Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bahasa

Mata Sang Hari

13 Februari 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nirwan Dewanto

TERPERANJAT saya ketika teman saya Syamsuddin Zahiri, seorang geolog yang juga pecandu bahasa, berkata, ”Bahasa kita—juga bahasa Melayu—tak punya sebuah kata untuk menunjuk benda langit yang memberi kita terang dan panas sejak pagi hingga senja. Sungguh ganjil.”

”Matahari, bukan?” sergah saya

”Sesungguhnya itu gabungan dua kata. Mata dan hari. Entah sejak kapan ditulis sekata. Di Malaysia dan Singapura juga demikian.”

”Bagaimana dengan surya dan syamsu, sinonimnya?”

”Itu kata ambilan. Yang pertama dari bahasa Sanskrit, yang masuk ke Jawa Kuna; yang kedua, dari bahasa Arab. Adapun mentari dan matari jelaslah dari matahari.”

”Bung, kau kecewa lantaran moyang Melayu kita tak menciptakan sekata yang kauinginkan itu?”

”Justru aku sangat bangga. Sang surya memang menimbulkan takjub di manamana. Orang Mesir Purba dan Aztec mendewakannya. Orang Jawa Kuna punya tak kurang dari 20 nama untuknya. Tapi orang Melayu menyebutnya dengan sebuah kimia kata belaka: mata hari. The eye of the day. Bayangkan, hari punya mata yang menyusuri langit. Mata yang melihat dan menerangi dunia. Inilah surrealisme tua pribumi, Kawan!”

”Oh, benar. Moyang kita sungguh bemata penyair. Mata punya juga banyak senyawa kata yang lain. Lihat saja mata air, air mata, mata kain, matamata, mata sapi, tanda mata. Tapi kenapa masih ditulis sebagai dua kata? Karena belum ada yang memulai? Apa bedanya dengan matahari?”

”Itulah. Mestinya kita berani menuliskan semua itu sekata saja. Di kamus kita ada matalamat, tentu dari mata alamat, yang berarti sasaran, tujuan, atau bulanbulanan. Dan jangan lupakan kacamata.”

”Ya. Seperti dalam bahasa Inggris. Ingatlah, misalnya, eyeglass, playboy, shuttlecock. Bahkan Melayu Singapura berani menulis keretapi, bukan kereta api. Kita mestinya menulis orangtua, untuk menunjuk ayahibu, yang bukan orang tua, orang lanjut usia. Dan orangutan, yang jelaslah bukan manusia hutan. Tapi aku bimbang kapan kita harus menulis gabungan dua kata sebagai sekata. Sebab para bahasawan menzahirkan saputangan dan segitiga di satu pihak, dan tanah air dan kutu buku di pihak lain.”

”Kukira, kalau gabungan dua kata benda itu menjadi idiom, yakni punya makna yang begitu lain dari kata pembentuknya, sebaiknya kita tulis sekata. Kalau perlu kita buat neologisme, seperti keretapi dan matalamat. Di Malaysia ada jantina, dari jantan dan betina, untuk menerjemahkan gender.”

Teringat sejumlah artikel ilmiah populernya, saya pun berseru, ”Tapi Bung tak konsisten. Bung misalnya menulis gunung api dan bukan gunungapi. Jelas itu bukan gunung yang mengeluarkan api!”

”Oh, itu ubahan redaktur,” nadanya meninggi. ”Kami kaum geolog sudah lama menggunakan gunungapi. Namun para redaktur menuruti para bahasawan dan pembaca awam. Seperti kautahu, gunung yang memiliki dapur magma, itulah gunungapi. Dalam dunia ilmiah, nama mencerminkan bentuk sekaligus hukum alam yang mendukungnya. Kami menulis batubara—bukan batu bara—untuk menjelaskan riwayatnya sebagai fosil pepohonan, bukan sekadar menunjuk bahan bakar hitamkeras yang diambil dari kedalaman bumi. Ketahuilah, kami membajak sebutan yang sudah lama berlaku, dan memaknainya secara baru.”

”Termasuk jika nama yang diberikan sang awam itu keliru?” saya mencecar terus.

”Ya. Itulah yang terjadi di banyak bidang ilmu. Contoh sungguh tanpa batas. Jelas, ilmuwan tak kalis dari bahasa seharihari. Lihatlah khazanah zoologi, misalnya. Kita sudah bicarakan orangutan. Ada juga kuda nil—disebut badak air di Malaysia—untuk merujuk Hippopotamus, padahal hewan itu sama sekali bukan kuda atau badak. Orang astronomi mengalihbasakan Milky Way, nama sebuah galaksi, sebagai Bima Sakti, bukan Jalan Susu. Konon karena galaksi itu terlihat seperti si Pandawa kedua. Itulah salah kaprah yang menyusup ke dunia ilmu. Mungkin saya akan menulis kudanil atau kudasungai, dan Bimasakti, demi memberikan takrif yang benar.”

Saya terhenyak. Di depan saya terbentang sebuah cermin yang memiuhkan wajah saya. Si Syamsu tak tampak lagi. Lihatlah, alangkah mirip saya dengan dia.

”Janganlah menentang matahari,” saya dengar suaranya, sayup, nun dari luar sana.

Kali ini bukankah dia sekadar meniru sebuah peribahasa lama, mungkin maksudnya janganlah menyanggah wibawa namanama benda atau makhluk yang sudah lama berlaku? Ataukah dia mencibir bahwa saya tak kuasa menyangkal pendapatnya?

*) Penulis bekerja untuk Jurnal Kebudayaan Kalam dan Lembar Sastra Koran Tempo Minggu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus