Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Bisnis Sepekan

4 Juni 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tiada Jaminan Jerman di Paiton II

Berita Der Spiegel itu mengejutkan: pemerintah Jerman harus menutup kerugian US$ 774 juta gara-gara PLN belum memutuskan pembelian listrik dari Paiton II. Itu terjadi karena Berlin memberi jaminan kredit ekspor kepada Siemens, pemegang 50 persen saham PT Jawa Power, pengelola Paiton II.

Kalau berita ini benar, posisi Indonesia bisa gawat. Bisa-bisa, Jerman akan kembali menekan kita dalam perundingan bilateral soal penjadwalan kembali utang pemerintah. Sebelum ini, Berlin sudah melayangkan nota "protes" gara-gara pola penyelesaian utang BUMN Garuda Indonesia yang kabarnya kurang membuat mereka senang.

Tapi benarkah Jerman akan terbebani ratusan juta dolar gara-gara PLN? Atase Pers Kedutaan Besar Jerman di Indonesia, Rals Schroer, membantah berita itu. "Pemerintah Jerman tak menjamin kredit ke Paiton II," katanya. Pembangkit berkekuatan 1.220 megawatt di Pasuruan, Jawa Timur, itu dibangun dengan biaya US$ 1,98 miliar. Sekitar 80 persen di antaranya dibiayai pinjaman Bank Dresdner, Sanwa, dan Toronto Dominion. Pinjaman itu dijamin Hermes Kreditversicherungs AG, US Exim, dan Kreditanstalt fur Wiederaufbau (Kfw).

Kendati sudah selesai dibangun, pembangkit Paiton II hingga hari ini belum beroperasi. PT Jawa Power sedang melakukan negosiasi ulang dengan PLN mengenai harga jual listriknya. Sebelumnya, PLN berjanji akan membeli pada harga 66 sen dolar per kWh atau US$ 564,2 juta setahun. Namun, setelah dihitung ulang, menurut PLN, harga yang wajar hanya separuhnya. "Kami harap tak perlu menyelesaikannya melalui arbitrase internasional," kata Schroer. Selain oleh Siemens, PT Jawa Power dimiliki oleh Power Gen (Inggris, 35 persen) dan Bumipertiwi Tatapradipta (Bambang Trihatmodjo, 15 persen).


Sungai Tol Pertama Indonesia

Jalan tol, itu biasa. Sungai tol? Itulah yang sedang dirancang Pemerintah Daerah Kalimantan Selatan: tiap kapal batu bara yang melewati Sungai Barito akan dipungut US$ 0,3-0,4 untuk tiap ton batu bara yang diangkut. Tarif ini memang khusus untuk batu bara. Angkutan penumpang dan sembako tetap gratis alias tanpa bayar. Mengapa? "Kami tak ingin semua harga naik gara-gara tol ini," kata Asisten II Sekwilda Kal-Sel, Armain Janit, pekan lalu. Menurut Janit, para pengusaha batu bara menyetujui tarif tol ini asal Barito dilebarkan dan diperdalam.

Kebijakan sungai tol ini diambil setelah pemerintah pusat tak lagi membiayai pengerukan Barito. Menurut Pemda Kal-Sel, ongkos pengerukan sungai itu mencapai Rp 8 miliar tiap tahun. Dengan proyek "pen-tol-an" Barito, Pemda memperkirakan bisa menambang uang Rp 36 miliar setahun.

Untuk menggelar proyek sungai tol pertama di Indonesia ini, Pemda telah menunjuk BUMD Bangun Banua sebagai operator. Banua sudah pula menggandeng China Harbour Engineering Co. sebagai investor. Perusahaan Cina ini akan menanam US$ 20 juta selama 8 tahun, antara lain untuk menambah lebar dan dalam Sungai Barito. "Angka bagi hasilnya sedang kita rundingkan," kata seorang direksi Banua.


Hampir Tenggat di Riau

Peluang itu memang belum berkurang. Pemerintah Daerah Riau tetap punya kesempatan menggaet hak pengelolaan ladang minyak Coastal Plain Pekanbaru (CPP). Namun, Direktur Jenderal Minyak dan Gas, Rachmat Sudibyo, mengingatkan bahwa waktu untuk Riau terbatas. "Jika sampai Agustus Riau belum juga menyerahkan konsep, kansnya tertutup," katanya Rabu lalu. Maksudnya, Riau tak akan mengelola CPP secara swadaya.

CPP, yang kini dikelola Catex Pacific Indonesia, akan habis masa konsesinya Agustus tahun depan. Sebelumnya, pemerintah bermaksud menyerahkan ladang minyak berkapasitas 70 ribu barel per hari itu kepada Pertamina. Tapi, sejak isu otonomi daerah marak, pemerintah pusat memberi kesempatan bagi Pemda Riau untuk mengoperasikan CPP dengan memilih mitranya sendiri. Untuk itu, Riau diminta menyerahkan konsep penanganan CPP dengan tenggat akhir Juni ini.

Namun, sampai saat ini, Riau belum mengajukan apa-apa. Jika Riau gagal, pengelolaan CPP akan diserahkan ke konsorsium. Ada tiga kemungkinan konsorsium yang disiapkan: Pertamina-Caltex-Pemda Riau, Riau-Caltex, atau Riau-Pertamina.

DWI ARJANTO

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus