SEPULUH hari sudah Presiden Soeharto menyampaikan pidato
RAPBN 1979/1980 kepada DPR. Di pasaran para pengusaha masih
mereka-reka beraa dan kapan kiranya harga minyak bumi dalam
negeri (BBM) akan dinaikkan. Ancang-ancangnya sudah disinyalir
sendiri oleh Presiden. Subsidi untuk BBM dalam RAPBN 79/80
disediakan nyaris Rp 220 milyar. Sedang, menurut Presiden,
kebutuhan subsidi yang sebenarnya jauh lebih besar, yakni Rp 500
milyar lebih, andaikata harga BBM yang searang tidak naik dalam
tahun anggaran baru yang akan dimulai awal April nanti (TEMPO,
13 Januari).
Timbul dugaan harga minyak baru akan disesuaikan pertengahan
tahun ini. Banyak yang berharap harga BBM itu nanti tak akan
naik mengikuti perubahan kurs rupiah dengan dollar. Sebab kalau
naiknya sampai segitu, pengaruhnya dikhawatirkan akan berantai
dan menyulut inflasi suatu hal yang pasti akan dihindari oleh
para pengelola ekonomi negeri ini. Maka menurut seorang
tehnokrat, yang juga dibicarakan adalah agar knaikan BBM itu
kelak tidak berlaku bagi semua jenis minyak. "Tapi berlaku
secara selektif," katanya.
Tapi itu tak berarti bahwa peranan minyak mulai berkurang dalam
mengisi RAPBN 1979/1980 ini. Ketergantungan pada penerimaan
minyak dan bantuan luar negeri tampak makin besar. Ini oleh
beberapa pengamat dipandang sebagai kelemahan yang paling
menyolok dari RAPBN yang masih harus disahkan DPR itu. Tapi
alternatifnya memang tak banyak (lihat grafik).
Dari pertambahan sebesar Rp 2,1 trilyun, 90% akan berasal dari
tambahan penerimaan minyak dan bantuan luar negeri. Pada dua
tahun anggaran sebelumnya, 1977/1978 yang ditutup akhir Maret
lalu, pertambahan dari penerimaan minyak dan bantuan luar negeri
menyumbang masing-masing 51% dan 39% dari seluruh pertambahan.
Pajak Langsung
Apa sebabnya? "Sumber dana dari dalam negeri di luar minyak
tampak makin tak menggembirakan," kata seorang ekonom di UI.
Maksudnya tentu adalah pajak langsung tok yang dalam RAPBN 79/80
diperkirakan hanya akan naik Rp 27,7 milyar. Padahal selama
Pelita II, pos ini naik dengan rata-rata Rp 116 milyar setiap
tahunnya.
Begitu juga dengan pajak tak langsung yang diharapkan naik
dengan Rp 117 milyar. Selama Pelita II kenaikannya rata-rata
tiap tahun Rp 134 milyar. Kedua pos penting itu ini berkaitan
langsung dengan keuntungan perusahaan dan transaksi pasaran.
Maka beberapa pengamat bersepakat pertambahan yang kecil dari
kedua pos ini merupakan pencerminan perkiraan pemerintah
terhadap kegiatan ekonomi di tahun anggaran mendatang.
Dengan devaluasi rupiah disertal pengawasan harga yang agak
ketat, laba perusahaan diperkirakan bakal menciut. Dan pajak
perseroan yang akan masuk kas pemerintah akan tertekan. Di lain
pihak kaum pengusaha diperkirakan akan mengurangi operasinya,
karena dengan harga yang lebih tinggi konsumen akan mengurangi
pengeluarannya. Beberapa contoh tentang ini sudah diketahui:
seperti perakitan mobil dan perusahaan tekstil, yang paling
parah terkena akibat Kenop-15. Transaksi di pasaran akan
menurun: hingga basis pajak tak langsung akan menyempit. Resesi?
Beberapa pengamat beranggapan ada kemungkinan kelesuan akan
melanda bidang industri. Tapi pemerintah tampak optimis:
pertumbuhan ekonomi diperkirakan masih bisa mencapai 6,5%
setahun, setengah prosen lebih kecil dari perkiraan di tahun
sebelumnya.
Situasi penerimaan pajak yang tidak menggembirakan ini memang
sudah kelihatan sejak tahun anggaran 77/78 berakhir Maret lalu.
Penerimaan pajak yang dikelola Ditjen Pajak (pajak langsung di
luar minyak dan Ipeda, tapi termasuk beberapa jenis pajak tidak
langsung pada tahun anggaran yang lalu hanya mencapai Rp 710
milyar, atau Rp 50 milyar lebih rendah dari sasaran. Dan
realisasi selama semester pertama APBN 78/79 untuk penerimaan
tersebut baru mencapai Rp 321 milyar. Sasarannya adalah Rp 904
milyar.
Melihat tingkat realisasi penerimaan ini, kalangan Ditjen Pajak
merasa pesimis kalau sasaran seperti tercantum dalam APBN
sekarang ini bisa tercapai. Tak heran kalau dalam RAPBN 79/80
pemerintah tidak memberi beban yang begitu berat kepada Dirjen
Pajak, dan hanya menaikkan sasarannya 4%, menjadi Rp 940 milyar.
Perkembangan ini menunjukkan usaha pemerintah untuk mengurangi
ketergantungan penerimaannya dari minyak, nampaknya makin jauh
dari sasaran.
Perkembangan pajak langsung di luar minyak selama beberapa tahun
terakhir ini memang tidak mengecewakan. Tingkat pertambahannya
lebih cepat dari tingkat pertambahan penerimaan dalam negeri di
luar minyak, bertambah rata-rata Rp 100 milyar tiap tahun selama
tiga tahun terakhir. Dan kalau di tahun anggaran 1974/1975 pajak
langsung di luar minyak baru 33% dari penerimaan datam negeri di
luar minyak, maka pada 1977/1978 sudah merupakan 35,5%. Pada
tahun anggaran yang masih berjalan ini, jumlahnya diharapkan
naik Rp 200 milyar -- dua kali lipat pertambahan tiap tahun
sebelumnya -- dan akan merupakan 39% dari seluruh penerimaan
dalam negeri di luar milnyak.
Tapi dengan tindakan 15 Nopember 1978, sangat diragukan bahwa
sasaran ini akan tercapai. Presiden dalam pidato kenegaraannya
16 Agustus 1978 yang lalu memperkirakan jenis penerimaan ini
merupakan 41% dari total penerimaan dalam negeri di luar minyak
selama Repelita III nanti. Dengan adanya devaluasi rupiah,
agaknya sasaran inipun perlu ditinjau lagi.
Sebenarnya Ditjen Pajak tidak menghadapi kekurangan sumber
pajak. Objek pajak yang belum terjangkau aparatnya masih cukup
besar. Dalam Pelita III nanti misalnya, banyak perusahaan PMA
dan PMDN akan habis masa libur pajaknya, dan obyek pajak di sini
diperkirakan akan bertambah menjadi 4000 perusahaan. Di samping
itu wajib pajak perseroan terdaftar berjumlah 32.000 tapi baru
separuhnya yang dipungut pajaknya secara teratur. Dan dari
187.000 wajib pajak pendapatan, kini hanya 100.000 wajib pajak
yang berada dalam jangkauan aparat perpajakan. Kalau saja sumber
pajak ini digali secara intensif, maka gambaran pajak tak perlu
suram seperti sekarang ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini