Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Liz Truss menjabat Perdana Menteri Inggris hanya selama 44 hari akibat kesalahan kebijakan ekonomi.
Program pemangkasan pajak Liz Truss menyebabkan investor obligasi kehilangan kepercayaan.
Indonesia menghadapi risiko kehilangan kepercayaan investor akibat pengelolaan fiskal yang salah.
JANGAN main-main dengan kebijakan ekonomi yang bertentangan dengan logika pasar. Akibatnya bukan cuma ekonomi negara yang bisa berantakan, si pemimpin yang ugal-ugalan juga bisa terjungkal. Itulah pelajaran dari jatuhnya Liz Truss pekan lalu. Truss cuma mampu bertahan selama 44 hari sebagai Perdana Menteri Inggris Raya.
Truss jatuh karena, begitu menjadi perdana menteri, ia mengusung program pemangkasan pajak besar-besaran senilai 45 miliar pound sterling—sekitar Rp 780 triliun. Niatnya baik. Truss yakin pemangkasan itu dapat mendorong ekonomi Inggris agar tumbuh lebih cepat.
Sebaliknya, bagi pasar, program ini sangat tidak masuk akal, bertentangan dengan prinsip pengelolaan anggaran yang sehat. Pemerintah Inggris tak punya duit untuk menambal hilangnya potensi pendapatan jika pajak dipangkas sebesar itu. Satu-satunya jalan, pemerintah Inggris harus membiayai program itu dengan membuat utang baru. Diperkirakan bujet pemerintah Inggris bakal bolong besar, hingga 60 miliar pound sterling, karenanya.
Begitu usul sembrono itu bergulir, reputasi Inggris di mata pasar finansial langsung ambruk. Nilai pound sterling merosot tajam. Harga obligasi pemerintah Inggris alias gilt rontok sampai-sampai memaksa Bank of England mengintervensi pasar lewat pembelian besar-besaran. Namun bank sentral Inggris itu pun akhirnya menyerah melawan tekanan pasar, tak mau lagi melakukan operasi pasar untuk menahan rontoknya harga gilt.
Kemarahan pasar baru mereda setelah Truss akhirnya memecat Kwasi Kwarteng, Menteri Keuangan promotor program itu yang baru menjabat 38 hari. Penggantinya, Jeremy Hunt, langsung membatalkan rencana pemangkasan pajak. Namun kredibilitas Truss sudah telanjur jeblok di mata pasar. Seminggu kemudian ia juga harus menyerah, meletakkan jabatan.
Bagi pemimpin di seluruh dunia, kekacauan kebijakan ekonomi di Inggris itu mesti menjadi pelajaran penting. Ketika sistem keuangan dunia begitu terintegrasi dan aliran modal bergerak begitu bebas, kredibilitas anggaran pemerintah harus benar-benar dijaga. Tak ada negara yang bisa lepas dari hukuman jika pasar sudah kehilangan keyakinan.
Jika melihat kondisi pasar obligasi pemerintah, Indonesia sebetulnya juga sedang menghadapi hukuman yang cukup serius dari pasar. Ada beberapa faktor yang membuat risiko berinvestasi di obligasi pemerintah RI meningkat. Misalnya melonjaknya beban pembayaran bunga karena ledakan utang pemerintah semenjak pandemi menyerang. Ruang fiskal pemerintah di tahun-tahun mendatang akan menyempit. Hal ini memicu sentimen negatif di pasar terhadap obligasi pemerintah.
Naiknya risiko itu membuat investor asing makin kehilangan minat menanamkan investasinya ke obligasi pemerintah RI. Memang, tekanan pasar terhadap obligasi pemerintah RI belum sedahsyat yang menimpa gilt. Namun persoalan ini sebetulnya tak bisa diabaikan karena sudah dan terus berlangsung secara konsisten semenjak Februari 2020. Pelan tapi pasti investor asing melepas obligasi pemerintah RI berdenominasi rupiah. Per 18 Oktober 2022, modal asing yang tertanam di sini tinggal Rp 718 triliun, turun dari Rp 1.077 triliun pada akhir Januari 2020.
Sekali lagi, rezeki Indonesia masih bagus. Naiknya harga komoditas ekspor belakangan ini menciptakan surplus besar aliran dolar yang masuk. Inilah yang menjadi bantalan sehingga kaburnya modal senilai Rp 350 triliun itu tidak terlalu menimbulkan gejolak.
Namun kondisi pasar komoditas yang menguntungkan Indonesia itu bisa segera berubah. Harga komoditas sudah mulai merosot. Likuiditas di pasar global juga makin ketat, suku bunga makin mencekik. Beban anggaran negara untuk membayar bunga juga akan makin berat. Perburukan kondisi ekonomi dunia ini seharusnya menyadarkan pemerintah untuk mengadopsi kebijakan yang lebih prudent dalam mengelola anggaran.
Sayangnya, pemerintah tak belajar dari kekeliruan Perdana Menteri Inggris Liz Truss. Presiden Joko Widodo masih saja memaksakan proyek-proyek mercusuar, seperti pembangunan ibu kota baru, yang sama sekali tak menolong perbaikan kredibilitas anggaran. Sungguh menakutkan jika akhirnya pasar benar-benar menghukum Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo