INILAH salah satu contoh dari sekian banyak lingkungan industri kecil (LIK) yang merana. Setelah kehilangan lebih dari separuh warganya, kali ini, kawasan usaha di Sidoarjo, Jawa Timur, itu harus melepas pergi satu-satunya bank yang mangkal di situ. Kantor Kas BNI '46, dalam waktu dekat, akan hijrah ke Krian - sekitar delapan kilometer dari kawasan itu. Ketika diresmikan, empat tahun lalu, daerah seluas enam hektar itu dihuni 72 unit usaha, yang bergerak di bidang pengolahan logam, kayu, dan sandang. Kini, tinggal 32 yang bertahan. Selebihnya 'ngungsi ke tempat lain, atau ambruk di Jalan. Modal memang sulit diputar di sini. Dari sekitar Rp 535 juta dana KIK/KMKP yang disalurkan BNI, menurut catatan April '86, Rp 145 juta macet. Sekitar Rp 55 juta lainnya perlu dijadwalkan kembali. Kawasan usaha di Desa Trosobo itu, 25 kilometer dari Surabaya, memang tengah diliput mendung. Sebutlah Suhud Syam, pengusaha mebel di situ, yang semula tergoda untuk menikmati kemudahan memperoleh pinjaman bank, gergaji, dan penghalus kayu elektris, meninggalkan toko mebelnya di Surabaya. Tapi, empat tahun di Trosobo, "Saya malah bangkrut," keluhnya. Apa boleh buat, selain harus merumahkan delapan dari sepuluh buruhnya, Syam masih menunggak utang Rp 26,5 juta di BNI '46. Pengusaha ini menunjuk aparat LIK sendiri yang menonjok usahanya. "Order yang mestinya jatuh ke kami, mereka kerjakan," ujarnya kesal. Tuduhan yang sama juga dilontarkan Tohir. Pengusaha kompor itu menuduh, show room di kompleks itu lebih banyak memamerkan barang olahan para tenaga penyuluh lapangan, yang ikut-ikutan jadi pengusaha. Akibatnya, kompor Pak Tohir kini nyaris tak berasap. "Saya hanya kerja kalau ada yang pesan," keluhnya. Dua puluh buruhnya terpaksa di-PHK-kan. Tentu, bukan hanya persaingan tak sehat itu yang membuat kawasan - yang memakan investasi Rp 1,5 milyar ini - muram. Kabarnya, jauhnya lokasi itu dari pasar juga menjadi penyebab lemahnya daya saing. Di Sumatera Barat usaha semacam juga menghadapi batu sandung. Perkampungan industri kecil (PIK) Ulu Gadut, 10 kilometer dari pusat Kota Padang, tengah kesulitan modal kerja. Pembangunan kawasan Industri kecil yang dilakukan secara bertahap ini, kabarnya, menguras modal kerja pengusaha setempat. Dana bank ternyata tak cukup longgar untuk membiayai pengadaan sarana. Karena terdesak target, uang pengusaha pun ikut tergaet. Di PIK Cakung, Jakarta Timur, malah banyak dana tak terserap. Dari Rp 400 juta dana yang disediakan Pemda DKI, hanya Rp 75 juta yang terserap. "Kami memang selektif, mereka harus membuat program yang matang dulu, baru diberi pinjaman," ujar Arsyad Siagian, Kabiro Bina Produksi Pemda DKI. Sikap selektif juga ditegakkan ketika menerima calon penghuni. Penghuni, menurut Djoko Brotosurjono, Kabiro Bina Sarana Perekonomian, dipilih dari mereka yang usahanya sehat, di samping persyaratan lain: pengusaha betul-betul memerlukannya. Ganjalan-gajalan dalam penyelenggaraan kawasan industri kecil ini diakui Dirjen Industri Kecil Trisura Suhardi. "Dari segi tata kota sudah benar, tapi belum dari kepentingan usaha," ujarnya kepada TEMPO. Menilai LIK Sidoarjo, pejabat Departemen Perindustrian ini melihat angsuran sewa-beli tempat usaha relatif tinggi. "Keuntungan mereka tak cukup besar untuk disisihkan buat angsuran," tambahnya. Dirjen industri kecil ini pun punya banyak rencana untuk menolong melonggarkan napas 15 LIK di Indonesia ini. Bapak-bapak angkat diangkat bagi pengusaha lemah. Tempat-tempat usaha itu akan di-HGB-kan atas nama penyewa. "Agar bisa untuk jaminan kredit bank," ujarnya. Tapi, melihat bolong-bolong dalam model penyelenggaraan LIK ini, menurut Dirjen, usaha semacam akan disetop. "LIK tidak akan dikembangkan lebih jauh," katanya. Ya, daripada membuang dana sia-sia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini