Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI) mencatat sebanyak 60 perusahaan tutup dan 200 ribu karyawan terkena PHK dalam dua tahun terakhir.
Anjloknya permintaan baru dan merosotnya produksi menjadi biang kerok lesunya industri manufaktur.
Kinerja manufaktur masih lesu karena pasar Indonesia masih dibanjiri produk impor.
TAHUN ini industri manufaktur masih mengalami guncangan besar. Industri padat karya, seperti tekstil, alas kaki, dan garmen, merupakan sektor yang paling banyak melakukan pemutusan hubungan kerja. Puluhan perusahaan pun gulung tikar.
Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI) mencatat sebanyak 60 perusahaan tutup dan 200 ribu karyawan terkena PHK dalam dua tahun terakhir. Desember ini pun ada dua perusahaan yang divonis pailit.
Menurut Ketua Umum APSyFI Redma Gita Wirawasta, anjloknya permintaan baru dan merosotnya produksi menjadi biang kerok lesunya kinerja industri manufaktur. Ditambah tren minimnya investasi yang terjadi di hampir semua sektor manufaktur membuat pelaku usaha khawatir badai PHK masih berlanjut pada tahun depan. "Ini kan kondisinya makin parah. Sektor manufaktur lain, seperti elektronik, mainan, komponen otomotif, dan baja, juga saya kira hampir sama," ujarnya kepada Tempo, Senin, 30 Desember 2024.
Data Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal menunjukkan realisasi investasi pada triwulan III 2024 mengalami perlambatan. Pada kuartal III 2024, realisasi investasi tercatat tumbuh 15,24 persen (year-on-year/YOY), sedangkan pada kuartal III 2023 tumbuh 21,60 persen YOY.
Merosotnya aktivitas ekonomi di industri padat karya ini juga terlihat dari Purchasing Manager's Index (PMI) sektor manufaktur yang cenderung menurun. Lembaga pemeringkat kredit, S&P Global Market, melaporkan, pada Januari 2024, PMI manufaktur berada di posisi 52,9. Sedangkan data terakhir pada November 2024 menunjukkan angkanya jatuh ke level 49,6. Pada Agustus 2024, PMI manufaktur Indonesia bahkan menyentuh angka terendah dalam tiga tahun terakhir, yaitu 48,9.
Redma menuturkan sektor padat karya sangat memerlukan jaminan pasar domestik agar bisa pulih. Pasalnya, pasar ekspor saat ini sedang menghadapi berbagai kendala, seperti geopolitik dan perang dagang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut dia, tingginya tingkat impor, termasuk impor ilegal, membuat pasar domestik makin tertekan. Selama praktik impor ilegal ini tidak dihentikan, menurut Redma, sektor padat karya, khususnya manufaktur, akan terus menghadapi tekanan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selain itu, Redma menyoroti isu harga gas yang masih terlalu tinggi. Menurut dia, harga gas di Tanah Air seharusnya bisa berada di kisaran US$ 4 per MMBTU, yang setara dengan Vietnam, atau minimal US$ 6 per MMBTU seperti di India. Harga gas yang lebih rendah akan memberikan dampak domino, terutama di sektor hulu, dengan bahan baku yang lebih kompetitif. Hal ini juga menjadi salah satu prasyarat yang diminta oleh Taiwan Textiles Federation (TTF) untuk merelokasi pabrik mereka dari Cina.
Selain adanya kepastian pasar domestik, kalangan pengusaha berharap pemerintah dapat memberlakukan kebijakan yang mendorong keberlanjutan usaha. Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia atau Apindo Shinta Kamdani merekomendasikan penyederhanaan regulasi serta peningkatan koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah.
Di sisi lain, Shinta menilai insentif yang diberikan pemerintah, seperti kredit investasi padat karya dan pajak penghasilan (PPh) Pasal 21 ditanggung pemerintah (DTP), tidak cukup untuk membuat industri manufaktur bangkit. Terlebih, pada 2025, pelaku usaha juga akan menghadapi kenaikan upah minimum 2025 dan pajak pertambahan nilai (PPN) 12 persen. Karena itu, dia meminta pemerintah turut menurunkan tarif PPh badan yang saat ini sebesar 22 persen. Dengan demikian, beban industri padat karya dapat berkurang pada tahun depan.
Shinta berharap pemerintah bisa memberikan insentif yang kompetitif guna mendorong pertumbuhan investasi di sektor industri padat karya. Dia berujar, sinergi antara pemerintah dan pelaku usaha akan meningkatkan daya saing ekonomi Indonesia, menciptakan iklim usaha yang kondusif, serta mendukung stabilitas ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.
Aktivitas pekerja saat proses produksi kain di PT Trisula Textile Industries di Cimahi, Jawa Barat, Maret 2023. ANTARA/Raisan Al Farisi
Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance, Dzulfian Syafrian, berpendapat sinergi antara sektor usaha dan pemerintah menjadi kunci untuk menjaga daya saing sekaligus mengurangi risiko PHK pada sektor ini. Pasalnya, ia menilai industri padat karya di Indonesia sedang menghadapi tekanan dari eksternal ataupun internal.
Dari sisi eksternal, ia mengatakan beberapa negara berkembang, seperti Bangladesh dan Kamboja, berhasil mengungguli Indonesia dalam sektor ini. Sedangkan dari sisi internal, kenaikan upah minimum yang ditetapkan tidak diimbangi oleh peningkatan produktivitas. "Ini merupakan bom waktu bagi industri ini karena akan menggerus daya saing Indonesia di kancah global," ucap Dzulfian.
Untuk mengatasi masalah ini, menurut dia, langkah strategis yang mendesak meliputi relokasi produksi ke wilayah dengan upah kompetitif. Upaya itu juga perlu didukung dengan infrastruktur memadai, peningkatan produktivitas tenaga kerja melalui upskilling serta reskilling, penyederhanaan regulasi, dan stabilitas nilai tukar.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal mengimbuhkan, pemerintah dapat mengarahkan relokasi industri ke daerah dengan tingkat upah yang lebih rendah, seperti ke Jawa Tengah. Langkah ini dilakukan bersamaan dengan upaya meningkatkan kualitas infrastruktur, logistik, dan akses ke pelabuhan di wilayah tersebut.
Selain itu, ia menekankan pemerintah perlu meningkatkan daya beli kelas menengah melalui kebijakan ekonomi yang mendukung konsumsi domestik sehingga industri padat karya dapat memiliki pasar yang lebih stabil dan kompetitif. Faisal juga menyarankan pemerintah mengendalikan masuknya barang impor murah yang menjadi biang kerok persoalan ini. Hal itu dapat dilakukan melalui penerapan kebijakan pengawasan yang ketat, pengenaan tarif masuk, tindakan anti-dumping, dan pengamanan terhadap barang ilegal.
Menteri Perindustrian Agus Gumiwang tak menampik bahwa kinerja manufaktur masih lesu pada tahun ini karena pasar Indonesia masih dibanjiri produk impor. Menurut dia, permintaan dalam negeri telah memadai, tapi tidak sebanding dengan pasokan barang impor.
Politikus Partai Golkar itu mengatakan kebijakan untuk mengendalikan masuknya barang impor ke Indonesia masih dibutuhkan. Juga regulasi pendukung untuk segera memacu industri padat karya, khususnya manufaktur, agar kembali ke level ekspansi.
Selain itu, Kementerian Perindustrian sedang mendorong rancangan peraturan pemerintah tentang gas bumi untuk kebutuhan domestik. Agus menyebutkan pemerintah telah sepakat untuk mengatur penggunaan gas bumi bagi pelaku usaha manufaktur nasional. Ia berharap kebijakan ini memungkinkan semua industri memanfaatkan harga gas yang lebih terjangkau sehingga biaya operasional dapat ditekan dan beban industri padat karya berkurang. ●
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo