Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seminar di Hotel Sultan, Jakarta, itu sudah berlalu dua pekan, tapi hangatnya perdebatan terus terasa di kampus Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Sepanjang pekan lalu, lewat pernyataan yang menyebar melalui internet, sejumlah aktivis mahasiswa, dosen, dan alumni kampus Bulaksumur, Yogyakarta, itu menyatakan kekecewaan atas keterlibatan almamater mereka dalam penelitian yang disponsori perusahaan Asian Agri.
Penelitian yang jadi pangkal masalah itu dilakukan Jurusan Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) UGM. Mereka menganalisis segepok berita di Koran Tempo dan majalah Tempo tentang dugaan penggelapan pajak Asian Agri. Hasil penelitian, seperti yang dipaparkan dalam seminar itu, menyimpulkan berita Tempo sengaja dibangun (berkonstruksi wacana) untuk mengadili perusahaan itu berikut pemiliknya, Sukanto Tanoto, manusia terkaya Indonesia 2006 versi majalah Forbes.
Salah satu dosen yang terang-terangan miris dengan penelitian itu adalah Budi Irawanto, staf pengajar Jurusan Komunikasi. Sejak tahap awal ia tahu dan sempat diajak koleganya ikut penelitian tersebut. Di ruang dosen jurusan, ia diminta meneken rancangan proposal penelitian yang sudah setengah jadi. Kejadian itu berlangsung pada Mei lalu.
Budi tak mau buru-buru membubuhkan tanda tangan. Ia mencium aroma tak sedap. Lulusan Cur-tin University of Technology, Australia, ini tahu Asian Agri sedang disorot publik gara-gara pajak. Ia juga melihat asumsi penelitian yang disodorkan secara tak wajar karena langsung menuding Tempo tendensius dan tidak profesional.
Ringkasnya, ia menangkap kesan bahwa pemberi dana menentukan arah riset. ”Penelitian itu tidak independen.” Ia pun menolak terlibat. Namun, tanpa Budi, penelitian ternyata terus jalan. Dari 16 dosen di Jurusan Ilmu Komunikasi, 11 orang terlibat.
Siapa yang menawarkan penelitian itu ke kolega Budi? Penelusuran Tempo sampai pada nama Eduard Depari. Selama Maret–Mei lalu, penasihat senior Grup Raja Garuda Mas, induk Asian Agri, itu tekun mencari peneliti kampus yang bisa diajak kerja sama. Kebetulan, Eduard cukup dekat dengan orang kampus. Dia, antara lain, pernah menjadi pengajar tidak tetap di Jurusan Ilmu Komunikasi, Fisipol UGM, dan FISIP UI.
Sebelum ke UGM, Eduard menawarkan penelitian serupa ke Program Studi Komunikasi Universitas Katolik Atma Jaya, Yogyakarta. Ia datang bersama empat orang staf Asian Agri. Setio Budi, bekas Ketua Program Studi Komunikasi di Atma Jaya, bercerita, tawaran itu menjadi kajian pelik tim penelitinya, terutama dari sisi etika akademik.
Pihak Atma Jaya tak ingin nilai akademik diselewengkan. Namun, Asian Agri terus mendesak. Maka Atma Jaya menyodorkan syarat: perusahaan itu diminta menyodorkan juga berita yang ditulis oleh media lain selain Tempo. Syarat itu ditolak. Atma Jaya justru merasa senang.
Wakil Dekan FISIP Atma Jaya, Danarka Sasangka, mengatakan, pihaknya sebetulnya keberatan dengan penelitian itu karena Asian Agri sudah menetapkan hasil risetnya jauh sebelum penelitian dikerjakan. Mereka juga cukup sadar riset itu ditujukan untuk memukul media yang jadi obyek penelitian, yakni Tempo. ”Atma Jaya tidak mau itu terjadi,” katanya.
Gagal membujuk Atma Jaya, Eduard beralih ke LP3Y (Lembaga Penelitian Pendidikan dan Penerbitan Yogyakarta). Ia menjumpai Ashadi Siregar, dosen senior Jurusan Ilmu Komunikasi UGM yang memimpin lembaga itu. Namun, menurut Budi Irawanto yang berbicara langsung dengan Ashadi, seniornya itu menolak tawaran itu dengan alasan sibuk. Ashadi yang sedang sakit tak bisa ditemui di kantor LP3Y. Ia juga tak menjawab surat elektronik yang dikirim Tempo dua pekan lalu.
Dari LP3Y, Eduard melambung ke Lembaga Studi Perubahan Sosial (LSPS) di Surabaya, Jawa Timur. Di sana ia menemui bekas Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga, Hotman Siahaan, yang memimpin lembaga itu. Lagi-lagi, ia menyodorkan guntingan berita Koran Tempo dan majalah Tempo edisi Januari–Mei 2007 untuk dikaji.
Dalam pertemuan itu, Eduard mempersilakan LSPS menyusun sendiri anggaran penelitiannya, tapi lembaga itu menolak dengan alasan tidak ingin mencari perkara. Sayangnya, Hotman tidak mau dimintai konfirmasi. ”Saya terikat komitmen tertulis untuk tidak membuka penolakan itu,” katanya.
Kisah berbeda soal gerilya Asian Agri mencari peneliti kampus datang dari Pusat Pengkajian dan Pelatihan Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (P3ISIP). Dwi Urip Premono, direktur eksekutif lembaga itu, mengatakan Asian Agri menghubunginya sepekan sebelum seminar di Hotel Sultan. Mereka memintanya menjadi pembicara seminar. Informasi ini berbeda dengan pengakuan Kepala Departemen Penelitian P3ISIP, Wahyu Wibowo, yang menggantikan Dwi Urip mempresentasikan kajian lembaga itu. Menurut Wahyu, lembaganya yang aktif menawarkan diri. ”Jika UGM didatangi, kami justru menawarkan diri,” kata bekas wartawan yang terang-terangan mengaku menyukai amplop dan isinya ini.
Secara berkala, menurut Urip, lembaganya mengkaji isi berita media. Maka, tak sulit menyelesaikan penelitian dalam waktu kurang dari sepekan. Kendati berkantor di lantai 6 gedung Dewan Pers, Kebon Sirih, Jakarta Pusat, jebolan Ilmu Komunikasi FISIP UI ini mengaku lembaganya resmi di bawah naungan Universitas Indonesia. Untuk meyakinkan ia menunjuk bekas Dekan FISIP UI, Muhammad Budyatna, menjadi pemimpin lembaga.
Namun, keterangan Urip dibantah keras pihak FISIP UI maupun Rektorat UI. ”Jangan membawa nama dan lambang makara Universitas Indonesia,” kata Henny S. Widyaningsih, Kepala Humas UI.
Eduard Depari menjelaskan, pencarian peneliti kampus ini berangkat dari niat baik. ”Kami ingin membangun budaya akademis menghadapi media massa, bukan cara preman,” katanya. Jurusan Ilmu Komunikasi, Fisipol UGM, menjadi pilihan, menurut dia, karena mereka pernah mengkaji bahwa kebebasan pers telah ke luar rel.
Ia tak mau membuka mulut soal jumlah dana yang dikucurkan untuk penelitian tersebut. Budi Irawanto mendengar selentingan bahwa koleganya dibayar Rp 340 juta. Sedangkan Dwi Urip mengaku pihaknya cuma mendapat bayaran sebagai pembicara seminar.
Sementara itu, Ketua Jurusan Ilmu Komunikasi, Fisipol UGM, Hermien Indah Wahyuni, menyanggah tuduhan bahwa hasil riset sesuai dengan permintaan pemesan. ”Siapa pun yang mendanai, jika metodologi, pisau analisis, dan obyeknya sama, hasilnya pasti sama,” katanya.
Toh, pimpinan Fisipol UGM rupanya gerah dengan penelitian itu. Jumat pekan lalu, Dekan Mohtar Mas’oed memanggil semua dosen Jurusan Ilmu Komunikasi. Sayangnya, ia tak mau membuka isi rapat. ”Saya harus menjaga institusi dan ngemong semua pihak,” tulisnya melalui pesan pendek telepon seluler.
Melalui telepon, Mohtar mengajak Tempo untuk bertemu pekan ini. Ajakan itu disambut baik Pemimpin Redaksi Majalah Tempo Toriq Hadad. ”Kalau Fisipol tertarik meneliti berita-berita Tempo, perpustakaan akan kami buka 24 jam untuk membantu. Tempo selalu terbuka untuk diteliti. Tapi, demi menjaga netralitas, sebaiknya jangan menerima penelitian pesanan dari perusahaan yang sedang beperkara dengan kami,” ujar Toriq. Selain harapan itu, kata Toriq, Tempo tak akan menuntut apa-apa. Ia hanya ingin bertanya apakah Fisipol tidak terusik dengan penelitian ini, apalagi kalau kelak dimanfaatkan untuk ”memukul” pihak yang diteliti.
Sunudyantoro, Budi Riza, Bernarda Rurit (Yogyakarta), Kukuh S.W (Surabaya), Hambali (Medan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo