Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Dari Pengakuan Orang Dalam

Sebuah buku yang mencoba mengupas kondisi, motivasi, dan produk dapur industri televisi di Indonesia. Penuntun untuk memahami sisi gelap kapitalisasi dalam industri televisi kita.

13 Februari 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Matikan TVMu: Teror Media Televisi di Indonesia Penulis: Sunardian Wirodono Penerbit: Yogyakarta: Resist Book, Desember 2005 Tebal: 175 halaman

Televisi adalah sebuah teror. Lihat buku Matikan TVMu: Teror Media Televisi di Indonesia, kesaksian ”orang dalam” di dunia media itu—mirip kesaksian seorang John Perkins dalam bukunya yang laris, The Confession of An Economic Hit Man.

Matikan TVMu: Teror Media Televisi di Indonesia buku yang mencoba memperlihatkan fakta gelap industri televisi di balik wajah tampan dan cantik penyiarnya. Memang ada yang mengusik dari catatan kaki yang menyebut Ted Turner bos 20th Century Fox (seharusnya Turner Network). Juga pernyataan bahwa Dora Emon kartun Jepang yang disebutnya ”dibuat anakanak muda Indonesia”. Mengganggu, tapi bobot buku ini memang tidak seluruhnya bertumpu pada catatan kaki, tidak pula pada teori.

Buku ini mulai menyentuh masalah utamanya setelah mengungkapkan satu setting penting setelah kejatuhan Soeharto: ekonomi belum juga pulih, tapi industri televisi (bersama media cetak, radio, Internet, dan telekomunikasi) tampil pesat. Ya, ekonomi memar, tapi televisi mekar. Kini, tak kurang dari 12 stasiun televisi swasta muncul, ditambah TVRI, dan belasan televisi lokal yang semuanya berebut meraih penonton di depan layar kaca.

Persaingan berlangsung ketat, lalu mengalirlah kritik dan kesaksiannya. Televisi penuh bias—antara lain bias Jakarta—untuk seluruh tampilan televisi. Mereka terperangkap: 70 persen pangsa pasar televisi ada di Jakarta, lalu Surabaya, lalu tujuh kota lain. Merekalah sasaran rating perusahaan AC Nielsen. ”Percuma membuka pasar di kotakota lain di Indonesia, karena toh AC Nielsen cuma akan menghitung kecenderungan penonton di sembilan kota tersebut. ”Dan rating adalah penguasa: segala tren produk atau usaha untuk mengeluarkan produk baru akan selalu bergantung pada hasil rating nantinya.

Keseragaman pola pikir, dan produknya, adalah contoh lain dari kritik internal penulis. Jakarta mendatangkan untung, dan segala yang berangkat dari tradisi di luar kota itu luput dari perhatian—kecuali jika sampai membangkitkan ketertarikan orang kota. Penulis juga mengkritik reality show yang mengagungkan solidaritas sosial tapi menyedot banyak untung. Berbagai tayangan yang memperlihatkan bantuan kepada orang miskin—untuk perbaikan rumah, pulang kampung, pelunasan utang—hingga beberapa juta rupiah. ”Uang tersebut tidak berarti sama sekali jika dibandingkan dengan harga jual produk mereka ke broadcast…. ’Bantuan’ tersebut adalah bentuk kamuflase memberi honor di bawah standar. ’Pemberian bantuan’ itu adalah bentuk eksploitasi yang lain.” (hlm. 4647)

Penulis buku ini menekankan pentingnya regulasi atas industri penyiaran, terutama menyangkut peran lembaga seperti KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) untuk mengatur isi siaran di mana etika penyiaran harus ditegakkan. Di luar itu, para profesional dalam televisi harus makin berkembang, dan juga masyarakat perlu semakin kritis dalam mengonsumsi acara televisi.

Buku ini penting untuk dibaca para pengelola televisi, para praktisi televisi yang masih mau berpikir panjang, masyarakat umum dan para mahasiswa komunikasi atau mahasiswa mana pun yang sekarang banyak punya citacita ”kerja di stasiun televisi”. Buku ini sangat berguna untuk membukakan mata kita guna memahami sisi gelap kapitalisasi dalam industri televisi, yang membawa kita pada suatu pertanyaan penting: adanya televisi dan berbagai programnya itu akan membawa kita pada suatu kemajuan peradaban, atau justru malah kemunduran peradaban manusia?

Tak mengherankan jika sosiolog Prancis kontemporer, Pierre Bourdieu, dalam salah satu tulisannya pernah menyebut televisi sebagai suatu ancaman serius untuk seluruh bidang produksi kebudayaan, dan juga membahayakan kehidupan politik dan demokrasi itu sendiri (Pierre Bourdieu, On Television, 1998). Nah, sudah terasakah arti teror itu sekarang?

Ignatius Haryanto—pengamat media

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus