Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Ancaman terhadap dsr

Menteri keuangan mengharapkan bank-bank pemerintah menahan diri mencari pinjaman di pasar uang internasional. sedangkan bank swasta diimbau agar lebih hati-hati.

8 Juni 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bank-bank pemerintah harus menahan diri dalam mencari pinjaman ke pasar uang internasional. Bank swasta hanya diimbau. PERTEMUAN antara Menteri Keuangan J.B. Sumarlin dan para direktur bank pemerintah selalu mengundang perhatian. Sering terjadi, pertemuan semacam itu akan diikuti oleh kebijaksanaan baru di bidang moneter. Apalagi kalau rapat antara komisaris (Menteri Keuangan) dan direksi bank-bank pemerintah itu dilangsungkan sampai dua kali -- Jumat dua pekan silam dan Senin berikutnya. Ternyata, sebegitu jauh belum ditetaskan satu kebijaksanaan baru. Yang muncul kali ini adalah instruksi. Selaku Ketua Dewan Moneter, Menteri Keuangan mengharuskan bank-bank pemerintah agar untuk sementara tidak lagi mencari pinjaman di pasar uang internasional (off shore loan). Atau dalam kata-kata Gubernur Bank Sentral Adrianus Mooy, "Sekarang ini bukan saatnya untuk melakukan pinjaman." Mengapa Pemerintah seperti pengemudi yang menginjak rem tatkala kendaraan sedang berlari kencang? Mungkin karena pinjaman offshore itu dikhawatirkan bisa menjadi bumerang bagi Pemerintah. Mungkin juga karena sulitnya dana serta tingginya bunga dalam negeri, para bankir berlomba-lomba mengejar off shore loan, tanpa menghiraukan risikonya. Apalagi dunia usaha di Indonesia diperkirakan masih membutuhkan US$ 5 milyar lagi. Bankir pemerintah tampaknya tidak antusias menyambut instruksi Sumarlin itu. "Untuk kesekian kalinya kami diminta berkorban," kata salah seorang dari mereka. Maksudnya? Sebelum ini, mereka sudah berkorban ketika Pemerintah memerintahkan penarikan KLBI (Kredit Likuiditas Bank Indonesia). Salah satu akibatnya ialah, BBD (Bank Bumi Daya) dalam jangka waktu enam bulan wajib mengembalikan Rp 900 milyar ke BI. Sesudah itu, melalui Paket Februari, mereka diminta mengonversikan deposito BUMN-BUMN menjadi SBI. Dalam hal ini BBD, menurut sumber yang sama, mengonversikan deposito ke SBI sebanyak Rp 350 milyar. Situasi sekarang memang tidak segawat Februari lampau, ketika isu devaluasi tak bisa dibendung dan Pemerintah (BI) seolah-olah kehilangan kontrol sebagai pengendali moneter. Jadi, bankbank pemerintah tampaknya sekadar diminta menahan diri. Mengapa harus mereka? Mungkin sekali karena upaya mereka mencari off shore loan, dan terutama upaya serupa yang dilakukan oleh bank-bank swasta, dianggap telah mengancam tingkat DSR (debt service ratio) kita. Apalagi pinjaman yang disedot sektor swasta belakangan jumlahnya sudah mencapai US$ 6 milyar. Akibatnya, beban DSR (per- bandingan antara beban cicilan utang dan penerimaan ekspor) akan membesar. Boleh jadi, akan melampaui 35%, padahal sasaran idealnya adalah 25%. Perkembangan ekspor kita sebenarnya menggembirakan. Untuk 1990 ekspor nonmigas meningkat 6,7%, sehingga mencapai USS 15 milyar. Prestasi ini didukung oleh meningkatnya nilai ekspor barang-barang manufaktur. Dalam pada itu, ekspor minyak dan gas bumi naik 33%, nilai akhirnya mencapai US$ 11,8 milyar. Tapi impor nonmigas juga naik, yakni 29% -- nilai totalnya US$ 17,9 milyar. Sedangkan impor migas US$ 2,6 milyar (naik 15,5%). Paket Deregulasi Mei 1990 secara langsung berpengaruh terhadap kenaikan impor, mengingat komoditi yang tadinya diharamkan -- seperti semen dan kendaraan niaga -- jadi halal impor. Dengan menghitung impor jasa-jasa yang sebagian besar berupa pembayaran bunga pinjaman luar negeri dan biaya angkut barang-barang impor, defisit transaksi berjalan untuk 1990 meningkat jadi US$ 2,4 milyar (pada 1989, defisit itu US$ 1,3 milyar). Hal itu dikemukakan oleh Adrianus Mooy pada pertemuan tahunan perbankan Maret lalu. Defisit yang dikemukakan Mooy jelas tidak bisa diabaikan. Namun, bank-bank (pemerintah ataupun swasta) yang memperoleh kredit di pasar uang internasional selalu mengatakan, dananya dimanfaatkan untuk mendukung ekspor. Dengan demikian, bisa dianggap aman. Contoh terakhir Bank Bali, yang pekan silam memperoleh revolving credit facility sebesar US$ 100 juta. Presiden Direktur Bank Bali Djaja Ramli mengatakan, dana itu akan disalurkannya untuk para eksportir, mengingat permintaan kredit ekspor terus meningkat. Bank Bali sendiri sudah menyalurkan kredit ekspor Rp 220 milyar. Memang benar, ketika situasi pasar uang dalam negeri ketat, pinjaman dari mancanegara itu merupakan alternatif terbaik. Bank-bank pemerintah dan swasta seperti tak mau kehilangan kesempatan. Akibatnya, bunga pinjaman pun menjadi naik, dari sekitar 0,25% di atas LIBOR (London Inter-Bank Offered Rate) pada tahun lalu, belakangan rata-rata sampai 1,25% di atas LIBOR. Bank Bali, misalnya, resmi dikenai bunga 0,625% di atas LIBOR. Tapi, dengan fee dan lain-lain, jatuhnya lebih dari 1% di atas LIBOR juga. Dan bunga tinggi itu bukan semata-mata karena permintaan meningkat. Menurut Direktur Eksekutif Lippobank Laksamana Sukardi, karena dalam daftar country risk, Indonesia dinilai buruk kondisinya. Jika pinjaman dengan bunga tinggi seperti itu tetap saja diburu, akibatnya bisa runyam. Bukan hanya karena bunganya, yang ternyata kalau dihitung-hitung (dengan premi swap dan depresiasi) rata-rata masih di bawah bunga pinjaman dalam negeri. Tapi juga karena Direktur BI Binhadi sampai mempertanyakan, "Apa benar kredit-kredit itu seluruhnya dimanfaatkan untuk mendukung ekspor?" Maka, bank swasta juga diimbau agar lebih hati-hati ( prudent). Adalah benar, deregulasi telah membebaskan bank-bank itu untuk beroperasi ke pasar uang internasional. Tapi Pemerintah rupanya merasa perlu memasang kendali. Dalam pidato pada Simposium Sewindu Deregulasi Keuangan Perbankan (1983-1991) di Hotel Sahid, Jakarta, Sabtu pekan silam, Adrianus Mooy sudah menegaskan, "Kebebasan harus dipergunakan secara hati-hati ...." Mohamad Cholid, Moebanoe Moera, Bambang Aji, dan Iwan Qodar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus