Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Keramik Ekspor dari Belakang Rumah 

Produk Kaloka Pottery merambah pasar mancanegara. Menjadi tempat berkumpul komunitas penggemar fotografi hingga kopi.

24 Agustus 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Pemilik studio keramik Kaloka Pottery, Francisca Puspitasari, di Kampung Bausasran, Yogyakarta, 9 Agustus 2019./ TEMPO/Shinta Maharani

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Satu tungku pembakar keramik telah membalikkan hidup Francisca Puspitasari. Dibantu seorang pekerja, tiga tahun lalu Francisca nekat mendirikan studio keramik berbahan dasar tanah liat. Lokasinya persis di halaman belakang rumah. Tapi siapa sangka, dengan satu tungku pembakar, peralatan makan dari keramik yang ia produksi kini melanglang buana.

Rezeki nomplok itu datang satu tahun setelah ia membuka usaha. Pada September 2017, Kika—panggilan Francisca—menerima 2.000 pesanan keramik dari sebuah restoran di Qatar. “Bermula dari suka keramik, saya coba mendesain sendiri,” katanya saat ditemui di Yogyakarta, Sabtu, 10 Agustus lalu. Pemilik restoran membayar uang muka untuk modal produksi.

Kika lalu mendatangi perajin gerabah di Kasongan, Pleret, Kabupaten Bantul. Kebanyakan perajin yang ia temui tak sanggup mengerjakan pesanan itu. Untungnya ada satu perajin yang bisa membantunya. 

Pesanan dari Qatar itu tidak datang tiba-tiba. Awalnya, Kika dan anaknya getol memotret dan mengunggah produksi keramiknya ke media sosial. Lambat-laun foto-foto itu mendapat respons, kebanyakan dari anak-anak muda.

Beragam komunitas penggemar fotografi dan kopi serta blogger datang ke studionya, yang bernama Kaloka Pottery Yogyakarta. Dalam bahasa Sanskerta, Kaloka berarti termasyhur. Luas studio itu 300 meter persegi. Letaknya di dalam gang kecil Kampung Bausasran, Danurejan, Yogyakarta.

Kika memajang semua produk keramiknya di satu ruang pajang. Gelas, mangkuk, piring, dan alat makan lain dengan beragam hiasan warna tertata rapi di atas rak studio. Harganya Rp 70 ribu hingga Rp 1,5 juta.

Setelah memenuhi pesanan dari Qatar, Kaloka Pottery kebanjiran order dari restoran, hotel, dan kafe lokal serta mancanegara. Semua produk dibuat secara alami dari tanah liat asal Jawa Barat dan Kalimantan. “Produk kami 100 persen handmade,” ucap Kika.

Kika juga menerima tawaran kerja sama investasi dari sahabatnya. Dia melepas 30 persen kepemilikannya di Kaloka untuk sahabatnya. Usahanya berkembang. Perusahaan marketplace yang awalnya tidak tertarik pun mulai melirik.

Ia lalu menambah kapasitas produksi dengan membeli satu tungku lagi dari Asmudjo Jono Irianto, dosen Fakultas Seni Rupa Institut Teknologi Bandung. Tungku itu ia beli tunai. Dengan dua tungku dan 12 pekerja, jumlah produksi Kaloka bertambah.

Keramik Kaloka merambah pasar luar negeri. Restoran, kafe, dan hotel dari kawasan Timur Tengah, di antaranya dari Dubai, Kuwait, Libanon, Iran, dan Bahrain, banyak memesan beragam produk keramik karya Kika. Pesanan juga datang dari Australia, Belanda, Inggris, dan Amerika Serikat. Kika menyebutkan omzet Kaloka Pottery per bulan rata-rata ratusan juta rupiah.

Tak selamanya perjalanan usaha Kika mulus. Alumnus Jurusan Seni Kriya Logam Institut Seni Indonesia Yogyakarta itu pernah gagal berkali-kali. Gelas dan mangkuk tanah liat yang ia bakar pernah gosong. Warnanya hitam menyerupai batu.

Meski lulus dari kampus seni, Kika tak langsung menekuni karier sebagai pekerja seni. Ia bekerja di sebuah perusahaan swasta di Yogyakarta selama 20 tahun. Lepas dari pekerjaan itu, Kika menganggur. Perempuan 43 tahun itu kemudian ter-inspirasi membuat peralatan makan darikeramik pada 2016.

Kika lalu menemui Asmudjo. Kepada Asmudjo, ia meminta dibuatkan tungku mini pembakar keramik. Harganya saat itu Rp 1 juta. “Saya beli dengan mencicil. Asmudjo orang yang berjasa karena banyak membantu saya,” tuturnya. Dari Asmudjo pula Kika belajar membuat keramik.

Dalam waktu dekat, Kaloka akan bekerja sama dengan sebuah vila di Yogyakarta. Manajemen vila itu berencana menawarkan paket kursus pembuatan keramik kepada pelanggannya. Kika juga menyediakan kelas reguler pembuatan keramik dengan durasi tiga jam. Ia berharap program ini dapat merekatkan seni keramik dengan masyarakat luas.

SHINTA MAHARANI (YOGYAKARTA)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Tempo

Tempo

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus