Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Panci dan Penggorengan di Bundaran HI

Konsumen memprotes kenaikan elpiji yang kelewat tinggi. Pertamina memanfaatkan pasar yang masih monopolistik.

27 Desember 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perayaan Hari Ibu tahun ini dilalui dalam suasana keprihatinan. Kaum ibu yang mestinya mendapat kado menggembirakan justru beroleh hadiah istimewa dari Pertamina berupa kenaikan harga elpiji. Pertamina menaikkan harga gas dalam tabung atawa liquefied petroleum gas (elpiji) 40 persen mulai Senin pekan lalu dari Rp 3.000 per kilogram menjadi Rp 4.250. Akibatnya, harga eceran elpiji ukuran 12 kg yang biasa dibeli Rp 38 ribu, melonjak menjadi Rp 51 ribu.

Ibu-ibu memang yang paling terkena dampak kenaikan ini. Dari konsumsi nasional 1,2 juta ton, konsumen terbesar elpiji adalah rumah tangga (60 persen). Sisanya adalah hotel dan restoran (40 persen). Sebagai konsumen terbesar, kaum ibu yang mengurus keperluan rumah tangga sehari-hari menjadi pihak yang paling merasakan dampaknya. Karena itu, wajar saja bila mereka paling terpukul akibat kenaikan ini. Seperti "curhat"-nya Ny. Chusni, ibu tiga anak, warga Serpong, Tangerang.

Menurut Ny. Chusni, kenaikan elpiji kali ini sangat tinggi. Apalagi harga sembilan bahan pokok (sembako) sebelumnya juga naik. Kenaikan yang tidak wajar ini membuatnya terpaksa memangkas uang tabungan si bungsu. Tak ada pilihan lain. Mengurangi biaya lain seperti uang saku atau mengganti susu yang lebih murah juga tak mungkin. "Kasihan anak-anak," kata ibu yang juga berprofesi sebagai guru TK Putri Kembar V, prihatin.

Keprihatinan juga dialami Ny. Ningsih yang tinggal di bilangan Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Ibu dua anak ini terpaksa menghemat belanja dapurnya dengan menyisihkan Rp 1.000 per hari. Duit itu nantinya digunakan untuk menambah biaya elpiji. "Karena biasanya elpiji saya habis pas tanggal cekak," kata ibu rumah tangga yang menghabiskan satu tabung 12 kg dalam tempo 40 hari.

Tak mengagetkan jika banyak protes dilontarkan kepada pemerintah. Lembaga swadaya masyarakat Rakyat Miskin Kota di Bundaran HI, Rabu pekan lalu, dalam demo yang banyak diikuti kaum ibu ini meminta pemerintah menurunkan harga elpiji dan menolak rencana kenaikan harga BBM awal tahun depan. Menggandeng pemain sinetron Rieke "Oneng" Dyah Pitaloka, mereka memprotes sambil memukul alat-alat masak seperti panci dan wajan. Unjuk rasa juga dilancarkan para mahasiswa.

Meski tidak senyaring kaum ibu, pedagang makanan yang banyak memakai elpiji ikut mengeluh. Mereka mengaku tak punya alternatif selain memanfaatkan elpiji. Selain praktis, tingkatan suhu elpiji yang tinggi mempercepat proses memasak. Mas Yoyo, misalnya, pedagang martabak telor yang mangkal di Jalan Raya Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Gara-gara kenaikan itu, ia pun terpaksa berencana menaikkan harga jualnya Rp 1.000 per porsi. Setiap pekan ia menghabiskan dua elpiji ukuran 12 kg.

Konsumen industri seperti hotel dan restoran juga kesulitan menyesuaikan diri dengan kenaikan sebesar itu. Hotel Sahid, misalnya, mengeluarkan Rp 200 juta untuk elpiji. Manajer Humas Hotel Sahid Jaya Ayu Ningsih mengatakan, kenaikan harga elpiji dikhawatirkan merembet ke biaya lainnya, terutama biaya restoran yang biasanya dijual satu paket dengan layanan hotel. Karena itu, manajemen hotel keluarga Sukamdani ini melakukan banyak siasat penghematan. "Pemasukan kami kan pasti, tapi kalau pengeluaran tak terkontrol berbahaya."

Toh, manajemen masih enggan menaikkan tarif hotelnya dalam waktu dekat, meski terbuka kemungkinan kebijakan tarif baru dilakukan pada tahun depan. "Hanya penyesuaian saja atas kenaikan elpiji," kata Ayu Ningsih kepada Maria Ulfah dari Tempo.

Sikap hati-hati justru ditunjukkan Hotel Ibis Slipi, Jakarta Barat. Hotel yang masuk dalam kelompok Accor ini dalam rencana kerja 2005 menyatakan belum akan menaikkan tarifnya hingga Maret. Padahal, setiap bulan hotel ini menghabiskan 2.700 hingga 3.000 kg elpiji hanya untuk keperluan dapur. "Kenaikan elpiji 40 persen membuat biaya operasi naik menjadi Rp 12,75 juta dari Rp 9 juta," ujar Agung Nurahman Setiadi, Kepala Bagian Engineering.

Efek "penyesuaian harga" ini kelihatannya menjadi niscaya dalam waktu tak lama. Restoran Ny. Suharti, misalnya, memastikan menaikkan harga menunya. Setiap pekan, restoran spesialis menu ayam ini menghabiskan dua tabung ukuran 12 kg. "Berapa persen kenaikannya belum ditentukan," ujar penyelia Ny. Suharti cabang Rawamangun, Karyono.

Restoran Wong Solo pun mengambil strategi serupa. Menurut Store Manager Yulianto Bagus Eko Priono, kenaikan 40 persen sangat berpengaruh lantaran elpiji menjadi bahan bakar utama. Dalam satu hari restoran ini membutuhkan 10 tabung. "Kami akan evaluasi dulu sebelum menaikkan harga."

Di Batam, harga elpiji ditetapkan paling mahal Rp 4.800 per kilogram. Pengelola restoran di sana sudah menaikkan harga jual makanan dan minuman. Ati, seorang pedagang di Pujasera A1, Nagoya, Batam, berkisah, jus buah yang biasanya dijual Rp 8.000 per gelas menjadi Rp 10 ribu. Untuk makanan, menu ikan kukus yang semula Rp 60 ribu per porsi menjadi Rp 95 ribu. "Kami naikkan supaya tidak rugi," katanya. Di Batam, pengelola restoran dan kantin memang sudah berani menaikkan harga.

Siasat menarik dicoba PT Ecogreen Eleochemicals di Batam. Supaya biaya makan karyawannya tidak naik, pabrik alkohol ini akan memberikan subsidi dengan cara memberikan gratis elpiji kepada pengelola kantin perusahaan. Tujuannya agar biaya makan karyawan tidak naik, yang tentu bisa merembet pada permintaan kenaikan gaji. "Jangan sampai layanan terhenti," kata Antonius Muhatoyo, HR & GA Manager Ecogreen.

Menurut dia, perusahaannya sendiri tidak terlalu terpengaruh oleh kenaikan elpiji, sebab energi itu dibeli dengan dolar Singapura.

Pemerintah sendiri memang menyerahkan kebijakan harga elpiji kepada Pertamina lantaran elpiji bukan produk subsidi seperti minyak tanah. Produk ini juga bersifat komersial, karena itu harganya menganut mekanisme pasar. Jadi, maklum saja bila Pertamina mendasari harga jual elpiji di pasar domestik dengan harga Saudi Contract Price (CP) yang mendasari harga elpiji dunia. Apalagi, 30 persen kebutuhan elpiji di Tanah Air dibeli dengan harga dunia. "Jadi, kalau harga dunia turun, ya harga jual kami juga turun," kata Direktur Pemasaran dan Niaga Arie H. Sumarno.

Skema ini tak sepatutnya diambil ketika pasar masih dikuasai penjual tunggal. Menurut pengamat migas, Kurtubi, dalam kondisi pasar yang cenderung monopolistik ini, kebijakan harga mestinya dilakukan pemerintah. Apalagi, Mahkamah Konstitusi memutuskan amendemen Pasal 28 UU Migas Nomor 22/2001 yang mengatur penentuan harga jual BBM dan gas bumi menurut mekanisme pasar. "Pemerintah biasanya mempertimbangkan daya beli masyarakat, sedangkan pemain maunya untung melulu," katanya.

Pemerintah tampaknya mulai sadar dengan peran itu. Menurut Direktur Pengolahan dan Niaga Migas Departemen Energi Erie Soedarmo, pemerintah tidak akan melepas harga BBM menurut mekanisme pasar begitu saja. Pemerintah akan menetapkan harga BBM berdasarkan pertimbangan keekonomian dan daya beli masyarakat. Pemerintah akan meniru kebijakan pemerintah Malaysia dalam hal penentuan harga.

Tapi kebijakan ini hanya diterapkan atas BBM yang masih diatur pemerintah. Produk elpiji atau bensin tanpa timbal Pertamaxplus di luar skema ini, kecuali ada kebijakan baru pemerintah. "Pemerintah Malaysia menentukan harga jual BBM menurut pasar. Tetapi dengan mempertimbangkan daya beli masyarakat, pemerintah menentukan harga jual lebih murah. Selisihnya disubsidi pemerintah," kata Erie.

Di negeri jiran itu, pemerintah mensubsidi dua jenis BBM: elpiji dan solar. Khusus elpiji, pemerintah Malaysia bersama-sama pemain menentukan harga pasar elpiji Rp 4.668 per kg. Tapi, pemerintah mematok harga jualnya Rp 3.000. Sisanya, Rp 1.668, disubsidi pemerintah. Tapi subsidi ini hanya berlaku untuk konsumen rumah tangga. Konsumen industri dikenakan harga pasar. Karena itu meski disubsidi, pasar elpiji Malaysia disesaki banyak pemain: Petronas pangsa pasarnya 42,2 persen, Shell (25,1 persen), Esso (14,3 persen), BP (10,9 persen), ExxonMobil (4,8 persen), dan pemain lain (2,7 persen). Tahun lalu, pemerintah Malaysia memberi subsidi BBM dan elpiji RM 1,6 miliar (setara dengan Rp 3,6 triliun).

Negara-negara di ASEAN lainnya juga memakai skema yang mirip dengan Malaysia. Thailand, misalnya, yang konsumsi elpijinya terbesar di kawasan ini?1,8 juta ton per tahun?pemerintahnya hanya mensubsidi elpiji, sedangkan BBM tidak. Subsidi diberikan pada biaya transportasi darat dan distribusi ke Thailand Utara dan Selatan. Nilainya Rp 401-669 per kilogram. Harga jual elpiji di sana Rp 4.011 per kg. Di ASEAN, hanya Singapura yang menerapkan prinsip mekanisme pasar murni alias tanpa subsidi.

Jadi, semua diserahkan pemerintah Indonesia. Mau memakai skema apa dan ingin mensubsidi jenis BBM apa. Yang jelas, sudah saatnya Indonesia memanfaatkan lebih banyak energi yang ramah lingkungan dan masih banyak cadangannya, yakni gas bumi, entah berupa elpiji atau melalui pipa. Dengan harga yang terlalu tinggi, bisa-bisa orang beralih kembali ke kompor minyak tanah. Ujung-ujungnya, pemerintah juga yang bakal kerepotan karena konsumsi minyak tanah bakal membengkak. Dan itu artinya subsidi bakal meningkat.

M. Syakur Usman, Mawar Kusuma, Rumbadi Dalle

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus