Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEDIAMAN Ali Hartono tidak lagi dipenuhi tumpukan karung berisi bijih timah. Penambang timah rakyat di Kecamatan Parit Tiga, Kabupaten Bangka Barat, Bangka Belitung, ini mulai menjual hasil tambangnya kepada pengepul yang datang ke rumah-rumah. "Sekarang kami bisa menjual timah tanpa perlu sembunyi-sembunyi lagi," katanya kepada Tempo, Rabu pekan lalu.
Pekan-pekan sebelumnya, Ali dan para penambang tradisional di Bangka resah karena tak bisa menjual hasil tambang. Para pengepul "tiarap" karena takut ditangkap bila ketahuan membeli pasir timah dari lokasi yang tidak memiliki izin usaha pertambangan. Akibatnya, pasir timah menumpuk di rumah penambang. "Satu rumah bisa menyimpan ratusan karung," ujarnya. "Mungkin ribuan ton."
Aparat keamanan belakangan memang memperketat pengawasan terhadap timah yang keluar dari Bangka Belitung. Pada 9 Maret 2014, Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut menangkap kapal TB Marine 75/TK Bina Marine 76. Kapal yang berangkat dari Pelabuhan Pangkalbalam, Bangka Belitung, menuju Singapura itu mengangkut 134 kontainer timah. Kemudian, 21 April lalu, Badan Koordinasi Keamanan Laut (Bakorkamla) menyetop kapal BG Jimbaran Bay yang akan berlayar ke Singapura. Kapal itu mengangkut 85 kontainer timah.
Pengawasan ketat itu dilakukan karena ada indikasi perdagangan komoditas ini dilakukan secara tidak sah. Berdasarkan penelusuran Indonesia Corruption Watch (ICW), selama 2004-2013 ditemukan 301.800 metrik ton ekspor timah dengan senilai US$ 4,358 miliar (sekitar Rp 50,121 triliun) tidak tercatat alias ilegal. Lembaga antikorupsi ini mengacu pada data resmi kantor bea dan cukai negara pengimpor-meliputi 22 negara pembeli-dibandingkan dengan data ekspor di Kementerian Perdagangan dan Badan Pusat Statistik.
Menurut Koordinator Divisi Monitoring dan Analisis Anggaran ICW Firdaus Ilyas, persoalannya adalah regulasi yang bolong. Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 32 Tahun 2013 tentang ekspor timah baru mengatur tata niaga timah dalam bentuk batangan dan bentuk lain. Timah batangan harus diperdagangkan melalui bursa, sejak 30 Agustus 2013. Sedangkan kewajiban masuk bursa bagi timah bentuk lain akan berlaku 1 Januari 2015. Artinya, sekarang ekspor timah bentuk lain masih diperbolehkan. Celah inilah yang kerap digunakan para pengusaha untuk tetap bisa mengapalkan timah ke luar negeri.
Kepala Pelaksana Harian Bakorkamla Laksamana Madya Desi Albert Mamahit menambahkan, regulasi yang ada menimbulkan "area abu-abu". Sebab, ada yang bilang barang tersebut termasuk ilegal, tapi ada yang mengatakan sah. "Ini membingungkan aparat yang akan bertindak tegas," ucapnya.
Kementerian Perdagangan akhirnya memperbaiki regulasi tersebut. Draf revisi Peraturan Nomor 32 Tahun 2013 telah disiapkan. Bahkan kementerian yang dipimpin Muhammad Lutfi itu telah beberapa kali melakukan sosialisasi kepada semua pemangku kepentingan di sektor pertambangan timah.
Presiden Komisaris Bursa Komoditi dan Derivatif Indonesia (BKDI) Fenny Widjaja menyambut baik rencana revisi itu sebagai komitmen otoritas menyetop praktek ekspor timah ilegal. Antara lain, dengan membagi pengawasan ekspor timah di sisi hulu dan hilir. Di sisi hulu, timah batangan akan dipantau Kementerian Perdagangan. Sedangkan sisi hilir-dalam bentuk solder dan non-ingot-akan dimonitor Kementerian Perindustrian. Pemisahan ini dilakukan untuk menghindari kerancuan tata niaga timah.
Tapi Fenny merasa ada yang aneh dalam proses penyusunan peraturan baru itu. Draf revisi Peraturan Nomor 32 tidak mengatur semua jenis komoditas timah, sesuai dengan buku panduan tarif kepabeanan Indonesia. Menurut dia, aturan itu cuma mengakomodasi timah murni batangan, timah murni bukan batangan, timah solder, dan timah paduan bukan solder. "Mengapa tidak mengatur timah dalam bentuk lain?"
Berdasarkan buku tarif kepabeanan Indonesia, komoditas timah dibagi menjadi empat pos tarif atau kode HS. Pos tarif 80.01 adalah timah tidak ditempa serta 80.02 untuk sisa dan scrap timah. Adapun pos tarif 80.03 adalah kelompok solder, yakni timah batang, batang kecil, profil, dan kawat timah, serta pos tarif 80.07 untuk barang lain dari timah. Nah, pos tarif yang terakhir inilah yang tidak disentuh oleh draf peraturan Menteri Perdagangan baru.
Menurut Ketua Asosiasi Eksportir Timah Indonesia Jabin Sufianto, pada awal pembahasan, semua pos tarif timah diatur. "Tiba-tiba di draf terakhir hilang." Jabin menjelaskan, saat pertemuan terakhir membahas revisi Peraturan Nomor 32 Tahun 2013 pada 16 Juni lalu, dipertanyakan soal tidak adanya kode HS 80.07. "Kementerian bilang karena item-nya sangat banyak sehingga sulit diatur."
Karena itu, Asosiasi Eksportir Timah melayangkan surat kepada Menteri Perdagangan keesokan harinya. Mereka menilai tidak diaturnya kode HS 80.07 akan menjadi celah bagi smelter timah untuk memasukkan barangnya ke kelompok pos tarif ini.
Dalam suratnya, Asosiasi melampirkan data manifes kapal BG Bina Marine 76 yang ditangkap TNI Angkatan Laut. Sejumlah kontainer diklaim sebagai produk timah dalam bentuk lain, dengan kategori pos tarif 80.07. Mereka juga meminta ekspor produk dengan pos tarif tersebut dilarang. "Jika ekspor pos tarif ini tidak dibatasi, harus dilarang," kata Jabin dalam surat.
Jabin mengaku curiga ada kepentingan di balik hilangnya pos tarif 80.07. Tujuannya supaya sejumlah smelter tersebut bebas mengekspor, tanpa aturan. "Itu sangat mungkin, karena draf sebelumnya ada. Tiba-tiba di draf terakhir hilang." Jabin menolak menyebutkan kelompok pengusaha yang ia duga telah melobi pemerintah.
Dalam bisnis timah dikenal satu kelompok pengusaha yang berbeda pendapat, yakni perkumpulan eksportir timah nonbursa. Melalui panitia kerja Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Bangka Belitung, mereka meminta aturan yang mewajibkan perdagangan timah melalui bursa direvisi menjadi "boleh", bukan "wajib". Juru bicara perkumpulan eksportir timah nonbursa, Rio Samudera, membantah tuduhan telah melobi pejabat. "Kami menginginkan agar bursa dikelola BUMN, bukan swasta seperti sekarang."
Rabu pekan lalu, Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi memastikan revisi Peraturan Nomor 32 Tahun 2013 telah rampung, bahkan telah diteken. "Cuma, itu untuk keperluan per 1 Januari 2015, bukan untuk mengurusi keperluan yang lalu," ucapnya kepada Tempo. Menurut Lutfi, pada dasarnya peraturan baru ini tidak mengubah ketentuan perdagangan timah batangan (ingot). "Di luar ingot masuk bursa pada Januari 2015," ujarnya.
Tapi, Jumat pekan lalu, Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Partogi Pangaribuan, yang akan diangkat menggantikan Bachrul Chairi, meralatnya. "Perlu sekali lagi pertemuan." Belum ada kepastian kapan pertemuan sosialisasi tersebut akan diadakan.
Prinsipnya, Partogi mengatakan, semua kategori produk timah harus diatur, termasuk kelompok timah hilir, seperti asbak dan anode, yang masuk kode HS 80.07. Dia berharap peraturan Menteri Perdagangan baru bisa terbit sebelum pemerintah baru terbentuk. "Mungkin Agustus."
Kendati belum ada kepastian, di pengujung pekan lalu bocor draf revisi teranyar peraturan Menteri Perdagangan itu. Seorang pelaku industri mengatakan dalam versi terbaru itu kembali muncul pos tarif 80.07 secara lengkap. Jika tidak mental lagi, ini sesuai dengan janji Menteri Lutfi soal perlunya aturan perdagangan timah bentuk lain yang selama ini dianggap sebagai biang kebocoran.
Retno Sulistyowati, Akbar Tri Kurniawan, Bernadette Christina Munthe, Ayu Prima Sandi (Jakarta), Servio Maranda (Bangka Belitung)
Pos Tarif 80.07
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo