Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BI berani karena menilai inflasi bakal stabil, tak akan melampaui titik tengah rentang target yang dipatok 2,5-4,5 persen. Dan inflasi rendah tidak cuma menunjukkan stabilitas harga, tapi juga bisa berarti ekonomi sedang lesu dan karena itu memerlukan stimulus. Apa lagi stimulus yang bisa diberikan bank sentral jika bukan penurunan bunga?
Yang perlu mendapat perhatian investor: penurunan bunga bukan tanpa risiko. Bunga di dalam negeri yang lebih rendah dapat mengurangi nafsu investor luar negeri untuk menanamkan uangnya di Indonesia. Selama ini, aliran dana investor asing menjadi penyelamat ekonomi Indonesia yang masih terus tercekik defisit neraca transaksi berjalan.
Begini pangkal soalnya. Defisit neraca transaksi berjalan berarti pengeluaran valuta asing negeri ini untuk membayar impor barang dan jasa lebih besar ketimbang penerimaannya dari ekspor. Sepanjang semester pertama tahun ini saja, menurut data BI, lubang defisit itu mencapai US$ 15,4 miliar, lebih dalam 17,6 persen ketimbang periode yang sama tahun lalu. Penutup lubang defisit itu adalah aliran dana investasi asing ke dalam negeri. Pada semester I 2019, dana investasi yang masuk ke Indonesia mencapai US$ 20,5 miliar.
Masalahnya, 48 persen atau US$ 9,9 miliar dari investasi asing berupa investasi portofolio yang diinvestasikan ke berbagai surat berharga di pasar finansial. Karakter investasi portofolio ini kurang ideal bagi negeri penerima: likuid, mudah-keluar masuk. Pertimbangan utama menentukan tujuan investasi portofolio adalah imbal hasil. Jika imbal hasilnya di sini menurun, dana investasi portofolio bisa keluar dengan cepat mencari negeri lain yang memberikan imbalan lebih menarik.
Itulah risikonya jika bunga turun. Ketika dana investasi portofolio berbalik keluar, atau setidaknya aliran masuknya tidak lagi sekencang saat ini, penambal defisit neraca transaksi berjalan berkurang secara signifikan. Anjloknya pasokan valuta asing dapat membuat kurs rupiah merosot atau berguncang-guncang tidak stabil.
Tentu ada perhitungan mengapa BI berani mengambil risiko itu. Saat ini pasar finansial di seluruh dunia sedang mengantisipasi stimulus dari bank-bank sentral negara besar. Ekonomi global yang sedang lemah membuat pasar yakin bunga akan berguguran di mana-mana sebagai upaya pemberian stimulus terhadap ekonomi. Artinya, imbal hasil di mana pun sepertinya juga bakal turun. Ini tentu meredam keinginan investor memindahkan dana keluar dari Indonesia.
Bukan cuma itu. Perang dagang Amerika Serikat-Cina yang makin sengit merembet ke perang mata uang. Amerika menuduh Tiongkok sebagai manipulator mata uang, sengaja melemahkan renminbi sehingga nilainya kini melewati batas 7 yuan per dolar Amerika. Bukan tak mungkin Amerika akan mengambil langkah balasan.
Di Eropa, rencana keluarnya Inggris dari Uni Eropa tanpa kompromi juga membuat nilai pound sterling terguncang-guncang. Di Asia, situasi Hong Kong yang tengah menggelegak karena protes melawan kebijakan pemerintah Cina tak kunjung mereda. Demikian juga sengketa Korea Selatan-Jepang, yang sudah meluas menjadi perang dagang. Ketika pasar finansial global sedemikian bergejolak karena berbagai faktor besar itu, agaknya akan sia-sia jika BI tetap menahan suku bunga demi stabilitas nilai rupiah.
Kini sinyal arah kebijakan BI soal suku bunga sudah lebih jelas. Prioritasnya bukan lagi menjaga stabilitas rupiah, melainkan mencoba mendorong pertumbuhan ekonomi .
Momen Ekonomi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo