Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Ketika Balon Bankir Kempes

Nilai aset konglomerat yang diserahkan ke pemerintah jauh lebih kecil dari semestinya. Pemerintah akan menanggung kerugian puluhan triliun.

4 Juni 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BAUNYA memang telah lama kecium, tapi kehebatan dampaknya baru ketahuan kemudian: nilai aset para bankir yang diserahkan ke pemerintah sebagai jaminan utang nyatanya cuma separuh atau sepertiga dari yang semestinya. Dan lebih celaka lagi, ternyata rakyatlah yang harus menanggung kekurangan itu.

Itulah kabar terbaru yang amat memilukan dari Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Kesimpulan itu diperoleh setelah sebagian dari uji tuntas ulang atas harta para bankir itu diketahui hasilnya, pekan lalu. Aset Grup Salim, yang selalu dikabarkan melebihi kewajiban, misalnya, ternyata cuma setengah dari yang mestinya dibayar.

Konglomerasi terbesar Indonesia ini punya utang hampir Rp 48 triliun kepada pemerintah. Tapi, setelah diuji ulang, nilai 107 perusahaan yang dijaminkan Salim ternyata cuma Rp 24 triliun. Aset Grup Gadjah Tunggal milik Sjamsul Nursalim juga sami mawon. Di atas kertas, Sjamsul menyerahkan Rp 27,4 triliun dari Rp 28,4 triliun utangnya. Tapi, ternyata nilainya cuma Rp 9,4 triliun (lihat tabel).

Sialnya, selisih antara kewajiban dan jaminan tak semuanya jadi beban konglomerat. Dari tujuh bankir yang meneken perjanjian pelunasan utang, menurut bekas Kepala BPPN Glenn Yusuf, cuma Salim yang mau menanggung kekurangannya. Konglomerat lain? Maaf saja, menurut perjanjian yang ada, selisih itu akan jadi beban negara. Menurut seorang sumber di BPPN, Sjamsul juga sudah dikejar untuk menutup selisih itu. Tapi, meskipun Sjamsul konon setuju, "Hingga hari ini ia belum meneken perjanjian baru."

Kalaulah Sjamsul dan Salim bisa dikejar, kerugian negara tetap besar. Menurut taksiran awal, sekitar Rp 35 triliun dana publik akan menguap gara-gara keteledoran penaksiran nilai aset itu. Seorang pejabat keuangan menyatakan, BPPN sudah "pasrah" menghadapi mengerutnya aset para konglomerat ini. "Masalah ini akan diserahkan ke DPR dalam waktu dekat," kata sumber TEMPO di BPPN.

Sebagaimana diketahui, dua tahun lalu sejumlah bank yang terkena gelombang rush harus dikarantinakan di rumah sakit bank, BPPN. Karena injeksi dana dari pemerintah sudah kelewat besar, mereka yang tak lagi punya harapan bakal sembuh langsung dibredel alias dicabut izinnya. Tapi yang masih bisa bertahan, seperti BCA dan Danamon, diambil oper oleh pemerintah.

Untuk itu, dana pemerintah yang dipakai untuk membantu likuiditas bank harus diganti para bankir, begitu pula dana bank yang dimanfaatkan pemilik bank untuk membiayai proyeknya sendiri sehingga melanggar batas maksimum pemberian kredit. Dan karena para konglomerat ini mengaku tak punya uang tunai, mereka menyerahkan sejumlah aset sebagai jaminan.

Di sinilah, rupanya, permainan dimulai. Dengan "menjual" nama konsultan asing kondang, mereka me-"mark-up" nilai asetnya. Betul, kemerosotan nilai aset itu mungkin juga disebabkan oleh turunnya harga dolar dari Rp 14.000, kala itu, jadi sekitar Rp 8.000. Perusahaan yang harta atau penghasilannya dalam dolar tentu nilainya jadi jeblok.

Namun, alasan ini tak cukup mematahkan dugaan adanya permainan. Hitungan Credit Suisse First Boston atas tambak udang Dipasena milik Gadjah Tunggal, yang keterlaluan mahal, bisa jadi contoh. Tambak yang oleh Kepala BPPN Cacuk Sudarijanto disebut "tinggal air doang" itu nilainya ditaksir Rp 20 triliun. Padahal, harga pasarnya tak lebih dari Rp 2 triliun.

Jadi? Kalau benar mereka menipu dan kita tak punya pasal buat mengusutnya, kenapa tak dikirim ke Ragunan saja, Pak? Pan seger juga menontonnya.

Nugroho Dewanto, Leanika Tanjung


Pemilik Bank dan Kewajibannya

BCA
Pemilik Soedono Salim
Jumlah Utang Rp 47,7 triliun
Perusahaan yang Diserahkan
Holdiko Perkasa (78 perusahaan)
Rp 53 triliun•
Rp 24 triliun••
Status
Janji menomboki kekurangan

Danamon
Pemilik
Usman Admadjaja
Jumlah Utang
Rp 12,3 triliun
Perusahaan yang Diserahkan
Bentala Kartika Abadi
(22 perusahaan)
Rp 15 triliun•
Status
Menomboki kekurangan

BDNI
Pemilik
Sjamsul Nursalim
Jumlah Utang
Rp 28,4 triliun
Perusahaan yang Diserahkan
Tunas Sepadan Investama (12 perusahaan)
Rp 27,4 triliun•
Rp 9,4 triliun••
Status
Dikejar agar menomboki kekurangan

BUN
Pemilik
Kaharudin Ongko
Jumlah Utang
Rp 7,8 triliun

BUN
Pemilik
Bob Hasan
Jumlah Utang
Rp 6.2 triliun
Perusahaan yang Diserahkan
Kiani Wirudha (32 perusahaan)
Status
Berunding

Pelita
Pemilik
Hashim Djojohadikusumo
Jumlah Utang
Rp 2,6 triliun
Status
Diserahkan kejaksaan

Modern
Pemilik
Samadikun Hartono
Jumlah Utang
Rp 2,5 triliun
Perusahaan yang Diserahkan
Cakrawala Gita Pratama (9 perusahaan)

Surya-Subentra
Pemilik
Sudwikatmono
Jumlah Utang
Rp 1,9 triliun
Status
Lunas

Centris
Pemilik
Andre Tejadarma & Kem Kem An
Jumlah Utang
Rp 735 miliar
Status
Berunding

Istismarat
Pemilik
Hashim Djojohadikusumo
Jumlah Utang
Rp 539 miliar
Status
Diserahkan kejaksaan
Hokindo
Pemilik
Hokiarto
Jumlah Utang
Rp 347 miliar
Status
Diserahkan kejaksaan

Deka
Pemilik
Dewanto Kurniawan
Jumlah Utang
Rp 206 miliar
Status
Berunding

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus