Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) saat ini sedang mempersiapkan berbagai kebutuhan penting untuk peluncuran biodiesel B40 yang direncanakan pada Januari 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, Eniya Listiani Dewi, mengatakan salah satu hal yang harus diperhatikan adalah persiapan infrastruktur. "B40 sekalipun ya, yang sudah tinggal 2 bulan lagi ini infrastrukturnya diperbesar, kapasitasnya diperbesar," ujarnya dalam acara Penyerahan Laporan Hasil Analisis Kajian Sistemik kepada 12 Instansi Terkait Pencegahan Maladministrasi dalam Layanan Tata Kelola Industri Kelapa Sawit, di Kantor Ombudsman RI, Senin, 18 November 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Eniya menjelaskan bahwa infrastruktur yang disiapkan mencakup pembangunan jetty, yang akan meningkatkan kapasitas pelabuhan dan biaya sewanya. Menurut Eniya, jika biaya sewa meningkat, perlu juga menambah area penyimpanan sebelum muatan diangkut ke kapal.
Selain itu, Eniya menilai infrastruktur kapal yang terstandar sangat diperlukan untuk memastikan spesifikasi kapal memenuhi syarat, sehingga B40 dapat diangkut dan ditangani dengan baik.
Selanjutnya, selain memperhatikan kesiapan infrastruktur, Eniya juga mendorong peningkatan crude palm oil (CPO) untuk mendukung program pengembangan biodiesel B40 sekaligus B50 yang akan diluncurkan pada tahun 2025.
Eniya mengklaim saat ini telah dilakukan pengujian B40 pada berbagai alat transportasi, sehingga ia optimistis B40 dapat diterapkan secara mandatory pada Januari 2025. Sementara itu, untuk B50, Eniya mengatakan bahwa selain memastikan stok CPO yang cukup, juga harus membuktikan peremajaan kebun sawit berjalan dengan baik.
"Kalau kita mau memandatorykan B50 ke depan, misalnya kepastian kebutuhan CPO-nya," kata Eniya.
Sebelumnya, Anggota Ombudsman RI, Yeka Hendra Fatika, memaparkan program biodiesel memang bergantung pada produksi CPO sebagai bahan baku dan pungutan ekspor untuk membiayai insentif biodiesel. Namun, akibat kebijakan tarif ekspor yang tidak seragam dari pemerintah, program biodiesel ini dapat terhambat.
Ia menyebut potongan ekspor untuk CPO lebih tinggi dibandingkan dengan palm oil mill effluent (POME). Hal ini mendorong terjadinya ekspor berlebihan untuk produk POME, yang pada gilirannya berpotensi mengurangi dana sawit dari pungutan ekspor produk kelapa sawit.
"Tidak optimalnya perolehan dana sawit ini berpengaruh dalam pengelolaan dana sawit pada konteks program biodiesel," katanya dalam acara yang sama.
Pilihan Editor: 537 Perusahaan Sawit Terindikasi Tidak Berizin