AGAKNYA yang merasa paling pusing dengan akibat tindakan
Kenop-15 itu adalah Menteri Perdagangan dan Koperasi Radius
Prawiro. Bersuara paling keras akhir-akhir ini, dibandingkan
Menteri teknokrat lainnya, adalah Radius yang dihadapkan pada
kesulitan untuk menentukan kalkulasi harga baru. Sudah 207 macam
barang yang dibuat di dalam negeri berhasil ditentukan harga
jual pabrik, dan eceran tertinggi. Termasuk HET semen yang
harganya melambung di Sumatera Utara.
Tapi belum lagi beres dengan semua itu, Menteri Radius
dihadapkan dengan kepusingan lain: para distributor yang tadinya
bisa memperoleh barang dagangannya secara kredit, kini diminta
membayar tunai oleh produsen. Soalnya kaum produsen itu, setelah
kejutan Kenop 15, umumnya merasa kekurangan likuiditas alias
modal untuk kerja.
Dia lalu menghimbau agar para pengusaha itu "kembali ke pola
perdagangan seperti sebelum 15 Nopember."Artinya para produsen
harus bisa menjual barangnya kepada para penyalur dengan sistim
kredit selama 2 sampai 3 bulan. Tapi para produsen rupanya sudah
siap dengan jawaban: hanya mungkin memenuhi permintaan Menteri
Radius itu, kalau saja keran kredit dari bank-bank pemerintah
dibuka sedikit lebar.
Kabarnya pihak Perdagangan sendiri sedang berusaha untuk
membujuk Bank Indonesia, agar juga mengulurkan tangannya kepada
kaum produsen itu. Tapi belum lagi usaha tersebut berhasil,
orang pertama di Departemen Perdagaugan itu merasa perlu
beristirahat sebentar: Menteri Radius Prawiro pekan lalu
bertolak ke Tokyo, untuk kemuian berobat ke Queen's Medical
Hospital di Honolulu.
Akan berhasilkah usaha meyakinkan BI, seorang pejabat senior
Departemen Perdagangan merasa belum pasti. Tapi bagi Sudardjo,
53 tahun, Ketua Asosiasi Pabrik Besi Indonesia (APBESI), adalah
kredit yang merupakan satu-satunya jalan keluar dalam jangka
pendek ini. Departemen Perdagangan minggu lalu akhirnya memang
menetapkan HET baru besi beton, dari Rp 130 menjadi Rp 170 per
kilo. Tapi kalangan Apbesi ada juga yang tak puas dan
beranggapan harga Rp 200 sekilo itulah yang lebih cocok.
Barangkali itu disebabkan produksi dalam negeri yang sekarang
sekitar 800 ribu ton tetap belum bisa diserap pembeli yang,
menurut Sudardjo, cuma bisa menelan 500 ribu ton.
Kontan saja T. Akib, Sekjen Asosiasi Pertekstilan Indonesia
(API) mendukung rekannya dari Apbesi itu. Menurut Akib, tiadanya
kredit dari bank itu sesungguhnya telah membuat kenaikan harga
yang terselubung. "Ada pabrik yang bersedia menjual kalau
pembelinya datang sendiri, hingga ada tambahan ongkos transpor,"
katanya.
Kini kekurangan tekstil itu memang belum terasa. Sekalipun harus
datang mengambil barang sendiri, beberapa pabrik menurut Sekjen
API itu masih ada yang menjual dengan kredit dua sampai sebulan.
"Tapi kalau bank tak ikut membantu pasti tak akan berjalan
lama," kata Akib.
Apakah bantuan kredit dari luar negeri (offshore loan) tak akan
masuk membantu? Perusahaan tekstil besar yang umumnya punya
induk di luar negeri khawatir injeksi dari sana tak akan datanb
lagi. Tapi menurut Dr. J. Panglaykim, Dir-Ut PT Sejahtera Bank
Umum (SBU), putusnya hubungan itu cuma sementara saja.
"Kepentingan mereka sudah terlalu besar di sini, mereka cuma mau
tarik nafas sebentar," katanya kepada TEMPO. Menurut bankir
yang juga dikenal sebagai ahli pemasaran itu, masa penyesuaian
itu bisa enam bulan sampai setahun. "Selama itu pula bank
pemerintah sebaiknya turun tangan memberi bantuan," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini