Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Tapak Jenderal Timah Bangka

Ekspor timah ilegal yang dilindungi pensiunan jenderal polisi dilepas aparat Angkatan Laut. Ada kabar intervensi Menteri Djoko Suyanto dan Dipo Alam.

14 Juli 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PENANGKAPAN tugboat Bina Marine 75 yang menyeret tongkang 76 berisi timah ekspor ilegal oleh Pangkalan Angkatan Laut membuat Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi mendadak pergi ke Batam, Kepulauan Riau. Duduk di kelas ekonomi pesawat Sriwijaya Air, Lutfi ditemani Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Bachrul Chairi, Presiden Komisaris Bursa Komoditi dan Derivatif Indonesia (BKDI) Fenny Widjaja, Kepala Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi, serta perwakilan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.

Pada pengujung Maret lalu itu, Lutfi baru dua bulan menjabat menteri. Setiba di Batam, dia disambut Panglima Komando Armada Barat Laksamana Madya Arief Rudianto dan Komandan Sekolah Staf dan Komando Angkatan Laut Laksamana Muda Desi Albert Mamahit. Lutfi dan rombongan langsung dibawa ke kawasan Golf Palm Spring Golf Beach and Resort. Di sana sudah menunggu Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Djoko Suyanto, Panglima Tentara Nasional Indonesia Jenderal Moeldoko, Kepala Staf TNI Angkatan Laut Laksamana Marsetio, dan Kepala Kepolisian RI Jenderal Sutarman.

Mereka berkumpul membahas penahanan Bina Marine yang mengangkut 134 kontainer isi timah batangan senilai lebih dari Rp 700 miliar menuju Singapura. Di tengah rapat, Lutfi dan Arief kemudian berpindah ke ruangan lain untuk berbicara dengan Djoko Suyanto, Moeldoko, Marsetio, dan Sutarman. Kehadiran Lutfi ditunggu-tunggu karena kisruh dan saling silang pendapat menguat terkait dengan penangkapan yang dianggap menyalahi Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 32 Tahun 2013, yang mengatur ekspor timah, itu.

Lutfi terlihat kecewa terhadap penangkapan tersebut. Alasannya, pengiriman itu memenuhi semua dokumen ekspor. Tapi Angkatan Laut menangkap Bina Marine karena menduga kapal itu mengangkut timah ekspor yang seharusnya hanya bisa dijual melalui Bursa Komoditi dan Derivatif Indonesia. Tapi, di ujung pembicaraan, Lutfi mengendur. Ia mengakui ada lubang dalam aturannya yang bisa memicu persoalan di lapangan. Dia pun berjanji akan membereskan urusan ini secepatnya. "Satu minggu," ujar Lutfi, menyebut waktu yang ia perlukan untuk perbaikan itu, seperti ditirukan oleh sumber Tempo.

Sudah tiga bulan berlalu, sampai hari-hari ini lubang-lubang dalam aturan yang hendak ditambal itu tak kunjung rapat. Tarik-ulur revisi peraturan menteri begitu kuat. Selama itu pula timah-timah bermasalah tersebut terus saja mengalir ke luar negeri tanpa bisa dicegah. Akibatnya, negara dirugikan karena pajak yang berkurang dan membanjirnya timah di pasar dunia memicu penurunan harga.

Mamahit membenarkan ada pertemuan tersebut. "Saya tahu Kemendag ke Batam," katanya Selasa pekan lalu. Ia menjelaskan, peraturan menteri mewajibkan timah batangan dijual melalui bursa sejak 31 Agustus 2013. Ekspor di luar itu hanya diizinkan untuk timah dalam bentuk lain, seperti solder, tapi dibatasi hanya sampai akhir tahun ini. Masalahnya, penjelasan tentang jenis timah non-batangan atau bentuk lain dalam aturan itu tidak dijelaskan secara rinci.

Di situlah para eksportir dan pengusaha smelter bermain, dengan bantuan petugas yang seharusnya menjadi pengawas. Memanfaatkan waktu yang masih tersisa sampai Desember mendatang, banyak eksportir menyiasati aturan itu dengan mengolah timah menjadi bentuk solder berdiameter jari telunjuk orang dewasa. Ini bentuk yang tak lazim dalam bisnis timah internasional, tapi ditetapkan sebagai jenis non-batangan dalam laporan surveyor. Dengan begitu, mereka bisa mengelak bertransaksi lewat bursa. "Inilah masalahnya," ujar Mamahit.

Uji laboratorium yang kemudian dilakukan juga membuktikan timah-timah itu bermasalah, dan diakui Lutfi sebagai lubang yang harus ia tambal dalam ekspor institusinya. "Ini yang akan kami perbaiki," katanya Jumat pekan lalu.

n n n

Setengah bulan Bina Marine bersandar di Batam sambil menunggu penetapan kasusnya. Hasilnya, timah dalam 73 kontainer dinyatakan sah untuk diekspor. Adapun 61 kontainer lain dianggap menyalahi aturan dan dikirim pulang ke Pangkalpinang.

Tapi penangkapan di Batam itu tak membuat para eksportir di Bangka Belitung kehabisan akal. Bahkan, sebelum timah ilegal itu tiba kembali, beberapa pemiliknya mengirim lagi 20 kontainer berisi barang serupa. Timah solder baru itu diangkut kapal BG Jimbaran Bay pada 17 April, bersama 65 kontainer timah batangan milik anggota bursa yang diekspor ke Singapura.

Upaya lancang para pengusaha bandel itu terdengar oleh Mamahit, yang waktu itu baru sepekan dilantik menjadi Kepala Pelaksana Harian Badan Koordinasi Keamanan Laut (Bakorkamla). Laksamana bintang tiga itu memerintahkan anak buahnya menguber kapal tersebut. Sembilan jam menerabas laut, kapal patroli Bakorkamla berhasil mencegat Jimbaran Bay.

Setelah Jimbaran diseret ke pelabuhan di Batam, Mamahit melapor kepada Menteri Djoko Suyanto. Seperti halnya dengan penahanan Bina Marine, dia yakin aksinya punya dasar hukum jelas.

Rupanya, keyakinan Mamahit meleset. Gayung tak bersambut dan Mamahit, yang tadinya bersemangat dengan penangkapan itu, tiba-tiba melempem. Empat hari ditahan, kapal itu akhirnya dia lepas kembali.

Seorang pengusaha mengatakan perintah melepas itu datang dari Djoko. Tapi Mamahit dengan sopan membantahnya dan memilih pasang badan. "Saya yang mengusulkan melepas, karena tak ada pelanggaran," ujarnya.

Alasan itulah yang dianggap tak masuk akal oleh sumber Tempo. Sebab, Mamahit begitu saja percaya pada penjelasan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, yang hanya berdasarkan dokumen ekspor. Tak ada penggeledahan dan pemeriksaan isi kontainer seperti halnya dilakukan atas Bina Marine. "Aneh sekali," kata pengusaha itu.

Sehari setelah Mamahit melepas kapal itu, datang kabar menghebohkan dari Bangka Belitung. Dari 61 kontainer yang dikirim kembali, 52 kontainer langsung diberi izin ekspor tanpa pemeriksaan ulang. Hanya sembilan kontainer yang ditahan, tiga di antaranya milik PT Timah Tbk, dan sebagian lagi berisi rempah-rempah.

Dua kasus penangkapan yang berujung pada lolosnya timah ilegal itu dengan cepat diikuti oleh pengapalan berikutnya. Selang dua pekan, kapal BG Jimbaran Bay kembali mengangkut 128 kontainer berisi 73 kontainer timah milik anggota bursa, sisanya timah solder milik eksportir nonbursa. Dari data manifes kapal, timah-timah bermasalah dalam tiga pengiriman itu di antaranya tercatat dimiliki PT Bangka Kuda Tin, CV Venus Inti Perkasa, dan CV Serumpun Sebalai.

Ketiganya merupakan smelter terbesar di Bangka Belitung. Beberapa pengusaha menyebut nama seorang pensiunan jenderal polisi bintang tiga sebagai pemilik satu di antara perusahaan itu.

Timah Bangka Kuda Tin di tiga kapal itu berjumlah 15 kontainer, masing-masing berisi 25 ton, dengan harga US$ 22 ribu per ton. Artinya, setiap kontainer bernilai US$ 550 ribu atau setara dengan Rp 6,36 miliar. Perusahaan ini diketahui milik Ape Niagata Tjandra, yang juga menguasai Novotel Bangka Hotel and Convention Centre di Pangkalpinang. Dua pengusaha besar timah mengatakan Ape dikenal dekat dengan Sekretaris Kabinet Dipo Alam, yang juga disebut-sebut mempunyai saham di Bangka Kuda Tin.

Dua eksportir timah dan seorang pejabat badan usaha milik negara mengatakan Ape-lah yang melobi Dipo agar meminta Djoko Suyanto melepas timah yang ditahan Angkatan Laut dan Bakorkamla. Tapi Dipo membantah jika disebut mengenal Ape, apalagi memiliki saham di perusahaannya. "Itu urusan Menteri Perdagangan," ucapnya.

Djoko Suyanto pun menolak tudingan bahwa dialah yang memerintahkan Mamahit agar melepas kapal timah bermasalah itu. "Berita itu sama sekali tidak benar," ujarnya.

Ape enggan ditemui Tempo. Ia mengutus orang dekatnya, Rio Samudera, untuk diwawancarai. Rio mengatakan Ape bukan pemilik Bangka Kuda Tin. Ia juga membantah kabar bahwa bosnya itu melobi sejumlah menteri. "Kami tidak melobi, justru pengusaha di bursa yang dekat pejabat," tuturnya.

Rio menilai tidak tepat menuding timah ekspor nonbursa sebagai barang ilegal. "Kami membayar royalti dan jenis timah kami sesuai dengan peraturan menteri," katanya Kamis pekan lalu. Rio balik menuding perkara ini diramaikan pengusaha bursa yang ingin menguasai pasir timah dari pertambangan rakyat. "Kami dimatikan pelan-pelan."

Rio mengatakan semua jenis timah akan diperdagangkan seluruhnya di bursa. Hanya, untuk timah non-batangan baru diwajibkan pada 1 Januari 2015. Masa transisi ini dimanfaatkan oleh pengusaha nonbursa dengan memproduksi timah solder.

Rio menilai desakan agar timah solder dimasukkan dalam timah batangan menunjukkan pengusaha bursa tidak sabar. "Ada gejala monopoli," ujarnya. Alasan lain menolak masuk bursa lantaran BKDI dimiliki swasta, bukan BUMN. Ada pula pungutan masuk bursa sebesar Rp 500 juta, yang dinilai terlalu mahal.

Presiden Komisaris BKDI Fenny Widjaja menilai alasan Rio dibuat-buat. Iuran masuk BKDI termasuk paling murah ketimbang bursa di Malaysia, apalagi London. Menurut dia, bursa dibuat untuk menjadikan Indonesia sebagai eksportir timah terbesar bisa menjadi penentu harga dan tak lagi dikendalikan para pedagang di Kuala Lumpur dan London. "Semua bursa di negara lain pun tidak dikelola pemerintah," katanya.

n n n

KISRUH ekspor timah non-batangan mencerminkan konflik pengusaha timah di provinsi berjulukan Serumpun Sebalai itu. Mayoritas timah milik swasta berasal dari pasir timah yang dikeruk dari pertambangan ilegal, yang kebanyakan berskala kecil. Para pengusaha smelter juga mengumpulkan pasir timah milik rakyat, lalu diolah setengah jadi sebelum diekspor.

Rebutan pasir timah kerap terjadi. Komisaris Utama PT Timah Tbk, Komisaris Jenderal Purnawirawan Insmerda Lebang, mengatakan aparat keamanan kerap membekingi smelter swasta dan mengambil pasir timah yang akan disetor ke PT Timah. "Ini menyebabkan PT Timah merugi."

Kabar banyaknya aparat dan petinggi instansi pengamanan di balik bisnis timah bermasalah itu sampai juga di telinga Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Abraham Samad. Para jenderal jadi semacam pelindung bagi operasi sejumlah pengusaha yang mengakali aturan dan merugikan negara hingga triliunan rupiah per bulan itu (lihat infografis). Timah olahan setengah matang mereka jual ke Singapura, lalu dikirim ke Malaysia dan Thailand untuk diolah lagi, sebelum diekspor kembali dalam bentuk produk akhir atau timah murni melalui bursa di Kuala Lumpur atau London.

Dugaan kerugian negara yang begitu besar itu pula yang membawa Abraham Samad turun ke Bangka Belitung pada awal Juni lalu bersama Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Komisaris Jenderal Suhardi Allius. Tanpa menyebut nama, Samad mengirim sinyal perlawanan kepada para jenderal nakal tersebut. "Aparat penegak hukum jangan jadi beking. Kami akan bertindak tegas," ujarnya.

Suhardi tak kalah garang. Ia mengaku mengetahui nama-nama jenderal polisi aktif dan pensiunan yang membekingi ekspor timah ilegal. "Saya sudah tahu siapa yang bermain."

Akbar Tri Kurniawan, Angga Sukma, Ayu Prima Sandi, Servio Maranda (Pangkalpinang)


Tekor karena Bocor

Komisi Pemberantasan Korupsi menelisik potensi kerugian negara akibat ekspor timah ilegal dari Bangka Belitung. Kerugian negara itu disebabkan oleh banyaknya timah yang diekspor tanpa menyetor kewajiban fiskal kepada negara. Smelter di Malaysia, Thailand, dan Singapura menjadi penampung utama timah batang, melebur, mencetak kembali, serta menjual di bursa London. Sepanjang 2004-2012, Rp 50 triliun potensi pendapatan negara melayang.

CAR SALES

Timah olahanBijih timah (kiloton)
Malaysia  
201139,5 3,0
201237,83,7
201332,73,8
Thailand  
201121,00,5
201222,9nol
201323,0nol
Cina  
2011165,0106,4
2012152,091,5
2013158,1102,1
Indonesia  
201153,089,7
201252,496,6
201353,194,3

Kerugian Negara
1.Volume ekspor timah ilegal pada 2004-2013 sekitar 301 ribu ton dengan penjualan US$ 4,368 miliar atau setara dengan Rp 50,121 triliun.
2.Kewajiban pembayaran royalti 3 persen dari nilai penjualan, maka kerugian negara dari royalti 3 persen x US$ 4,368 miliar = US$ 130,752 juta.
3.Kewajiban pembayaran pajak penghasilan badan US$ 231,998 juta atau setara dengan Rp 2,667 triliun.

Penurunan harga timah di Bursa Komoditi dan Derivatif Indonesia akibat pasokan melimpah di bursa London.

Perbandingan

 Ekspor (ton)Ekspor Harga timah (US$)
Januari4.61221.500-22.000
Februari5.99722.000-23.000
Maret5.84823.000-23.250
April5.21923.875-23.000
Mei12.77823.000-22.500
SUMBER: ICDX, PDAT, ICW

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus