menjual dalam partai besar. Juga terdapat
penurunan konsumsi rokok cerutu dan sigarello, khususnya di
Negeri Belanda (berkurang 32,48%) dan Jerman Barat (berkurang
49,71%).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini