Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Meski diklaim lebih aman, kepastian bahan bakar PLTN berbasis garam dipertanyakan.
Aspek keamanan lingkungan juga menjadi perhatian organisasi lingkungan hidup.
Indonesia masih membutuhkan waktu panjang sampai bisa memiliki PLTN.
BELUM adanya pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) berbasis reaktor garam cair (molten salt reactor/MSR) yang beroperasi komersial di seluruh dunia membuat sebagian kalangan ragu akan pemanfaatan teknologi tersebut di Indonesia. Meskipun reaktor ini sudah dianggap sebagai bagian dari teknologi nuklir generasi keempat yang dianggap maju dan aman.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Peneliti nuklir dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Geni Rina Sunaryo, menilai faktor utama yang membuat teknologi ini masih diragukan adalah sisi komersial dan regulasinya. “Karena baru skala riset,” kata dia kepada Tempo, kemarin. “Potensinya memang ada. Tapi, untuk diterapkan di Indonesia, perlu ada pembanding best practice-nya dulu.”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saat ini setidaknya ada dua perusahaan pengembang PLTN MSR yang sedang menjajaki rencana penggunaan teknologi itu di Indonesia. Kedua perusahaan itu ialah Seaborg Technologies asal Denmark dan ThorCon International Pte Ltd yang berbasis di Singapura. Seaborg menggandeng Indonesia Power dan sejumlah institusi untuk melakukan studi kelayakan yang rencananya dimulai tahun ini. Sedangkan ThorCon sudah memulai studi kelayakan pada 2021.
Hambatan lain pemanfaatan PLTN MSR, menurut Geni, adalah skema pembuatan bahan bakarnya. Meski berbasis garam, bahan bakar reaktor ini tetap harus diolah dan dicampur dengan uranium atau torium. Nah, skema pembuatan bahan bakar inilah yang menurut Geni belum bisa ditakar skala ekonominya. “Biayanya berapa, siapa yang membuat, lalu produksinya di mana, belum jelas.”
Petugas Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) menjelaskan kerja reaktor daya eksperimental (RDE) di lab simulator pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) di Puspiptek Serpong, Tangerang Selatan, Banten, 28 Januari 2019. ANTARA/Muhammad Iqbal
Kalaupun akhirnya ada, pembuatan bahan bakar itu tak dilakukan di dalam negeri. Jadi, jika Indonesia mengadopsi PLTN MSR, dipastikan perlu mengimpor bahan bakarnya. “Tapi impor sebetulnya tak masalah jika memang hitungan ekonominya masuk,” ujar Geni. Jika dibandingkan dengan produksi pelet uranium—bahan bakar PLTN yang beroperasi di banyak negara—pun, menurut dia, keberlanjutan dan kepastian pasokan bahan bakar berbasis garam masih diragukan.
Ihwal bahan bakar juga berkaitan dengan urusan regulasi. Dalam hal penggunaan nuklir, Geni menjelaskan, Indonesia harus tetap berpegang pada perjanjian nonproliferasi nuklir. Dalam perjanjian ini, setiap negara harus memastikan bahwa pengembangan nuklir dilakukan untuk kepentingan damai, misalnya, untuk kebutuhan energi. Secara teknologi, Badan Tenaga Atom Internasional atau International Atomic Energy Agency (IAEA) juga sudah menyatakan bahwa reaktor generasi keempat sudah memiliki resistansi keamanan tinggi.
Secara simpel, kata Geni, arti dari resistansi keamanan tinggi adalah bahan bakar reaktor tidak dikhawatirkan bisa dimanfaatkan kembali untuk pembuatan senjata nuklir. “Ada sejumlah parameter yang ditentukan. Reaktor generasi keempat itu, oleh IAEA, dianggap tak terlalu berisiko digunakan sebagai senjata atau untuk keperluan militer.”
Hal yang sama juga berlaku dalam aspek keselamatan. Geni mengatakan reaktor nuklir generasi keempat memang sudah terjamin lebih rendah risiko dibanding reaktor dari generasi sebelumnya. “Sistem keselamatan dan mitigasi risikonya lebih baik.” Dalam hal ini, kata dia, IAEA pun sudah memberikan pengakuan. Meski demikian, pembangunan PLTN pun tetap harus memenuhi sejumlah syarat ketat.
IAEA menyatakan bahwa setiap negara yang akan membangun PLTN perlu memenuhi 19 infrastruktur fase satu. Poin-poin itu meliputi berbagai aspek keamanan dan keselamatan, perlindungan lingkungan dan radiasi, sampai pengembangan sumber daya manusia. Saat ini Indonesia sebetulnya sudah memenuhi 16 poin syarat itu. Tiga poin yang belum terpenuhi Indonesia adalah soal posisi nasional atau komitmen pemerintah perihal PLTN, keberadaan panitia atau manajemen khusus, dan keterlibatan pemangku kepentingan.
Toh, kata Geni, sebetulnya untuk maju ke tahap kedua rencana pengembangan nuklir, 19 syarat itu tak mesti dipenuhi sekaligus. Ia memberi contoh pada 2017, Bangladesh mulai membangun PLTN Rooppur, tapi belum membentuk panitia khusus atau Nuclear Energy Program Implementation Organization-nya. “Kelengkapan itu bisa menyusul, kok. Syarat utamanya adalah komitmen pemerintah. Kalau presiden oke, baru bisa jalan.”
Jika akhirnya Indonesia mengadopsi teknologi PLTN MSR, Geni menganggap Indonesia sudah punya kemampuan pengelolaan dan pengoperasiannya. Secara sumber daya manusia, ujar dia, Indonesia punya banyak teknisi dan peneliti yang kualitasnya tak kalah oleh para pakar di negara lain. Begitu juga soal kemampuan lembaga penelitian dalam mengembangkan teknologi nuklir. “Para peneliti nuklir di BRIN bahkan sudah pernah membuat reaktor generasi keempat untuk eksperimen, meski pada akhirnya program itu mandek.”
Juru kampanye iklim dan energi Greenpeace Indonesia, Hadi Priyanto, juga menganggap perjalanan Indonesia mengadopsi teknologi nuklir untuk pembangkit listrik masih jauh. Ia mengingatkan, meski bahan bakarnya dicampur garam, teknologi PLTN MSR ini masih menggunakan campuran uranium yang tetap menghasilkan limbah radioaktif. “Walau (pembangkit listriknya) dibangun skala kecil, kalau ada kebocoran, pencemaran lingkungan tetap terjadi dan berbahaya.”
Hadi juga berpendapat senada dengan Geni soal skala ekonomi PLTN MSR. Apa pun bentuknya, kata dia, teknologi nuklir masih sangat mahal. Mengacu pada negara lain yang juga belum mengadopsi teknologi tersebut, penerapan di Indonesia sulit dilakukan dalam waktu dekat. “Uji coba teknologi ini masih lama. IAEA pun harus melakukan pengawasan serius dan ketat.”
Aneka kekhawatiran mengenai keamanan, keselamatan, dan keandalan PLTN MSR itu, menurut Head of Business Development Seaborg Technologies, Nikolaj Hamann, memang menjadi perhatian utama banyak orang. Saat ini, kata dia, perusahaan tengah melakukan berbagai uji coba agar bisa meyakinkan publik. Dia menyebutkan perusahaannya tengah mengembangkan teknologi bahan bakar reaktor berbasis garam yang lebih aman dan tidak bersifat korosif. “Kami akan menggunakan garam fluorida yang diperkaya uranium,” ujarnya kepada Tempo dan sejumlah jurnalis anggota program Indonesia Climate Journalist Network di kantornya, di Kopenhagen, 15 Juni lalu.
Ihwal produksi bahan bakar, kata Nikolaj, perusahaannya baru saja meresmikan kerja sama dengan dua perusahaan Korea Selatan, KEPCO Nuclear Fuel dan GS Engineering & Construction, untuk membangun fasilitas produksi di Negeri Ginseng. “Untuk pengolahan limbahnya, kami sedang mengembangkan teknologi agar bahan bakar bisa dipakai kembali untuk reaktor dan didaur ulang secara aman.”
PRAGA UTAMA | CAESAR AKBAR
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo