Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira menyatakan rencana kenaikan harga BBM subsidi tak hanya akan memukul masyarakat miskin, tapi juga masyarakat kelas menengah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bhima menjelaskan, bila sebelumnya masyarakat kelas menengah mampu membeli Pertamax, belakangan karena inflasi naik, mereka banyak yang bermigrasi dan menggunakan Pertalite. Sehingga, jika harga Pertalite ikut naik, maka kelas menengah akan mengorbankan dana belanja lain.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Yang tadinya bisa belanja baju, mau beli rumah lewat KPR, hingga sisihkan uang untuk memulai usaha baru akhirnya tergerus untuk beli bensin," ujar Bhima ketika dihubungi, Selasa, 23 Agustus 2022.
Dampak lanjutan berikutnya, menurut Bhima, adalah permintaan industri manufaktur yang bisa terpukul dan mengganggu serapan tenaga kerja. Hal ini diperparah dengan target-target pemulihan ekonomi pemerintah yang bakal buyar.
Oleh karena itu ia meminta pemerintah mencermati kembali wacana kenaikan harga BBM bersubsidi yang telah dinyatakan oleh para menteri Presiden Joko Widodo (Jokowi) belakangan ini.
"Tolong benar-benar dicermati baik-baik oleh pemerintah. Apa kondisi masyarakat miskin saat ini siap hadapi kenaikan harga BBM, setelah inflasi bahan pangan (volatile food) hampir sentuh 11 persen secara tahunan per Juli 2022?" tuturnya.
Lebih jauh, Bhima mengatakan jika inflasi menembus angka yang terlalu tinggi dan serapan tenaga kerja terganggu, Indonesia bisa menyusul negara lain yang masuk fase stagflasi. Dampaknya, pemulihan perekonomian Indonesia yang ditargetkan memakan waktu 3-5 tahun menjadi terganggu akibat daya beli merosot drastis.
Dalam catatannya, sepanjang Januari ke Juli 2022, serapan subsidi energi mencapai Rp 88,7 triliun dari data Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Sementara APBN sedang surplus Rp 106,1 triliun atau 0,57 persen dari Produk Domestik Bruto atau PDB pada periode Juli.
Oleh karena itu, ia menilai masih ada cukup ruang agar pemerintah untuk menambah subsidi energi, ketimbang menaikkan harga BBM subsidi. Apalagi, menruut dia, pemerintah tengah menikmati kenaikan harga minyak mentah yang bisa digunakan untuk mendongkrak penerimaan negara.
Selanjutnya: Yang tak kalah penting adalah menghentikan kebocoran solar subsidi.
"Kenapa surplus tadi tidak diprioritaskan untuk tambal subsidi energi? Jangan ada indikasi, pemerintah tidak mau pangkas secara signifikan anggaran yang tidak urgent dan korbankan subsidi energi," kata Bhima.
Sebagai cara alternatif atau win-win solution, ia menyarankan pemerintah merevisi aturan untuk menghentikan kebocoran solar subsidi yang dinikmati oleh industri skala besar, pertambangan, dan perkebunan besar. Dengan tutup kebocoran solar, pemerintah bisa menghemat pengeluaran subsidi. Karena 93 persen konsumsi solar adalah jenis subsidi.
"Atur dulu kebocoran solar subsidi di truk yang angkut hasil tambang dan sawit, daripada melakukan kenaikan harga untuk jenis pertalite dan solar," ucap Bhima. Secara paralel, pemerintah juga bisa memangkas belanja infrastruktur, belanja pengadaan barang jasa di pemerintah daerah dan pemerintah pusat.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan sebelumnya mengatakan pemerintah masih menghitung skenario penyesuaian subsidi dan kompensasi energi di tengah wacana kenaikan harga BBM.
"Pemerintah memperhatikan dampaknya terhadap masyarakat. Tapi untuk diketahui, harga BBM di Indonesia relatif lebih murah dibanding mayoritas negara di dunia," ujar Luhut pada Ahad, 21 Agustus 2022.
Wacana kenaikan harga BBM menguat beberapa waktu terakhir. Luhut mengatakan anggaran subsidi dan kompensasi energi, termasuk untuk BBM, bisa membengkak dari Rp 502 triliun menjadi Rp 550 triliun hingga akhir tahun nanti tanpa penyesuaian kebijakan.
Adapun perhitungan ulang pemerintah soal harga BBM ini dilakukan karena harga minyak mentah dunia yang melambung mendorong meningkatnya harga keekonomian Pertalite dann Solar. Harga pasar Pertalite saat ini ialah Rp 13.150, namun harga jualnya masih Rp 7.650 per liter.
Sedangkan harga keekonomian Pertamax adalah Rp 15.150, sementara harga di eceran masih Rp 12.500 per liter. Luhut menuturkan APBN menanggung subsidi dan kompensasi energi atas gap harga tersebut.
RIANI SANUSI PUTRI | FRANCISCA CHRISTY ROSANA
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.