Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Kenaikan Harga Komoditas Dorong Surplus Perdagangan

Surplus perdagangan terjadi seiring dengan pemulihan ekonomi negara tujuan ekspor.

21 Mei 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Aktivitas bongkar muat gula pasir dari India di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, 6 April 2021. Tempo/Tony Hartawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ringkasan Berita

  • Neraca perdagangan pada April surplus US$ 2,19 miliar.

  • Kenaikan harga minyak sawit, tembaga, aluminium, dan emas mendorong surplus perdagangan.

  • Impor bahan baku, bahan penolong, serta barang modal melambat.

JAKARTA – Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat neraca perdagangan pada April mengalami surplus US$ 2,19 miliar. Kepala BPS Suhariyanto mengatakan hal ini menandai surplus neraca perdagangan selama 12 bulan berturut-turut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nilai ekspor pada April sebesar US$ 18,48 miliar, naik 0,69 persen dibanding pada bulan sebelumnya dan naik 51,94 persen jika dibanding pada April tahun lalu. "Ekspor terdorong kenaikan harga sejumlah komoditas unggulan,” kata dia, kemarin.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Suhariyanto mengatakan kenaikan harga terjadi pada minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO), tembaga, timah, aluminium, dan emas. BPS mencatat harga CPO pada April naik 4,24 persen secara bulanan dan melonjak 76,5 persen jika dibanding pada periode yang sama tahun lalu. Harga tembaga naik 3,74 persen dibanding pada Maret. Sedangkan harga emas naik 2,43 persen secara bulanan dan 4,6 persen jika dibanding pada tahun lalu.

Sejumlah kepingan emas batangan ukuran 5 gram diperlihatkan pemiliknya di Jakarta, 6 Januari 2021. Tempo/Tony Hartawan

Sebaliknya, harga minyak mentah Indonesia (Indonesian Crude Price/ICP) turun 2,43 persen dari US$ 63,5 per barel pada Maret lalu menjadi US$ 61,96 per barel pada April. Meski begitu, secara tahunan, harga ICP naik 200 persen. Hal yang sama terjadi pada harga karet yang turun 9,10 persen secara bulanan, tapi naik 61,41 persen secara tahunan.

BPS mencatat nilai ekspor pada periode Januari-April 2021 sebesar US$ 67,38 miliar. Apabila dibanding pada periode yang sama tahun lalu, terjadi kenaikan 24,96 persen. Menurut Suhariyanto, hal itu menunjukkan bahwa proses pemulihan ekonomi berjalan sesuai dengan yang diharapkan.

Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan Kementerian Koordinator Perekonomian, Iskandar Simorangkir, mengatakan surplus yang terjadi selama 12 bulan berturut-turut itu tak lepas dari pemulihan ekonomi sejumlah negara mitra dagang. Menurut dia, ekspor meningkat karena kenaikan harga dan mulai tingginya permintaan pasar global, seperti dari Cina dan Amerika Serikat. "Ekspor ke Cina pada triwulan I 2021 tumbuh 18,3 persen," kata dia.

Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Hubungan Internasional, Shinta Widjaja Kamdani, mengatakan harga komoditas energi yang naik signifikan terjadi karena dorongan permintaan setelah normalisasi kegiatan ekonomi di negara maju. Dia juga menyebutkan hal ini dipengaruhi faktor kelangkaan pasokan minyak pada April karena kemacetan di Terusan Suez.

Namun Shinta mengatakan terjadi perlambatan impor bahan baku dan bahan penolong serta barang modal jika dibanding pada Maret lalu. Menurut dia, hal itu terjadi karena pelaku usaha mulai mengantisipasi melambatnya konsumsi setelah Lebaran.

Peneliti dari Center of Reform on Economics Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, mengatakan kenaikan harga komoditas terjadi bersamaan dengan Ramadan-Idul Fitri yang mendorong permintaan. Hal ini, kata dia, mendongkrak permintaan CPO ke negara-negara muslim, seperti Malaysia, India, dan Pakistan.

Adapun kenaikan harga batu bara, kata Yusuf, dipengaruhi berkurangnya pasokan dari Australia. Hal ini juga terjadi setelah desakan penggunaan energi bersih semakin deras. Pada saat bersamaan, Cina yang menjadi konsumen terbesar batu bara meningkatkan permintaannya. "Pasokan yang terbatas dan permintaan yang meningkat mendorong kenaikan harga batu bara," ujar dia.

Menurut Yusuf, kenaikan harga komoditas berkontribusi pada surplus neraca dagang. Hanya, kata dia, pengalaman commodity boom pada 2008 dan 2012 mengajarkan bahwa harga komoditas bisa sangat tinggi kemudian turun drastis. "Perlu disiapkan strategi agar bisa mengambil keuntungan dari sana, sehingga ketika harga komoditas kembali jatuh, sudah lebih siap," katanya.

Ekonom dari Bahana Sekuritas, Putera Satria Sambijantoro, mengatakan ledakan harga komoditas tak serta-merta memberikan dampak buruk pada neraca perdagangan saat permintaan dan harga global menurun. Menurut dia, Indonesia telah memiliki komoditas yang terdiversifikasi dengan baik. Putera mencontohkan, penurunan ekspor CPO ke India pada April lalu ditutupi oleh kenaikan ekspor nikel, emas, bijih besi, dan timah. "Komoditas itu mendorong kenaikan ekspor ke level tertinggi dalam sepuluh tahun terakhir hingga US$ 18,5 miliar, jauh melebihi perkiraan," ujar dia.

LARISSA HUDA
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus