Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di Pakistan, demokrasi angkat kaki bersama perginya Benazir Bhutto, 54 tahun, malam Jumat pekan lalu.
Benazir, kandidat terkuat dalam pemilihan umum parlemen yang direncanakan pada 8 Januari 2008, sebenarnya bukan idola setiap pencinta demokrasi. Di masa pemerintahannya, pada 1988 kemudian 1990, keluarganya terlibat korupsi, sementara kesejahteraan sosial bagi si miskin tak tergarap. Ia juga mengecewakan pencinta demokrasi. Sekitar sebulan lalu, ia sekonyong-konyong memutuskan berkolaborasi dengan lawan politiknya, penguasa rezim militer Jenderal Pervez Musharraf.
Tapi inilah Pakistan, yang telah kehilangan kepercayaannya pada pemeo: selalu ada titik cahaya di ujung lorong yang gelap. Hingga akhir pekan lalu, para pendukung Benazir Bhutto di seantero negeri merusak dan membakar mobil dan gedung-gedung pemerintah, sambil menuding bahwa Musharraf berada di balik pembunuhan itu. Satu kondisi yang kemungkinan besar bakal mengundang kembali militer untuk menegakkan keadaan darurat.
Pembunuhan Benazir di Rawalpindi menunjukkan bahwa demokrasi terkadang seperti sebuah keramik yang gampang pecah. Kampanye yang ingar-bingar, kebebasan berekspresi yang selalu berpotensi memerahkan kuping siapa saja yang bersaing, dan politik uang adalah beberapa contohnya. Dengan kata lain, demokrasi juga suatu medan raksasa yang terbuka bagi siapa saja, termasuk para oportunis, dan mereka yang ingin mengakhirinya.
Menghadapi aneka kemungkinan itulah, pada Oktober lalu, setelah delapan tahun tinggal di London, Benazir Bhutto meninggalkan tempat pengasingannya dan memilih pulang. Pakistan, dengan penduduk lebih dari 162 juta, mayoritas siap memberikan suaranya ke PPP (Partai Rakyat Pakistan, dipimpin oleh Benazir). Hasilnya jauh di luar harapannya: veni (saya datang), vidi (saya bertarung), dan mati. Di tanah tumpah darahnya ia menjadi martir demokrasi.
Demokrasi bukan hal yang mudah. Dibutuhkan uluran tangan segenap masyarakat untuk ikut mempertahankan dan memeliharanya. Tapi kerja kolektif itu bisa hancur berkeping di tangan segelintir orang yang menempuh jalan kekerasan demi mewujudkan kepentingan mereka. Pakistan di bawah Jenderal Pervez Musharraf, dengan dua komponen sangat mencolok dalam kehidupan kesehariannya kini—rezim militer yang otoriter dan anarki—memungkinkan hal itu. Satu fenomena baru yang sebenarnya merupakan kebiasaan rezim otoriter yang ”anarkis” selama ini: menggunakan hukum untuk membenarkan kesewenang-wenangan. Dengan cara itu Musharraf memecat Jaksa Agung dan delapan hakim agung.
Sekarang, pemerintah PM Pervez Musharraf mengalami masa-masa paling sulit: kehilangan legitimasi. Sebenarnya belakangan ini Musharraf telah mencoba memperlihatkan wajah yang tidak otoriter. Ia tidak lagi berdalih bahwa Pakistan memiliki demokrasi sendiri—argumentasi yang kerap dipakai para diktator dunia ketiga. Musharraf menanggalkan seragam militer dan kedudukannya sebagai panglima angkatan bersenjata, mencabut keadaan darurat, dan membiarkan tokoh oposisi di pengasingan seperti Benazir dan Nawaz Sharif kembali ke tanah air. Ia ingin memproklamasikan bahwa dirinya berubah.
Namun ia terlambat. Pemilu, satu-satunya instrumen untuk mengembalikan legitimasi, akhirnya kehilangan arti setelah Benazir Bhutto tewas. Apalagi Nawaz Sharif dan Imran Khan, dua kandidat dari kubu oposisi, telah mendesak Musharraf mengundurkan diri. Keduanya bersumpah memboikot pemilu. Apa boleh buat, kemungkinan besar Pervez Musharraf akan berpaling kepada Amerika Serikat, sekutu strategisnya yang tak populer di kalangan masyarakat Pakistan. AS pernah berusaha menyandingkan Musharraf dengan Benazir Bhutto. Duet yang gagal.
Musharraf tahu bahwa ia tak boleh gagal. Dia bertindak. Di Pakistan yang sedang rusuh itu, ia menempatkan diri di antara pemelihara demokrasi, seraya melontarkan satu tudingan tajam: kelompok Al-Qaidah bertanggung jawab atas terbunuhnya Benazir Bhutto. Kekerasan dan teror terhadap warga sipil merupakan hal yang akrab dengan kelompok yang dituding ini—seperti bom yang mengguncang Madrid, London, Bali, dan New York. Ia mengarahkan telunjuk ke Lashkar-e-Jhangvi, kelompok yang dekat dengan Al-Qaidah dan Taliban. Tapi Musharraf membutuhkan bukti kuat untuk menopang tudingannya. Karena itu, ia pun seharusnya tahu, semakin lama ia menunda pengumpulan bukti untuk mengungkap kematian Benazir, semakin hilang pula legitimasi yang ia harapkan.
Di Pakistan, demokrasi pergi bersama Benazir Bhutto, malam Jumat pekan lalu. Dan Musharraf, dengan caranya sendiri, berusaha keras meyakinkan orang bahwa demokrasi telah kembali.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo