Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mohammad Amien Rais dan Ahmad Syafi'i Ma'arif, yang biasanya kompak, kini tengah berselisih jalan. Pangkal soalnya adalah posisi Muhammadiyah dalam urusan Bank Persyarikatan Indonesia. Kamis pekan lalu, Syafi'i sebagai Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah menemui Wakil Presiden Jusuf Kalla untuk meminta perhatian pemerintah terhadap bank yang dulu bernama Bank Swansarindo Internasional itu. Pada saat yang sama, Amien menulis surat kepada Pimpinan Pusat Muhammadiyah dan justru menyarankan agar bank tersebut ditutup.
Langkah Syafi'i tidaklah aneh. Kendati tak memiliki kaitan resmi, pada kenyataannya ada tujuh tokoh organisasi massa Islam terbesar kedua di Indonesia ini—sebagian besar anggota Pengurus Pusat Muhammadiyah— yang menjadi pemegang saham di Bank Persyarikatan. Mereka ikut ketiban beban ketika kondisi kesehatan bank merosot drastis. Rasio kecukupan modalnya (CAR) anjlok di bawah ketentuan BI yang delapan persen. Juni lalu, CAR Persyarikatan diketahui sudah minus 4,4 persen. Sedangkan giro wajib minimumnya tinggal 0,44 persen, padahal aturannya adalah lima persen.
Itu sebabnya Bank Indonesia memasukkan Bank Persyarikatan dalam unit pengawasan khusus. Manajemen bank ini diberi waktu tiga bulan untuk menambah modal dan memperbaiki kinerjanya. Bila gagal, Bank Indonesia bisa memberi perpanjangan waktu maksimum tiga bulan lagi sebelum mengirim bank bersangkutan ke kamar beku. "Sekarang BI masih memberi mereka kesempatan mencari investor," ujar Gubernur BI Burhanuddin Abdullah kepada Yandi Rofiyandi dari Tempo.
Karena itulah, sebagai pemegang saham, ketujuh tokoh teras Muhammadiyah mesti ikut menyetor modal tambahan agar Persyarikatan pulih. Tapi, melihat latar belakang pekerjaan mereka sebagai dosen, pegawai negeri, dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat, kocek mereka agaknya terlalu tipis untuk bisa mengganjal Bank Persyarikatan. "Pemegang saham tak punya duit untuk menyuntik modal," ujar Hajriyanto Y. Thohari, salah satu pemegang saham yang menjadi Komisaris Utama Bank Persyarikatan. Maka, pilihan yang tersisa adalah mencari investor untuk ikut memodali Persyarikatan.
Soal mencari modal tambahan inilah yang kini jadi masalah besar. Sebelum kasus ini mencuat, ada investor yang bersedia menyuntikkan modal, yakni Adli Ariff (AA) Corporation. Perusahaan Malaysia ini pada 27 Mei 2004 menempatkan dana Rp 20 miliar ke rekening penampungan (escrow account). Selanjutnya, AA Corporation menambah Rp 6,4 miliar di rekening yang sama, dan Rp 4,3 miliar lagi dalam bentuk deposito. Suntikan Rp 30,7 miliar itu akhirnya membuat CAR Persyarikatan kembali terdongkrak.
Sayangnya, belakangan AA Corporation membatalkan niatnya masuk ke Bank Persyarikatan. Hal itu tertuang dalam suratnya tertanggal 22 Juli 2004 yang ditujukan ke Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah dan pengelola Bank Persyarikatan. Din Syamsuddin, Wakil Ketua PP Muhammadiyah yang menjadi Ketua Tim Asistensi Penyelamatan Bank Persyarikatan, mengatakan mundurnya calon investor itu karena, "diteror oleh mitra usaha Muhammadiyah." Benarkah?
Surat pengunduran diri AA Corporation yang diperoleh Tempo memperlihatkan alasan pembatalan ternyata didasarkan pada hasil uji tuntas (due diligence) perusahaan ini di Persyarikatan. Di sana disebutkan, "Kredit seret (non-performing loan/NPL) yang tinggi, tekanan likuiditas yang sangat berat, serta masalah-masalah legal yang mengandung potensi kerugian yang tinggi," sebagai penyebab batalnya AA Corporation masuk ke Bank Persyarikatan.
Seiring pernyataan mundur, AA Corporation meminta agar dananya yang ditempatkan di rekening penampungan dipindahkan ke tabungan. Sejak itu CAR Bank Persyarikatan kembali terjun bebas. Dalam suratnya kepada pengelola Bank Persyarikatan tertanggal 27 September 2004, Direktur Pengawasan Bank I Bank Indonesia, Sabar Anton Tarihoran, mengingatkan pemindahan dana ke rekening tabungan telah membuat CAR Bank Persyarikatan berada di bawah ketentuan BI. Berapa persisnya?
Tak ada yang tahu. Dradjad Wibowo, anggota DPR dari Partai Amanat Nasional (PAN), mengatakan aset bermasalah di Bank Persyarikatan kira-kira mencapai Rp 300 miliar-400 miliar. Adapun tentang CAR, menurut Dradjad, sumbernya mengatakan, "sudah kembali minus." Pernyataan Dradjad yang tanpa tedeng aling-aling itu membuat gerah pengelola Bank Persyarikatan dan petinggi Muhammadiyah.
Hajriyanto, yang juga anggota DPR dari Partai Golkar, sangat menyayangkan ucapan Dradjad. "Sebagai ekonom, mestinya dia tahu dampaknya terhadap bank," katanya. Senada dengan itu, Din menuding pernyataan Dradjad sangat merugikan bank. Padahal, kata Din, Dradjad dicalonkan PAN, yang berbasis Muhammadiyah. "Dia itu sosok yang tak tahu balas budi," ujarnya pedas lewat Yandi dari Tempo. Dradjad sendiri enggan menanggapi tudingan Hajriyanto dan Din. "Saya hanya tidak ingin Muhammadiyah terseret kasus ini," katanya.
Tapi kegusaran Din tak menolong Bank Persyarikatan sembuh dari penyakitnya. Bahkan kesehatan bank itu sekarang makin terengah-engah. Tak cuma CAR yang jebol, likuiditas pun kini semakin seret. Dari Surabaya, mulai terdengar kabar ada sejumlah nasabah yang berteriak tak bisa mencairkan deposito yang sudah jatuh tempo.
Tempo juga memperoleh surat teguran Adli Ariff kepada manajemen Bank Persyarikatan dua pekan lalu. Soalnya, bank itu wanprestasi memindahkan tabungan AA Corporation ke rekeningnya di Bank Internasional Indonesia (BII) cabang Kelapa Gading. Semula manajemen Bank Persyarikatan berjanji mencairkan dana dengan jadwal November-Desember 2004 sebesar Rp 50 juta per hari. Kemudian, Januari-Maret 2005 Rp 75 juta per hari, dan mulai April 2005 hingga lunas Rp 100 juta per hari.
Kenyataannya, Bank Persyarikatan hanya memindahkan dana Rp 50 juta selama 16 hari sampai 30 November 2004. Jadi, dari Rp 30,7 miliar dana milik AA Corporation, baru Rp 800 juta yang telah berpindah rekening. Setelah itu terhenti total alias macet. Direktur Utama Bank Persyarikatan, Suhaji Lestiadi, dalam surat balasannya mengaku kondisi likuiditas banknya belum memungkinkan pembayaran tersebut. Ia hanya menjanjikan akan kembali mencairkan angsuran bila sudah ada investor yang menyetor dana.
Melihat kondisi itu, Din dan Hajriyanto harus bekerja lebih keras mencari investor baru. Sejauh ini baru Bank Bukopin yang menunjukkan minat. Bank yang sebagian besar sahamnya dimiliki koperasi-koperasi itu malah sudah melakukan uji tuntas untuk mengetahui isi perut Bank Persyarikatan. Namun, agaknya bukan Bank Persyarikatan benar yang memancing selera Bank Bukopin. Direktur Utama Bank Bukopin, Sofyan Basir, berterus terang ia lebih melihat potensi karena di sana ada Muhammadiyah. Organisasi ini dikenal memiliki sejumlah unit bisnis seperti rumah sakit dan universitas.
Dan dua pekan lalu Din dan Hajriyanto melayangkan surat kepada Bank Bukopin dalam kapasitas sebagai Wakil Ketua dan Wakil Sekretaris PP Muhammadiyah. Surat resmi berkop PP Muhammadiyah itu intinya berisi persetujuan Muhammadiyah untuk ikut menyetor modal Rp 50 miliar di Bank Persyarikatan. Juga jaminan bahwa secara bertahap seluruh amal usaha Muhammadiyah akan menggunakan jasa perbankan yang terdapat di Bank Persyarikatan atau Bukopin.
Munculnya surat itu memancing tanggapan keras kalangan Muhammadiyah. Rektor Universitas Muhammadiyah Solo (UMS), Dochak Latief, sontak menepis kemungkinan pihaknya dalam waktu dekat menyetor dana ke Bank Persyarikatan. "Dana yang dimiliki UMS terbatas," ujarnya, "lagi pula hanya kalangan tertentu di Muhammadiyah yang mengetahui masalah Bank Persyarikatan."
Senada dengan Dochak, Ketua Majelis Kesehatan Muhammadiyah Solo, Abdul Rozak Rais, mengatakan Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Solo yang ia kelola tak akan cawe-cawe di Bank Persyarikatan. "Kalau ada orang yang minta agar Muhammadiyah ikut cawe-cawe di sana, itu namanya mereka mau ndompleng," ujarnya. Lagi pula, bagi organisasi sosial keagamaan seperti Muhammadiyah, duit Rp 50 miliar terang sangat besar—ratusan sekolah dan rumah sakit bisa dibangun dengan dana sebesar itu.
Gong penolakan atas rencana menyelamatkan Bank Persyarikatan adalah surat Amien Rais itu. Sesuai dengan wataknya, dengan lugas Amien meminta agar rencana mencari investor dibatalkan dan menyarankan agar Bank Persyarikatan ditutup saja. Tak lupa ia mengingatkan bahwa PP Muhammadiyah bukan pemilik amal usaha Muhammadiyah. "Jadi," tuturnya, "bagaimana mungkin mereka bisa menjamin amal usaha Muhammadiyah akan menempatkan dananya di sana." Dan lagi, kata Amien, ada banyak cerita kelam di balik masalah yang mendera Persyarikatan.
Tak bisa dimungkiri, sejumlah pengurus PP Muhammadiyah yang terlibat di Bank Persyarikatan seperti orang yang terkena pulut tanpa menikmati nangkanya. Merosotnya kesehatan Bank Persyarikatan hampir dipastikan terkait dengan perilaku manajemen lama yang sembrono. Direktur Unit Khusus Investasi Perbankan (UKIP) Bank Indonesia, Bachri Ansjori, tegas menunjuk bekas Direktur Utama Bank Swansarindo Internasional, Lulu Lutfi Harsono, yang belakangan menjadi penasihat senior Bank Persyarikatan, sebagai biang keladi.
Bachri bahkan menengarai telah terjadi praktek pidana perbankan. Bentuknya berupa penerbitan surat berharga dan penyaluran kredit fiktif. Korbannya adalah Pertamina Saving Investment (PSI). Pada 2002, PSI membeli negotiable certificate deposit (NCD) senilai Rp 60 miliar yang diterbitkan Bank Swansarindo melalui Bapindo Bumi Sekuritas. NCD tersebut ternyata palsu dan ditandatangani orang yang tak berhak.
Kejadian serupa menimpa Bank BNI cabang Halim, yang tertipu NCD senilai Rp 50 miliar. Kasus ini, menurut Bachri, masih dalam pemeriksaan timnya. Tapi indikasi pelakunya mengarah ke Lulu, bankir yang bulan lalu wafat di Singapura. "Meninggalnya Lulu menyulitkan kami mengungkap kasus ini," ujarnya. Kini, tinggallah tujuh pengurus PP Muhammadiyah yang pontang-panting menyelamatkan Persyarikatan.
Nugroho Dewanto, Stepanus S. Kurniawan, M. Syakur Usman, Imron Rosyid (Solo)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo