Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ekonomi

Kemendag: Tak Ada Unfair Trade dalam Impor Susu dari Australia dan Selandia Baru

Kementerian Perdagangan (Kemendag) menegaskan tak ada perdagangan tak adil (unfair trade) dalam kasus impor susu dari Australia dan Selandia Baru.

22 November 2024 | 13.48 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan (Kemendag) Djatmiko Bris Witjaksono tak ada perdagangan tak adil (unfair trade) dalam impor susu dari Australia dan Selandia Baru. Pasalnya, menurut dia, Indonesia memerlukan susu skim sebagai bahan baku industri dalam negeri.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Unfair trade dari mana? Kita butuh kok. Kecuali kita produksi skim milk juga. Tanya industri, bisa bikin skim milk enggak di Indonesia? Kalau bisa ya enggak mungkin kita kasih tarifnya nol,” kata Djatmiko kepada wartawan di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu, 20 November 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

FTA dengan Australia dan Selandia Baru, menurut Djatmiko, tak hanya berguna mendukung kemampuan produsen dalam negeri untuk ekspor. Perjanjian ini juga berperan mendukung kebutuhan industri dalam negeri. Termasuk dengan menyediakan bahan baku.

Djatmiko menjelaskan susu impor dari Australia dan Selandia Baru masuk ke Indonesia dalam bentuk susu skim atau bahan baku—bukan susu segar. Indonesia, menurut dia, belum bisa memproduksi susu skim. Karena itu, susu skim tak bersaing dengan susu segar hasil produksi industri dalam negeri.

“Masalah itu memengaruhi (harga susu) itu cerita lain. Tapi kita tidak pernah mengimpor susu segar. Walaupun permintaan susu kita meningkat terus,” kata dia.

Ia justru mempertanyakan apa substansi yang ingin ditinjau dari perjanjian itu. Jika tarif susu impor dinaikkan, ia mengatakan Indonesia yang justru dirugikan. Sebab, harga susu di dalam negeri akan menjadi semakin mahal. Biaya yang perlu dikeluarkan industri untuk berproduksi juga meningkat.

Salah satu penyebab susu dalam negeri tak terserap optimal, ia mengungkapkan karena tak semua susu itu sesuai standar. Industri pengolahan susu, menurut dia, perlu meningkatkan kualitas. Pasalnya, permintaan susu terus meningkat melampaui jumlah produksi susu peternak.

Karena itu, ia mengatakan instansinya saat ini mempersiapkan skema penyerapan susu peternak lokal. Kemendag akan berkoordinasi dengan Kementerian Pertanian (Kementan) dan Kementerian Perindustrian (Kemenperin).

Saat ini jumlah koperasi produsen susu nasional mencapai 59 unit. Pada 2023, jumlah populasi sapi di koperasi produsen susu sebanyak 227.615 ekor. Mereka menghasilkan susu sebesar 470 ribu ton. Sedangkan peternakan sapi modern dengan 32 ribu ekor sapi mampu menghasilkan susu sebanyak 164 ribu ton.

Menteri Koperasi Budi Arie Setiadi mengatakan untuk menutupi kebutuhan itu, pemerintah mengimpor susu dari luar negeri. Importir terbesar di Indonesia saat ini adalah Selandia Baru dengan produksi susu sebesar 21,3 juta ton. Bersama Australia, Selandia Baru memanfaatkan FTA dengan Indonesia.

Perjanjian ini menghapuskan bea masuk pada produk susu sehingga membuat harga produk mereka setidaknya 5 persen lebih rendah dibandingkan dengan harga eksportir produk susu global lainnya.
Kedekatan geografis Australia dan Selandia Baru dengan Indonesia juga dinai Budi Arie membuat harga produk susu mereka sangat kompetitif.

Budi Arie mengatakan impor susu skim mengakibatkan harga susu segar menjadi lebih murah. Susu segar saat ini dipatok seharga Rp 7.000. Idealnya, harga susu segar bisa mencapai Rp 9.000. “Para peternak sapi perah mengalami kerugian,” kata Budi Arie di Kantor Kemenkop, Jakart, Senin, 11 November 2024.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus