Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Itulah kabar terbaru yang amat memilukan dari Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Kesimpulan itu diperoleh setelah sebagian dari uji tuntas ulang atas harta para bankir itu diketahui hasilnya, pekan lalu. Aset Grup Salim, yang selalu dikabarkan melebihi kewajiban, misalnya, ternyata cuma setengah dari yang mestinya dibayar.
Konglomerasi terbesar Indonesia ini punya utang hampir Rp 48 triliun kepada pemerintah. Tapi, setelah diuji ulang, nilai 107 perusahaan yang dijaminkan Salim ternyata cuma Rp 24 triliun. Aset Grup Gadjah Tunggal milik Sjamsul Nursalim juga sami mawon. Di atas kertas, Sjamsul menyerahkan Rp 27,4 triliun dari Rp 28,4 triliun utangnya. Tapi, ternyata nilainya cuma Rp 9,4 triliun (lihat tabel).
Sialnya, selisih antara kewajiban dan jaminan tak semuanya jadi beban konglomerat. Dari tujuh bankir yang meneken perjanjian pelunasan utang, menurut bekas Kepala BPPN Glenn Yusuf, cuma Salim yang mau menanggung kekurangannya. Konglomerat lain? Maaf saja, menurut perjanjian yang ada, selisih itu akan jadi beban negara. Menurut seorang sumber di BPPN, Sjamsul juga sudah dikejar untuk menutup selisih itu. Tapi, meskipun Sjamsul konon setuju, "Hingga hari ini ia belum meneken perjanjian baru."
Kalaulah Sjamsul dan Salim bisa dikejar, kerugian negara tetap besar. Menurut taksiran awal, sekitar Rp 35 triliun dana publik akan menguap gara-gara keteledoran penaksiran nilai aset itu. Seorang pejabat keuangan menyatakan, BPPN sudah "pasrah" menghadapi mengerutnya aset para konglomerat ini. "Masalah ini akan diserahkan ke DPR dalam waktu dekat," kata sumber TEMPO di BPPN.
Sebagaimana diketahui, dua tahun lalu sejumlah bank yang terkena gelombang rush harus dikarantinakan di rumah sakit bank, BPPN. Karena injeksi dana dari pemerintah sudah kelewat besar, mereka yang tak lagi punya harapan bakal sembuh langsung dibredel alias dicabut izinnya. Tapi yang masih bisa bertahan, seperti BCA dan Danamon, diambil oper oleh pemerintah.
Untuk itu, dana pemerintah yang dipakai untuk membantu likuiditas bank harus diganti para bankir, begitu pula dana bank yang dimanfaatkan pemilik bank untuk membiayai proyeknya sendiri sehingga melanggar batas maksimum pemberian kredit. Dan karena para konglomerat ini mengaku tak punya uang tunai, mereka menyerahkan sejumlah aset sebagai jaminan.
Di sinilah, rupanya, permainan dimulai. Dengan "menjual" nama konsultan asing kondang, mereka me-"mark-up" nilai asetnya. Betul, kemerosotan nilai aset itu mungkin juga disebabkan oleh turunnya harga dolar dari Rp 14.000, kala itu, jadi sekitar Rp 8.000. Perusahaan yang harta atau penghasilannya dalam dolar tentu nilainya jadi jeblok.
Namun, alasan ini tak cukup mematahkan dugaan adanya permainan. Hitungan Credit Suisse First Boston atas tambak udang Dipasena milik Gadjah Tunggal, yang keterlaluan mahal, bisa jadi contoh. Tambak yang oleh Kepala BPPN Cacuk Sudarijanto disebut "tinggal air doang" itu nilainya ditaksir Rp 20 triliun. Padahal, harga pasarnya tak lebih dari Rp 2 triliun.
Jadi? Kalau benar mereka menipu dan kita tak punya pasal buat mengusutnya, kenapa tak dikirim ke Ragunan saja, Pak? Pan seger juga menontonnya.
Nugroho Dewanto, Leanika Tanjung
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo