Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Ada mutasi, ada reorganisasi

Aparat perpajakan eselon IV & V harus menjalani tes psikologi. mereka tak menguasai seluk beluk metode menghitung pajak sendiri (MPS). ditjen pajak melakukan reorganisasi & mutasi aparatnya.

29 Juli 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PELAYANAN, penyuluhan, dan pemeriksaan. Ketiga hal itulah yang menjadi tujuan reorganisasi dalam tubuh Ditjen Pajak, sekaligus merupakan konsekuensi sistem perpajakan "self assessment". Atau yang lebih dikenal sebagai sistem MPS (menghitung pajak sendiri), yang resmi diberlakukan tahun 1984. Karena pelaksanaan sistem itu memerlukan kecanggihan tertentu, maka, sebagai langkah awal, pekan ini banyak aparat perpajakan dari eselon IV dan V yang diharuskan menjalani tes psikologi. Dimulai di Jakarta, tes itu dilaksanakan untuk menguji sikap mental mereka. Kelak dari situ, Ditjen Pajak berusaha mencetak aparat pajak yang andal. Sebelumnya juga sudah dilakukan tes penguasaan materi perpajakan. Hasilnya mengecewakan. Eselon IV (kepala seksi) dan V aparat pajak di DKI Jakarta - mereka berperan mengegolkan 71% dari seluruh penerimaan yang dikumpulkan Ditjen Pajak - masih lemah. Cuma sekitar 20o yang tahu seluk-beluk metode menghitung pajak sendiri. Padahal, mereka adalah uiune tombak nelaksanaan MPS. Hal itu dicetuskan Menteri Muda Nasrudin Sumintapura - selaku pejabat sementara Dirjen Pajak dalam acara dengar pendapat dengan Komisi VII DPR-RI belum lama ini. Kala itu Dirjen Pajak Mar'ie Muhammad sedang cuti dua bulan - sejak pertengahan Mei silam. Mar'ie menjalani operasi mata di RSCM - opname 10 hari. Sekalipun begitu, Nasrudin tidak mau menunda mutasi aparat, yang memang menjadi bagian dari reorganisasi Ditjen Pajak. Dua pejabat eselon II, misalnya, jelas sudah diganti. Direktur Pajak Tak Langsung, Made Armade, diganti Waluyo Daryadi. Made diangkat jadi Kepala Kanwil DKI Jakarta - posisinya sekarang eselon III. Hutomo, yang kedudukannya semula sebagai Direktur PPN (Pajak Pertambahan Nilai) - sekarang dijabat Wahono - pun dijadikan Kepala Kanwil. Nasrudin pula yang melantik 40 orang pejabat baru eselon III di Jakarta. Kabarnya, di Bandung dan Surabaya, juga terjadi mutasi besar. Tak heran jika banyak aparat pajak terheran-heran dan mengalami stres mental. Apalagi mereka yang--terbukti punya kasus - dan dinonaktifkan. Irli lebih berat dari mutasi. Kelemahan aparat juga terlihat pada tingkat pelayanan petugas, dan kepatuhannya terhadap garis kebijaksanaan dari pusat. Selain itu, banyak masalah yang lamban diproses. Surat teguran kepada wajib pajak yang tidak memasukkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan, misalnya. April mestinya sudah dikirim, tapi nyatanya terlambat sebulan. Padahal, itu juga menentukan pemasukan pajak. Tak pelak lagi, diperlukan jurus-jurus yang manjur untuk memotivasi aparat pajak. Bagi Mar'ie Muhammad - mulai aktif 15 Juli lalu - yang penting orang itu minimal harus memenuhi minimal tiga kriteria. Yakni kepemimpinan, kemampuan teknis, dan integritas. "Meskipun pintar kemampuan teknisnya, kalau integritasnya memble, berbahaya juga," ujar Mar'ie, yang kini bisa melihat jarak jauh tanpa kaca mata itu. Tentang kepemimpinan. kata Mar'ie. itu harus dimiliki setidaknya pada tingkat Kasubdit. Setelah pejabat eselon II dibenahi, menyusul eselon III yang diselesaikan bulan ini. Setelah itu, "Secepatnya akan disusul mutasi ribuan eselon IV," tambah Mar'ie. Mutasi habis-habisan itu diperlukan, antara lain, untuk penyegaran dan peningkatan efektivitas serta motivasi kerja. Upaya meningkatkan taraf keterampilan aparat, sebagian besar lulusan SMTA itu, selain melalui macam-macam pendidikan di dalam negeri, juga di luar negeri. Misalnya kursus administrasi pajak selama enam bulan, atau ikut "International Tax Program". Kini Ditjen Pajak pun mendapat limpahan tenaga sekitar 2.000 orang dari Ditjen Anggaran. Mereka dididik dulu selama dua bulan. Tenaga baru lulusan Sekolah Tinggi Akuntansi Negara pun sudah diterima 158 orang. Aparat yang bersih mungkin terhitung makhluk langka, tapi bukan berarti kita tidak perlu mencoba. Apalagi kini, di saat masyarakat merasa berhak menuntut lebih banyak, karena mereka juga sudah ditagih membayar pajak secara ketat.Suhardjo Hs. Hetty, Aji

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum