Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Pada 21 Agustus 1998, Pemerintah Indonesia mengumumkan rencana untuk menasionalisasi Bank Central Asia (BCA), bank swasta terbesar di Indonesia, sebagai bagian dari upaya restrukturisasi sektor perbankan. BCA, yang didirikan pada 21 Februari 1957, sebelumnya merupakan bagian dari Salim Group.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PT Bank Central Asia Tbk didirikan pada 10 Agustus 1955 dengan nama NV Perseroan Dagang dan Industrie Semarang Knitting Factory, yang awalnya bergerak di bidang tekstil di Semarang. Perusahaan ini kemudian beralih menjadi bank pada 12 Oktober 1956 dengan nama NV Bank Asia, yang selanjutnya berubah menjadi Central Bank Asia pada 13 Februari 1957, dan akhirnya menjadi NV Bank Centraal Asia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada 2 September 1975, nama NV Bank diubah menjadi PT Bank Central Asia (BCA), yang mulai memperluas jaringan cabangnya melalui merger dengan bank lain. Salah satu merger penting adalah dengan Bank Gemari, milik Yayasan Kesejahteraan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, yang membuat BCA menjadi Bank Devisa pada 1997.
Status baru ini dimanfaatkan oleh BCA untuk mengembangkan usahanya lebih jauh dengan mengajukan izin kepada Bank Indonesia untuk mengeluarkan dan mengedarkan kartu kredit BCA yang dapat digunakan secara internasional.
Kilas balik nasionalisasi bank BCA
Kepemilikan Salim Group atas Bank BCA harus berakhir pada akhir 1990-an akibat berbagai krisis. Tanda-tanda kejatuhan ini sudah mulai terlihat pada akhir 1997. Ketika krisis moneter atau finansial Asia 1997 mulai melanda Indonesia, pada 14 November 1997, tepat dua minggu setelah likuidasi 16 bank, beredar rumor dari Medan bahwa Liem Sioe Liong, pengendali BCA, telah meninggal dunia dan bahwa cabang BCA di Singapura ditutup.
Akibatnya, masyarakat yang masih trauma akibat likuidasi bank sebelumnya, bergegas menyerbu cabang-cabang BCA untuk menarik dana mereka, menyebabkan terjadinya bank run sebesar Rp 500 miliar. Untuk membantah rumor tersebut, Liem, yang saat itu berada di Singapura, kembali ke Jakarta dan tampil dalam peluncuran produk baru Indomobil. Ia muncul di televisi untuk meyakinkan masyarakat bahwa ia dalam kondisi sehat.
Setelah rumor itu reda, Salim Group mulai merencanakan konsolidasi bank untuk menghadapi krisis moneter. Pada hari yang sama ketika rumor palsu tentang kematian Liem beredar, putranya, Anthony, menyepakati pembelian 19 persen saham Bank Danamon dengan rencana meningkatkan kepemilikan guna menyehatkan keuangan bank tersebut. Ada juga pembicaraan tentang kemungkinan merger antara BCA dengan beberapa anak perusahaannya di sektor perbankan, seperti Bank Windu Kentjana, Bank Multicor, Bank Risjad Salim Internasional, dan Bank Yama.
Namun, rencana ini tidak pernah terwujud, dan upaya untuk meningkatkan kepemilikan saham di Bank Danamon terpaksa dibatalkan karena bank tersebut mengalami masalah likuiditas dan harus diambil alih oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) pada April 1998.
Citra BCA sebagai bank kuat akhirnya hancur bersamaan dengan jatuhnya Presiden Soeharto pada Mei 1998, yang merupakan sekutu dekat Liem. Kerusuhan Mei 1998 mengakibatkan banyak cabang BCA dirusak, dibakar, dan dijarah—diperkirakan sebanyak 122 cabang dan 150 ATM rusak, dengan kerugian mencapai Rp 3 miliar.
Tak lama setelah itu, BCA mengalami gelombang penarikan dana besar-besaran (rush) kedua yang lebih dahsyat daripada yang terjadi pada November 1997, dimulai pada 18 Mei dan semakin membesar sejak 21 Mei 1998. Dalam beberapa hari, 12 persen dari simpanan BCA ditarik secara massal oleh nasabahnya.
Akhirnya, pada 28 Mei 1998, pemerintah mengambil alih kendali BCA sebagai Bank Take Over (BTO). Sebelumnya, sejak 25 Mei, BCA telah ditempatkan di bawah pengawasan BPPN sebagai bank dalam penyehatan. Liem merasa pengambilalihan tersebut tidak adil karena mereka tidak diberikan kesempatan untuk menyelamatkan aset penting mereka.
Namun, pengambilalihan oleh pemerintah ini berhasil memulihkan kepercayaan nasabah terhadap BCA. Pada Desember 1998, dana pihak ketiga telah kembali ke tingkat sebelum krisis, dan asetnya mencapai Rp 67,93 triliun, lebih tinggi dibandingkan dengan Desember 1997 yang sebesar Rp 53,36 triliun.
SUKMA KANTHI NURANI | VIVIA AGARTA FEBRIANTI
Pilihan Editor: 4 Cara Melihat Mutasi Rekening BCA Levih dari 3 Bulan