Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Ke Istana Mereka Bertandang

Empat pengutang kakap berniat membayar utangnya. Proses hukum harus tetap berjalan.

13 Februari 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ENAM pria bergegas masuk ke kantor Presiden di sayap kiri kompleks Istana Negara, Jakarta, Senin pekan lalu. Hanya dua yang dikenali para juru warta yang biasa mangkal di sana: Wakil Kepala Badan Reserse dan Kriminal Polri Inspektur Jenderal Gorries Mere dan Direktur Reserse Ekonomi Polri Komisaris Besar Benny Mamoto.

Siapa empat lainnya, tak banyak yang tahu. Tapi, yang jelas, bukan tamu sembarangan. Sebab, saat itu Presiden sedang menggelar rapat dengan Menteri Koordinator Perekonomian, Menteri Keuangan, Jaksa Agung, dan Kepala Polri. Yang dibahas adalah mekanisme pembayaran dana bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI) kepada negara.

Tak lama mereka berada di dalam, hanya sekitar setengah jam. Ketika keluar meninggalkan Istana, tak satu pun pertanyaan wartawan yang dijawab. Baru seusai rapat, tekateki ini mulai terjawab. Kapolri Jenderal Sutanto menyatakan empat orang tadi adalah pemilik bank—sekaligus debitor dana BLBI.

Mereka adalah Ulung Bursa (pemilik Bank Lautan Berlian), James Januardy (Bank Namura), dan Omar Putihrai (Bank Tamara). Satu lagi Lukman Astanto, menantu Atang Latief, pemilik Bank Indonesia Raya, yang telah menyerahkan diri ke polisi pada akhir bulan lalu.

Sutanto membantah kedatangan mereka untuk dipertemukan dengan Presiden. Menurut dia, mereka hanya ingin bertemu dengan para menteri, yang kebetulan sedang berada di Istana saat itu. ”Mereka berniat menyelesaikan kewajibannya,” katanya. Bantahan yang sama dilontarkan juru bicara Presiden, Andi Mallarangeng. ”Tidak perlu ada pertemuan Presiden dengan para debitor,” katanya.

Drajad Wibowo, anggota DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional, mengaku heran akan kedatangan empat debitor itu. ”Saya saja sulit masuk Istana,” katanya. Kritik tajam pun datang dari praktisi hukum Todung Mulya Lubis. ”Ini preseden buruk, karena debitor nakal diperlakukan secara terhormat,” katanya.

Nada tak jauh beda diungkapkan Ketua DPR Agung Laksono. Menurut dia, kedatangan para debitor itu menimbulkan berbagai sangkaan negatif dari masyarakat. ”Apa urgensinya?” ia mempertanyakan.

Sutanto berargumen, para pemilik bank yang berutang ke negara itu kesulitan membayar kewajibannya setelah Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) ditutup dua tahun lalu. ”Mereka tidak tahu harus mengembalikan kepada siapa,” katanya.

Ketika ditutup pada awal 2004, BPPN memang masih menyisakan pekerjaan rumah. Ada delapan debitor dari 40 penanda tangan penyelesaian kewajiban pemegang saham (PKPS) yang belum mengantongi surat lunas. Nama James Januardy (berutang Rp 123 miliar), Ulung Bursa (Rp 615 miliar), dan Omar Putihrai (Rp 190 miliar) ada dalam daftar itu.

Untuk menyelesaikan persoalan itulah, Menteri Koordinator Perekonomian menggelar rapat dengan Menteri Keuangan, Kepala Bappenas, dan Jaksa Agung, di Jakarta, Jumat pekan lalu. Kesimpulannya, Departemen Keuangan ditunjuk menggantikan tugas BPPN menampung pengembalian dana BLBI dalam satu rekening khusus, yaitu rekening bendahara umum negara.

”Ini jalan keluar bagi debitor yang ingin mengembalikan kewajibannya,” kata Sutanto, seusai rapat. Pemerintah pun membuka pintu bagi para pengutang BLBI untuk melunasi kewajibannya hingga akhir tahun ini. Dengan skema ini, Dirjen Perbendaharaan Negara Mulia Nasution optimistis, dana BLBI Rp 600 triliun yang dulu dikucurkan bakal utuh kembali ke kas negara.

Drajad mengingatkan, pemerintah hendaknya tak hanya mengedepankan upaya pengembalian dana BLBI dan melupakan aspek hukum. Sebab, kalau sekadar mengembalikan pokok utang, mereka bisa membayarnya dari bunga yang diperoleh sejak dana BLBI itu dikucurkan tujuh tahun lalu.

Itu sebabnya pula, kata Dradjad, meski ada niat dari para debitor membayar kewajibannya, mereka tetap harus diproses secara hukum. Tak masalah bila di kemudian hari Presiden memberikan grasi kepada debitor kooperatif.

Yura Syahrul, Sunariyah, Retno Sulistyowati

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus