Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Ban Bekas Aman Tidak

Hampir semua maskapai penerbangan menggunakan ban vulkanisir. Bisa sampai sembilan kali

13 Februari 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BOEING 737 seri 200 itu akhirnya mendarat selamat di Bandar Udara SoekarnoHatta. Sebagian besar penumpang tak pernah tahu, ada yang tak beres dengan pesawat terbang yang baru saja mereka tumpangi dari Pangkal Pinang, BangkaBelitung itu.

Selasa pagi 24 Januari lalu, pesawat Sriwijaya Air boleh beruntung. Ban depan kiri, yang diketahui sudah mengelupas pada saat lepas landas di Pangkal Pinang, masih mampu bertahan. Kapten Pilot Bill Haminiar hanya butuh sepuluh menit persiapan tambahan sebelum mendarat, antara lain mengurangi beban pesawat dengan membuang bahan bakar.

Para petugas di bandar udara, yang telah bersiaga untuk langkah darurat, bahkan tak perlu menutup landasan. Tapi, dunia penerbangan nyaris tak memiliki toleransi terhadap kesalahan, apalagi menyangkut faktor keamanan. Dalam kasus ini, ”bunga” ban yang sudah divulkanisir terkelupas.

Pengalaman inilah yang kemudian menimbulkan beberapa pernyataan. ”Saya berharap maskapai penerbangan tidak menggunakan ban vulkanisir,” kata Direktur Operasional dan Teknik PT Angkasa Pura II, I Made Gusti Dhordy. ”Pengawasan harus lebih ketat,” kata Tengku Burhanuddin, Sekretaris Jenderal Asosiasi Perusahaan Angkutan Penerbangan Indonesia.

Menteri Perhubungan Hatta Rajasa bahkan mengaku sempat hendak melakukan pelarangan. Selang beberapa hari ia meralatnya. Soalnya, ”Peraturan internasional membolehkan,” katanya. Bagaimana sebenarnya duduk perkaranya?

Sama halnya dengan penggunaan ban vulkanisir oleh kendaraan bermotor di jalanan, di dunia penerbangan internasional pun, pemakaian ban bekas lazim kiranya. ”Yang jelas, semua maskapai di dalam dan luar negeri menggunakan ban vulkanisir,” ujar Direktur Utama Garuda Indonesia, Emirsyah Satar, Senin pekan lalu.

Pertimbangannya adalah penghematan. Harga satu ban utama di bawah sayap Boeing 737 mencapai US$ 600. Dalam kondisi normal, ban baru ini bisa digunakan ratarata untuk 200 kali pendaratan. Kalau dalam sehari sebuah pesawat enam kali terbang, satu ban hanya akan aman dipakai dalam 33 hari.

Ongkosnya akan sangat tinggi jika setiap kali harus diganti dengan yang baru. Sedangkan dengan pelapisan ulang terhadap ban bekas yang sudah gundul itu, biaya bisa ditekan hingga hanya US$ 250. Untuk ban depan, harganya akan turun menjadi hanya US$ 100, dari harga barunya yang US$ 150.

Pertanyaannya, amankah terbang dengan ban bekas itu? Pecah ban pada saat lepas landas atau mendarat jelas sangat berbahaya. Ingatlah tragedi meledaknya pesawat supersonik Concorde pada Selasa sore, 25 Juli 2000, di Paris, Prancis. Korban tewas 113 orang, dan sejak itu berakhir pula riwayat Concorde dalam sejarah penerbangan sipil.

Pemeriksaan menemukan, kecelakaan itu terjadi karena ban melindas sekeping logam di landasan pacu ketika take off. Pecahan ban menghantam sayap yang penuh bahan bakar, dan dengan cepat disusul ledakan dari mesin di sebelah kiri.

Ada banyak faktor sebabmusabab luka atau pecahnya ban. Tapi, dari segi teknologi, pelapisan ulang ban alias vulkanisir memang dimungkinkan dan tetap aman. ”Bisa sembilan bahkan sebelas kali retread. Tergantung jenisnya,” kata Hariyadi, teknisi pesawat di Garuda Maintenance Facility (GMF) Aero Asia.

Vulkanisir ban pesawat dilakukan secara resmi oleh para produsen seperti Michelin dan Good Year di Bangkok, Thailand, atau Bridge Stone di Hong Kong. Tak semua ban bekas layak divulkanisir. Uji kelayakan berlapis dilakukan oleh maskapai penerbangan sebagai pengguna, dan pihak produsen ban. ”Penolakan mencapai 19 persen,” Hariyadi menjelaskan.

Status kepemilikan ban ada pada produsen, karena itu mereka tak akan mainmain dengan kualitas pelapisan ini. ”Kalau ada kecelakaan, dan itu karena kesalahan produsen ban, mereka yang harus menanggung kerugian,” kata Dodi Yasendri, staf quality assurance di GMF.

Garuda, misalnya, saat ini hanya menggunakan ban produksi Bridge Stone dan memberikan toleransi hingga lima kali vulkanisir. ”Jauh di bawah batas yang diizinkan,” ujar Dodi. Kontrak diperbarui setiap tiga tahun, dan bisa berganti produsen sesuai dengan tender.

Meski GMF melayani perawatan hampir semua pesawat domestik, Dodi menolak memberikan keterangan mengenai praktek sirkulasi ban di maskapai lain. ”Yang pasti, kalau mau taat peraturan, biayanya mahal,” katanya.

Y. Tomi Aryanto, Wahyudin Fahmi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus