Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Aroma Sampah di Dalam Kontainer

Industri daur ulang plastik impor terancam gulung tikar setelah bahan bakunya tertahan. Mayoritas hasil daur ulang ditujukan untuk pasar ekspor.

24 Agustus 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Kontainer berisi sampah plastik impor di Pelabuhan Batu Ampar, Batam, Kepulauan Riau, 29 Juli 2019./ ANTARA

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Puluhan kontainer kosong berbaris memenuhi bahu Jalan Kampung Picung. Di sela-sela peti kemas, sejumlah truk pengangkut botol plastik bekas menunggu antrean masuk ke pabrik PT New Harvestindo International di Desa Pasar Kemis, Kabupaten Tangerang, Banten.

Pagi itu, Kamis, 22 Agustus lalu, gerbang pabrik sepanjang 20 meter sedang terbuka. Gunungan botol plastik yang sudah dikempa memenuhi halaman. Sebuah ekskavator bolak-balik mengangkut botol, memindahkannya ke bak penampungan.

Kegiatan produksi tampak normal. Heru Sangaji, 45 tahun, sedang menunggu giliran masuk. Truk yang ia kemudikan membawa 7 ton botol plastik reja. Heru membawanya dari Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. “Seminggu bisa dua kali antar muatan ke pabrik ini,” kata Heru. 

Namun, bagi Aldi, 33 tahun, pabrik sedang abnormal. Pagi itu, pukul setengah sepuluh, Aldi masih duduk-duduk di depan warung makan di ujung Jalan Kampung Picung. Padahal pada jam-jam itu Aldi biasanya sudah sibuk menyopiri forklift pabrik. “Bos minta saya dan teman-teman libur. Pekerjaan sedang sepi. Bahan bakunya sulit,” tutur Aldi, pria asli Serang, Banten, yang sudah tiga tahun bekerja di New Harvestindo.

Sudah sejak Senin, 19 Agustus lalu, Aldi dan kawan-kawannya dirumahkan. New Harvestindo satu dari puluhan perusahaan pengolahan plastik daur ulang yang terkena imbas ribut-ribut impor sampah sejak Mei lalu. Sebanyak 123 kontainer plastik bekas yang diimpor New Harvestindo tertahan.

Ditahannya ratusan kontainer plastik bekas itu bermula dari penemuan sampah di peti kemas berisi kertas bekas di Surabaya, Mei lalu. Temuan itu didapatkan dalam pemeriksaan acak oleh Bea dan Cukai.

Bea dan Cukai kemudian menerbitkan nota hasil intelijen kepada sejumlah kementerian. Yang terjadi selanjutnya adalah gelombang perang terhadap sampah impor. Sebanyak 164 kontainer dikirim pulang ke Amerika Serikat, Australia, Jerman, dan Britania Raya. Lalu 49 kontainer ditendang balik ke Prancis, Hong Kong, Amerika Serikat, dan Jerman.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan meminta Bea dan Cukai memeriksa semua kontainer kertas dan plastik bekas. Termasuk barang-barang yang sebelumnya masuk jalur hijau. “Semua kena pemeriksaan,” ujar Direktur Kepabeanan Internasional dan Antar Lembaga Bea-Cukai Syarif Hidayat di kantornya di Rawamangun, Jakarta Timur, Kamis, 22 Agustus lalu.

Dari sinilah Asosiasi Ekspor Impor Plastik Industri Indonesia (Aexipindo) melawan. “Kami jadi korban gara-gara ada sampah plastik dalam impor kertas bekas itu,” kata Akhmad Ma’ruf Maulana, Ketua Umum Aexipindo, di Jakarta, Selasa, 20 Agustus lalu.

LIMA puluh perusahaan yang tergabung dalam Aexipindo selama ini mengimpor plastik bekas berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 31 Tahun 2016 tentang Ketentuan Impor Limbah Non-Bahan Berbahaya dan Beracun. Pada 2017, Aexipindo mengimpor 121 ribu ton plastik bekas. Tahun lalu, angka itu naik menjadi 320 ribu ton.

Peningkatan impor buntut dari kebijakan pemerintah Cina melarang plastik bekas masuk ke Negeri Panda sejak Maret 2018. Indonesia menjadi salah satu negara yang terkena limpahan plastik bekas itu.

Akhmad Ma’ruf Maulana mengakui anggota asosiasinya memilih plastik bekas impor lantaran harganya sepertiga lebih murah daripada bijih virgin, bahan baku plastik yang berasal dari industri minyak dan petrokimia. Harga virgin impor bisa mencapai US$ 1.000 per ton, sementara plastik bekas impor US$ 200-650 per ton.

Beda jauh harga virgin dan sampah plastik ini kemudian memunculkan dugaan persaingan bisnis. Pada 20 Mei lalu, saat gelombang perang sampah impor memuncak, Asosiasi Industri Olefin, Aromatik, dan Plastik Indonesia (Inaplas) menyurati- Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita meminta pengendalian impor sampah plastik.

Suhat Miyarso, Wakil Ketua Umum Inaplas, yang meneken surat itu. Suhat juga menjabat Vice President Corporate Relations PT Chandra Asri Petrochemical, produsen terbesar virgin lokal. Maulana menganggap manuver Inaplas itu sama saja meminta impor plastik disetop. “Inaplas sepertinya mau mengendalikan bahan baku,” kata Maulana.

Suhat membantah. Menurut dia, Inaplas hanya meminta Kementerian Perdagangan mengatur impor sampah plastik. “Yang kita minta stop adalah sampah. Kalau bahan baku untuk daur ulang, silakan saja,” ujar Suhat saat dihubungi, Jumat, 23 Agustus lalu.

PERLAWANAN Aexipindo dimulai pada 26 Juli lalu, ketika mereka menyurati Presiden Joko Widodo. Akhmad Ma’ruf Maulana mengadu soal anggota asosiasinya yang sulit mendapat bahan baku. Plastik impor perusahaan Maulana sendiri, PT Arya Wira-raja Plastikindo, yang berlokasi di Batam, Kepulauan Riau, tertahan sebanyak 260 kontainer. “Anggota kami kena biaya demurrage (biaya inap pelabuhan) puluhan miliar rupiah,” ucap Maulana dalam surat kepada Presiden.    

Pada 5 Agustus lalu, Aexipindo menyurati Kelompok Kerja IV Satuan Tugas
Percepatan Kebijakan Ekonomi, yang membidangi penanganan dan penyelesaian kasus. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly mengepalai kelompok kerja ini. 

Direktur Industri Kimia Hilir dan Farmasi Kementerian Perindustrian Taufiek Bawazier menerangkan, Menteri Yasonna mengundang rapat lintas kementerian membahas keluhan Aexipindo pada Kamis, 15 Agustus lalu, di kantor Kementerian Hukum. Direktur Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian Abdul Rochim, bersama Taufiek, mewakili Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto.

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya diwakili Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah, dan Bahan Beracun Berbahaya (B3) Rosa Vivien Ratnawati serta Direktur Verifikasi Pengelolaan Limbah B3 dan Limbah Non-B3 Achmad Gunawan Widjaksono. Maulana dan Agung Priadi mewakili Aexipindo.

Rapat berlangsung alot. Aexipindo berkukuh menyatakan barang impor mereka bukan sampah, melainkan plastik bekas. Namanya barang bekas, kata Mualana, kondisi kotor tak terhindarkan. Adapun Taufiek mengatakan, selama sampah plastik itu bisa didaur ulang dan bernilai ekonomi, barang tersebut bukan sampah.

Menurut Vivien, dari pemeriksaan Bea-Cukai dan Kementerian Lingkungan Hidup, dalam tumpukan plastik impor itu terdapat material sampah atau terpapar B3. Sesuai dengan Undang-Undang Pengelolaan Sampah, impor sampah dilarang. Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 31 Tahun 2016 pun menyebutkan, jika ada yang terkontaminasi B3, barang impor harus dikembalikan ke negara asal.

Yasonna mencoba memberikan jalan tengah. Ia meminta Kementerian Lingkungan Hidup tidak menggunakan kacamata kuda dalam melihat masalah plastik bekas impor. Yasonna meminta kementerian itu memberikan relaksasi agar ekspor tetap terjaga. Sebab, 80 persen industri daur ulang plastik bekas impor ditujukan untuk pasar ekspor. “Berilah relaksasi. Amnesti impuritas (kotoran) maksimal 5 persen. Nanti bertahap bisa 0 persen. Kita belum jadi negara maju,” kata Yasonna saat dihubungi, Sabtu, 24 Agustus lalu.

Vivien menolak menjawab soal isi dan perdebatan dalam rapat di Kelompok Kerja IV. “Tentang Aexipindo, tanya ke mereka dan Kementerian Hukum saja,” kata Vivien saat dihubungi, Rabu, 21 Agustus lalu. Gunawan, setelah menghadiri seremoni kerja sama Aexipindo dengan Komite Peduli Lingkungan Hidup Indonesia di Kementerian Perindustrian, Jumat, 23 Agustus lalu, juga enggan menjawab. “Dengan Bu Dirjen saja.” 

Keputusan Kelompok Kerja IV tak mempengaruhi Kementerian Lingkungan Hidup. Lima hari setelah rapat, kementerian tersebut merekomendasikan 72 kontainer plastik bekas milik Arya Wiraraja Plastikindo, 8 milik Hong Tai Utama Industri, 25 milik Tan Indo Sukses, dan 100 yang diimpor New Harvestindo harus dikembalikan ke negara asal. Alasannya: tercampur sampah dan terpapar limbah B3. “Rasanya seperti di-krek,” tutur Agung Priadi, General Manager New Harvestindo International, menirukan gerakan menggorok leher.    

KHAIRUL ANAM, JONIANSYAH HARDJONO (TANGERANG)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Khairul Anam

Khairul Anam

Redaktur ekonomi Majalah Tempo. Meliput isu ekonomi dan bisnis sejak 2013. Mengikuti program “Money Trail Training” yang diselenggarakan Finance Uncovered, Free Press Unlimited, Journalismfund.eu di Jakarta pada 2019. Alumni Universitas Negeri Yogyakarta.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus