Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyebut pemerintah berencana menerapkan wajib asuransi bagi kendaraan tahun depan. Rencana ini akan diterapkan setelah Presiden Joko Widodo atau Jokowi meneken Peraturan Pemerintah melalui Kementerian Keuangan terkait tindak lanjut dari Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketua Umum Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) Budi Herawan mengatakan institusinya masih menunggu Peraturan Pemerintah melalui Kementerian Keuangan yang akan mewajibkan kendaraan memiliki asuransi sebagai tindak lanjut dari UU P2SK. Sembari itu, Budi mengatakan AAUI sedang meramu skema untuk wajib asuransi bagi kendaraan bermotor yang akan diteken pada awal 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Budi bercerita salah satu skema dari pembayaran asuransi kendaraan ini akan memanfaatkan Artificial Intelligence dan digitalisasi. “Tidak terelakan harus menggunakan sistem digitalisasi, akan menggunakan sistem AI dan kami mulai belajar dari negara sahabat,” kata Budi saat ditemui di kantornya di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, Senin, 22 Juli 2024. Dia menyebut kondisi demografi Indonesia yang luas menjadi alasan.
Digitalisasi ini, kata Budi, merupakan langkah yang akan ia usulkan kepada pemerintah apabila Peraturan Presiden telah diteken. Dia menyebut AAUI telah belajar praktik asuransi serupa dari negara di kawasan Asia, seperti Jepang, Korea, dan negara di Asia Tenggara.
Meski demikian, Budi mengatakan AAUI belum bisa memastikan berapa besar premi atau iuran yang akan dipungut dari setiap kendaraan. Dia menyebut akan menghitung dan menyosialisasikan pungutan itu agar tak membebani masyarakat. “Prosesnya masih berjalan. Masih tahap kajian,” kata dia.
Selanjutnya: Rencana OJK mewajibkan asuransi kendaraan ini menuai protes....
Rencana OJK mewajibkan asuransi kendaraan ini menuai protes. Salah satunya dari Ketua Serikat Pekerja Angkutan Indonesia (SPAI) Lily Pujiati. Dia mengatakan organisasinya menolak rencana ini karena akan menambah beban bagi pekerja angkutan berbasis aplikasi, seperti ojek online, taksi online, dan kurir. Dia menyebut biaya premi asuransi yang akan dibayarkan tak sebanding dengan kondisi pendapat para pekerja angkutan berbasis aplikasi.
“Karena biaya premi asuransi yang akan dibayarkan tidak sebanding dengan kondisi pendapatan kami yang tidak menentu. Ini disebabkan tarif angkutan yang murah akibat status pengemudi sebagai mitra,” kata Lily dalam keterangan tertulis pada Senin, 22 Juli 2024. Akibat dari sistem kemitraan ini, Lily mengatakan pengemudi angkutan berbasis aplikasi tak mendapat penghasilan layak berupa upah minimum seperti pekerja lainnya.
Tak hanya itu, Lily mengatakan wajib asuransi ini juga akan menambah biaya kehidupan sehari-hari bagi pekerja angkutan berbasis aplikasi yang tak ditanggung perusahaan mitra kerja. Biaya operasional itu, kata dia, berupa pengeluaran untuk bahan bakar, parkir, cicilan kendaraan, pulsa, cicilan ponsel, atribut helm, tas, dan jaket.
“Maka kami menolak kewajiban asuransi kendaraan dan aturan lainnya yang memberatkan rakyat seperti potongan Tapera dan rencana kenaikan harga BBM,” kata dia.
Selain itu, Lily mengatakan SPAI menuntut pemerintah untuk mengangkat status pekerja angkutan berbasis aplikasi menjadi pekerja yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan. Langkah ini dinilai menjadi solusi dari kondisi pekerja angkutan berbasis aplikasi yang tak menentu. “Supaya ada kepastian pendapatan dan hak pekerja bagi kami,” kata dia.