Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan atau Kemendag, Isy Karim, mengklaim pemerintah melalui Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) telah mulai membayarkan utang rafaksi minyak goreng kepada produsen.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Sebagian sudah (dibayar) mungkin. Ini kan proses sudah bergulir di BDPKS. Jadi kita lihat saja di BPDPKS,” ujar Isy saat ditemui di Kantor Kemendag, Rabu, 19 Juni 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dia menuturkan, BPDPKS tinggal memiliah-milah dari total utang secara keseluruhan, berapa nominal yang harus dibayarkan kepada setiap perusahaan. Kendati begitu, dia mengaku belum mengetahui jumlah perusahaan yang sudah menerima pembayaran. “Saya belum mengecek,” kata dia.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Retail Indonesia (Aprindo), Roy Nicholas Mandey, sebelumnya mempertanyakan sikap pemerintah yang tak kunjung membayar utang rafaksi minyak goreng senilai Rp 474,8 miliar sejak dua tahun lalu. Dia menduga, kelambanan pembayaran itu disebabkan birokrasi yang terlalu dibuat-buat.
“Dugaan saya terlalu dibuat-buat birokrasinya. Yang bisa dipermudah dan dipercepat kenapa diperlambat. Mestinya enggak perlu begitu kan,” kata dia saat ditemui Tempo di Kantor Aprindo, Jakarta Selatan, Senin, 3 Juni 2024.
Berdasarkan hasil verifikasi Sucofindo, pemerintah harus membayar utang sebesar Rp 474 miliar kepada produsen minyak goreng, dan pengusaha yang terdiri dari retail modern maupun tradisional. Namun, angka itu berbeda dari klaim yang diajukan oleh 54 pelaku usaha yakni senilai Rp 812 miliar. Sementara, Aprindo sendiri mengklaim pemerintah punya utang ke retail sebesar Rp 344 miliar.
Kisruh utang-piutang ini muncul sejak 2022 seiring dengan program satu harga minyak goreng. Saat itu, Kemendag mengusulkan program minyak goreng satu harga senilai Rp 14 ribu per liter, dengan selisih biaya produksi dan penjualan ditanggung pemerintah. Kebijakan itu ada karena harga minyak sawit mentah sedang melambung.
Aturan itu termaktub dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 3 Tahun 2022, yang salah satunya mengatur minyak goreng satu harga. Di sana disebutkan, BPDPKS akan menanggung selisih biaya produksi dan penjualan alias rafaksi.
Tak lama setelah itu, aturan itu dicabut dan diganti dengan skema harga eceran tertinggi atau HET senilai Rp 11.500 per liter untuk minyak curah dan Rp 144 ribu per liter untuk minyak kemasan premium. Namun, tanggungan itu tak kunjung dibayarkan.
Pilihan Editor: Harga Telur hingga Minyak Goreng Naik usai Idul Adha