Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Kerugian Negara Ratusan Triliun Rupiah, Perlu Pendekatan Sistemik Mengatasi Korupsi

Indeks Persepsi Korupsi (IPK) masih rendah. Kerugian akibat korupsi mencapai ratusan triliun rupiah. Perlu pendekatan sistemik untuk mengatasinya.

24 Agustus 2024 | 07.26 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Korupsi menjadi persoalan utama di Indonesia. Pemberantasan rasuah tersebut saat ini tidak berjalan optimal. Ekonom Prasetijono Widjojo mengatakan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia berada di tingkat yang memprihatinkan. Di tahun 2022, Indonesia berada di posisi 110 dari 180 negara. Sementara di Asia Tenggara, Indonesia menempati peringkat ke-7 dari 11 negara.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Maraknya korupsi menggerogoti sendi-sendi perekonomian negara yang menyebabkan jutaan masyarakat hidup dalam kemiskinan.Prasetijono merujuk perkataan Soemitro Djojohadikusumo yang menyatakan bahwa sekitar 30 persen Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) bocor akibat praktik korupsi kegiatan pengadaan barang dan jasa. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Misalnya 10 persen saja, 2024 itu APBN totalnya adalah Rp 3.325 triliun, katakanlah saya bulatkan saja Rp 3.000 triliun, itu maka akan bocor sebesar Rp 300 sampai Rp 1.000 triliun,” ungkap Prasetijono dalam acara diskusi bertajuk “Urgensi Berantas Korupsi: Problematika dan Solusi” yang digelar Aliansi Kebangsaan dan Suluh Nuswantara Bakti pada Jumat, 23 Agustus 2024. 

“Dana yang sangat besar yang semestinya untuk menjalankan program-program strategis peningkatan kesejahteraan rakyat itu hilang karena dikorupsi,” lanjut dia. 

Laporan pemantauan tren korupsi tahun 2023 yang dirilis Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebutkan kerugian negara akibat kasus korupsi mencapai Rp 238,14 triliun selama tahun 2013 hingga 2022. Pada tahun 2023, potensi kerugian negara diperkirakan mencapai Rp 28,4 triliun. Data ICW yang ditabulasi ini merupakan perkara yang masuk ke tahap penyidikan atau sudah ada penetapan tersangka. Artinya, nilai kerugian bakal lebih besar karena banyak perkara korupsi yang belum terungkap.

Adapun terkait penanganan korupsi, Prasetijono menjelaskan, tidak bisa dilakukan secara kasus per kasus. Dibutuhkan sebuah pendekatan yang sistemik sehingga persoalan korupsi dapat diatasi hingga ke akarnya. “Kita tidak bisa menangani korupsi itu case-by-case, perlu satu pendekatan yang lebih sistemik sehingga kesempatan-kesempatan untuk korupsi itu bisa dihilangkan,” kata dia. 

Pencegahan korupsi secara sistemik, ia melanjutkan, harus dimulai dari proses perencanaan penganggaran. “Ini khususnya yang terkait dengan APBN maupun APBD, sampai dengan pelaksanaan kebijakan program dan kegiatan ini,” tuturnya. 

Kemudian, tata kelola harus dibenahi secara sistemik untuk menghilangkan peluang dan kesempatan untuk korupsi. Dia mengatakan, pada celah-celah yang memungkinkan terjadinya korupsi, harus dilakukan pengawasan yang lebih ketat dan prosedur yang transparan.

“Penegakan hukum harus dilakukan secara adil, tidak tebang pilih, tidak tumpul di atas dan tajam di bawah. Sanksi terhadap koruptor harus tegas dan memberikan efek jera,” tambah dia. 

Lebih lanjut, menurut Prasetijono, peran lembaga-lembaga yang menangani pemberantasan korupsi, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus dipulihkan. Saat ini KPK mengalami pelemahan akibat adanya revisi terhadap Undang-undang tentang KPK.

Hal yang tidak kalah penting, peran masyarakat dan organisasi sipil dalam melawan korupsi mesti ditingkatkan. Pemberantasan korupsi akan efektif jika muncul kesadaran kolektif dan gerakan publik yang masif. Sehingga seluruh elemen bangsa ini bisa didorong untuk bergerak bersama melawan rasuah.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus