Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Ketergantungan Itu Makin Besar

Dalam RAPBN 1979/1980 ketergantungan pada penerimaan minyak dan bantuan luar negeri makin besar. Tingkat realisasi penerimaan pajak lebih rendah dari sasaran.(eb)

20 Januari 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEPULUH hari sudah Presiden Soeharto menyampaikan pidato RAPBN 1979/1980 kepada DPR. Di pasaran para pengusaha masih mereka-reka beraa dan kapan kiranya harga minyak bumi dalam negeri (BBM) akan dinaikkan. Ancang-ancangnya sudah disinyalir sendiri oleh Presiden. Subsidi untuk BBM dalam RAPBN 79/80 disediakan nyaris Rp 220 milyar. Sedang, menurut Presiden, kebutuhan subsidi yang sebenarnya jauh lebih besar, yakni Rp 500 milyar lebih, andaikata harga BBM yang searang tidak naik dalam tahun anggaran baru yang akan dimulai awal April nanti (TEMPO, 13 Januari). Timbul dugaan harga minyak baru akan disesuaikan pertengahan tahun ini. Banyak yang berharap harga BBM itu nanti tak akan naik mengikuti perubahan kurs rupiah dengan dollar. Sebab kalau naiknya sampai segitu, pengaruhnya dikhawatirkan akan berantai dan menyulut inflasi suatu hal yang pasti akan dihindari oleh para pengelola ekonomi negeri ini. Maka menurut seorang tehnokrat, yang juga dibicarakan adalah agar knaikan BBM itu kelak tidak berlaku bagi semua jenis minyak. "Tapi berlaku secara selektif," katanya. Tapi itu tak berarti bahwa peranan minyak mulai berkurang dalam mengisi RAPBN 1979/1980 ini. Ketergantungan pada penerimaan minyak dan bantuan luar negeri tampak makin besar. Ini oleh beberapa pengamat dipandang sebagai kelemahan yang paling menyolok dari RAPBN yang masih harus disahkan DPR itu. Tapi alternatifnya memang tak banyak (lihat grafik). Dari pertambahan sebesar Rp 2,1 trilyun, 90% akan berasal dari tambahan penerimaan minyak dan bantuan luar negeri. Pada dua tahun anggaran sebelumnya, 1977/1978 yang ditutup akhir Maret lalu, pertambahan dari penerimaan minyak dan bantuan luar negeri menyumbang masing-masing 51% dan 39% dari seluruh pertambahan. Pajak Langsung Apa sebabnya? "Sumber dana dari dalam negeri di luar minyak tampak makin tak menggembirakan," kata seorang ekonom di UI. Maksudnya tentu adalah pajak langsung tok yang dalam RAPBN 79/80 diperkirakan hanya akan naik Rp 27,7 milyar. Padahal selama Pelita II, pos ini naik dengan rata-rata Rp 116 milyar setiap tahunnya. Begitu juga dengan pajak tak langsung yang diharapkan naik dengan Rp 117 milyar. Selama Pelita II kenaikannya rata-rata tiap tahun Rp 134 milyar. Kedua pos penting itu ini berkaitan langsung dengan keuntungan perusahaan dan transaksi pasaran. Maka beberapa pengamat bersepakat pertambahan yang kecil dari kedua pos ini merupakan pencerminan perkiraan pemerintah terhadap kegiatan ekonomi di tahun anggaran mendatang. Dengan devaluasi rupiah disertal pengawasan harga yang agak ketat, laba perusahaan diperkirakan bakal menciut. Dan pajak perseroan yang akan masuk kas pemerintah akan tertekan. Di lain pihak kaum pengusaha diperkirakan akan mengurangi operasinya, karena dengan harga yang lebih tinggi konsumen akan mengurangi pengeluarannya. Beberapa contoh tentang ini sudah diketahui: seperti perakitan mobil dan perusahaan tekstil, yang paling parah terkena akibat Kenop-15. Transaksi di pasaran akan menurun: hingga basis pajak tak langsung akan menyempit. Resesi? Beberapa pengamat beranggapan ada kemungkinan kelesuan akan melanda bidang industri. Tapi pemerintah tampak optimis: pertumbuhan ekonomi diperkirakan masih bisa mencapai 6,5% setahun, setengah prosen lebih kecil dari perkiraan di tahun sebelumnya. Situasi penerimaan pajak yang tidak menggembirakan ini memang sudah kelihatan sejak tahun anggaran 77/78 berakhir Maret lalu. Penerimaan pajak yang dikelola Ditjen Pajak (pajak langsung di luar minyak dan Ipeda, tapi termasuk beberapa jenis pajak tidak langsung pada tahun anggaran yang lalu hanya mencapai Rp 710 milyar, atau Rp 50 milyar lebih rendah dari sasaran. Dan realisasi selama semester pertama APBN 78/79 untuk penerimaan tersebut baru mencapai Rp 321 milyar. Sasarannya adalah Rp 904 milyar. Melihat tingkat realisasi penerimaan ini, kalangan Ditjen Pajak merasa pesimis kalau sasaran seperti tercantum dalam APBN sekarang ini bisa tercapai. Tak heran kalau dalam RAPBN 79/80 pemerintah tidak memberi beban yang begitu berat kepada Dirjen Pajak, dan hanya menaikkan sasarannya 4%, menjadi Rp 940 milyar. Perkembangan ini menunjukkan usaha pemerintah untuk mengurangi ketergantungan penerimaannya dari minyak, nampaknya makin jauh dari sasaran. Perkembangan pajak langsung di luar minyak selama beberapa tahun terakhir ini memang tidak mengecewakan. Tingkat pertambahannya lebih cepat dari tingkat pertambahan penerimaan dalam negeri di luar minyak, bertambah rata-rata Rp 100 milyar tiap tahun selama tiga tahun terakhir. Dan kalau di tahun anggaran 1974/1975 pajak langsung di luar minyak baru 33% dari penerimaan datam negeri di luar minyak, maka pada 1977/1978 sudah merupakan 35,5%. Pada tahun anggaran yang masih berjalan ini, jumlahnya diharapkan naik Rp 200 milyar -- dua kali lipat pertambahan tiap tahun sebelumnya -- dan akan merupakan 39% dari seluruh penerimaan dalam negeri di luar milnyak. Tapi dengan tindakan 15 Nopember 1978, sangat diragukan bahwa sasaran ini akan tercapai. Presiden dalam pidato kenegaraannya 16 Agustus 1978 yang lalu memperkirakan jenis penerimaan ini merupakan 41% dari total penerimaan dalam negeri di luar minyak selama Repelita III nanti. Dengan adanya devaluasi rupiah, agaknya sasaran inipun perlu ditinjau lagi. Sebenarnya Ditjen Pajak tidak menghadapi kekurangan sumber pajak. Objek pajak yang belum terjangkau aparatnya masih cukup besar. Dalam Pelita III nanti misalnya, banyak perusahaan PMA dan PMDN akan habis masa libur pajaknya, dan obyek pajak di sini diperkirakan akan bertambah menjadi 4000 perusahaan. Di samping itu wajib pajak perseroan terdaftar berjumlah 32.000 tapi baru separuhnya yang dipungut pajaknya secara teratur. Dan dari 187.000 wajib pajak pendapatan, kini hanya 100.000 wajib pajak yang berada dalam jangkauan aparat perpajakan. Kalau saja sumber pajak ini digali secara intensif, maka gambaran pajak tak perlu suram seperti sekarang ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus