KELAPA sawit, elaeis guineensis, bukan komoditi "asli" Indonesia. la diimpor dari Mauritius. Upaya komersialisasi di Indonesia bermula pada 1914 di Deli, Sumatera Utara. Sejak itu provinsi tersebut jadi pusat produksi kelapa sawit Indonesia. Lalu merambah ke Sumatera Selatan hingga Aceh. Ekspor kelapa sawit di zaman Hindia Belanda pada 1938 lebih tinggi dari tahun 1985. Yang menarik dari kelapa sawit bukan saja gelombang kenaikan produksi yang konsisten sejak 1971 (dari 249.000 ton hingga 2,5 juta ton pada 190), tapi juga turun naiknya nilai devisa yang diperoleh yang berlangsung sejalan dengan gelombang naik turunnya harga internasional. Mungkin yang lebih menarik dari perkembangan produksi kelapa sawit dan industri yang menggunakan kelapa sawit (minyak kelapa goreng dan sabun) adalah ini: kebijaksanaan ekonomi yang berubah-ubah. Hal tersebut praktis telah mematikan inisiatif berinvestasi. Pada I980-an misalnya, berlaku kuota untuk produksi dan pembuat prosesor kopra. Saat itu komoditi kopra diatur oleh Bapengko (Badan Pengaturan Kopra). Lembaga ini punya kekuasaan memberi lisensi pelayaran antarpulau. Juga untuk pemungutan produksi yang hanya mengukuhkan posisi produsen yang memproses kopra. Hingga 1978 dan pertengahan 1983 harga rata-rata kopra di daerah produsen hanya naik 2%. Sementara itu, harga kopra dan kelapa sawit masing-masing naik 15% dan 17% di wilayah konsumen. Kelapa sawit hingga sebelum deregulasi 3 Juni 1991 berada di bawah koordinasi kebijaksanaan tiga menteri (SKB Menteri Pertanian, Industri, dan Perdagangan). Kebijaksanaan tersebut mencakup ketentuan: Berapa jumlah produksi yang dapat diekspor, dan berapa yang harus dijual di dalam negeri, dengan harga yang lebih rendah. Berapa besar minyak kelapa sawit yang harus dialokasi kepada produsen domestik yang menggunakannya sebagai bahan baku. Selain ketentuan itu, konsep nucleus estate dengan "inti" (pengusaha) dan "plasma" (pekerja perkebunan) ditetapkan konsep 20:80. Lalu, setelah berlakunya paket 6 Mei 1986 berubah jadi 40:60 untuk 10 tahun pertama operasi perkebunan. Pihak mayoritas adalah pekerja perkebunan. Selain itu, hak guna usaha juga ditetapkan batas waktunya 25-30 tahun. Struktur kepemilikan kelapa sawit umumnya memang sarat dengan penguasaan negara, khususnya PTP. Selain estates PTP lebih besar dari perkebunan swasta, pusat-pusat penyulingan (atau pengolahan menjadi minyak sawit), juga didominasi oleh PTP. Mereka juga memperoleh suplai kelapa sawit dengan harga murah, yakni di bawah harga fob untuk ekspor. Sebelum Pakjun '91, regulasi Pemerintah dalam kebijaksanaan yang menyangkut kelapa sawit dan kopra sungguh besar. Ini mencakup pengalokasian produksi untuk ekspor dan dalam negeri, pajak ekspor dan pajak impor, regulasi dalam investasi, dan selisih harga ekspor dan dalam negeri yang "diatur" terkadang harga ekspor lebih murah dan kini harga dalam negeri lebih murah. Dengan Paket Juni 1991 terjadi transformasi produksi kelapa sawit dan kopra. Juga transformasi pada industri yang menggunakan kedua bahan tersebut. Akibatnya, upaya efisiensi akan lebih tajam. Produsen kini bebas mengimpor minyak kelapa sawit dengan bea masuk 10% atau mengimpor kelapa sawit dengan bea masuk 5%. Ini pun berlaku bagi kopra dan minyak kelapa. Agaknya, sekarang orang bisa berkata, selisih harga domestik dan internasional -- setidaknya yang menyangkut kelapa sawit dan kopra -- menjadi amat tipis. Akibatnya, mudah-mudahan, tercapai efisiensi harga baik di dalam negeri maupun di pasar mancanegara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini