Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Ekonomi dalam Bingkai Pemilu 2004

Pemilihan Umum 2004 akan menentukan proses pemulihan ekonomi Indonesia. Jika sukses, pemulihan bisa dipercepat. Bila tidak, perekonomian akan terpuruk lebih dalam.

28 Desember 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tahun 2004 akan menjadi titik pe-nentu masa depan Indonesia. Di negeri ribuan pulau ini, untuk pertama kali akan digelar pemilihan umum dua tahap. Tahap pertama, pemilihan anggota parlemen (April 2004), untuk kemudian disusul pemilihan presiden-wakil presiden (Juni 2004). Yang membuat peristiwa politik itu menjadi sangat istimewa adalah bahwa presiden-wakil presiden dipilih rakyat secara langsung, tanpa melalui Majelis Permusyawaratan Rakyat. Dengan demikian, legitimasi kepala pemerintahan menjadi sangat kukuh, dalam arti ia tidak mudah bisa dijatuhkan. Kemantapan itu akan membuat lembaga eksekutif jauh lebih superior ketimbang para pendahulunya. Bukan mustahil, posisi presiden yang tak tergoyahkan itu membuat para calon presiden memperebutkan kursi RI-1 habis-habisan sehingga tidak menghiraukan dampak negatifnya terhadap perekonomian negeri ini. Karena itu, bersiap-siaplah menghadapi yang terburuk: ekses dari money politics yang berujung pada ketidakstabilan politik. Yang juga perlu diingat adalah bahwa seluruh proses pemilihan presiden-wakil presiden akan memakan waktu enam bulan. Selama periode itu, perekonomian Indonesia bakal rentan karena berbagai gangguan. Minimal terjadi bentrokan antarpendukung partai. Bisa juga aktivitas parlemen dan pemerintah menurun drastis. Akibatnya, tidak ada terobosan baru. Lalu terjadi semacam status quo dan perekonomian dipaksa menunggu. Tahun ini saja, terjadi kontak fisik yang lumayan besar di Magelang, Jawa Tengah, dan Buleleng, Bali. Dua orang tewas di Bali, dan kantor Golkar dirusak. Meskipun dua bentrokan itu bisa diatasi, toh dikhawatirkan hal-hal seperti itu bisa terulang di saat-saat menjelang dan selama pemilihan umum (pemilu) berlangsung. Belum lagi pengalaman pasca-pemilu, seperti ketika Megawati gagal jadi presiden padahal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan menjadi pemenang Pemilu 1999. Waktu itu massa pendukung Mega mengamuk di sejumlah kota. Bahkan, di Surakarta, gedung Balai Kota dibakar. Ekonom Citibank, Anton Gunawan, ternyata tidak yakin bahwa bentrokan dan amuk massa akan kembali terjadi. Dalam pandangannya, partai-partai besar yang berpeluang menang pemilu pasti berusaha keras mengendalikan pendukungnya. Apalagi, pemilu tahun depan menjadi gelanggang untuk menjajal eksekutif. "Saya kira partai-partai besar tak ingin kehilangan momentum penting ini," katanya. Menurut Anton, kalaupun terjadi bentrokan, skalanya tak akan terlalu besar dan pengaruhnya terhadap perekonomian tidak signifikan. Anton memberikan contoh ketika pendukung Abdurrahman Wahid mengamuk di Jawa Timur dan mengancam akan menyerbu Jakarta pada kuartal pertama 2001. Ketika itu rupiah memang bergejolak, terjun bebas sekitar 20 persen menjadi Rp 11.000-an per dolar AS. Namun, pemerintah bisa mengatasi masalah itu sehingga tak berkepanjangan. "Asal gejolaknya tidak berlangsung lama, efeknya ke perekonomian juga tidak akan terlalu besar," kata Anton. Dia juga mencontohkan kasus bom Marriott. Efeknya terhadap perekonomian tak sebesar ketika bom meledak di Kuta, Bali. "Kita sudah banyak belajar dari pengalaman," ujarnya. Dan lagi, kalaupun terjadi gejolak selama pemilu, Indonesia sudah punya modal yang lumayan. Perekonomian Indonesia pada tahun 2003 cukup stabil. Beberapa indikator makroekonomi membaik secara signifikan. Pertumbuhan ekonomi diperkirakan mencapai 3,9 persen—naik dari 3,7 persen pada tahun 2002. Nilai tukar rupiah tampak kukuh di kisaran Rp 8.500 per dolar Amerika. Angka inflasi pun jauh di bawah tahun sebelumnya. Sampai November 2003, angka inflasi hanya 4,08 persen, sementara pada periode yang sama tahun sebelumnya 8,72 persen. Sedangkan inflasi tahunannya (year on year) cuma 5,33 persen—jauh lebih rendah dibanding tahun sebelumnya, yang di atas 10 persen. Dengan indikator makroekonomi secantik itu, seburuk-buruknya prospek ekonomi, toh, tidak akan ada yang mengatakan, "Ini negeri rawan." Namun, kenyataan yang dihadapi bukan tidak menakutkan. Lihat saja angka pengangguran yang meningkat. Bahwa Indonesia diam-diam "memelihara" jutaan penganggur, berarti juga Indonesia menyimpan bom waktu. Yang menyesakkan ialah, tingkat pengangguran terbuka tahun 2003 ini diperkirakan mencapai 10 juta jiwa—di atas sepuluh persen dari total tenaga kerja menganggur dan semi-menganggur. Pada akhir tahun 2004, tingkat pengangguran itu akan mendekati 11 persen. Berarti, dalam empat tahun saja, jumlah pengangguran terbuka naik hampir dua kali lipat menjadi sekitar 11 juta orang. Dan ini terjadi ketika pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2004 mengikuti target, yakni 4,5 persen. Wajarlah bila ekonom Martin Panggabean menyatakan bahwa pemilu akan menjadi faktor yang sangat krusial. Jika terjadi kerusuhan besar-besaran, pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah akan menciptakan tambahan pengangguran baru yang semakin besar. "Tapi, kalaupun hal itu terjadi, efeknya mungkin sekitar 10 persen. Ini berarti pertumbuhan kita akan kembali di bawah empat persen," kata Martin lagi. Martin mengingatkan bahwa, sekali jatuh, ekonomi Indonesia tak akan bangkit secepat negara lain. Masih ingat, bukan, ketika para pendukung Presiden Abdurrahman Wahid mengamuk pada tahun 2001? Waktu itu perekonomian langsung loyo. Pertumbuhan ekonomi pada tahun 2001 hanya 3,4 persen, padahal tahun sebelumnya sudah mencapai 4,9 persen. Sejak itu, harapan akan kebangkitan ekonomi yang besar pada tahun 2000 kontan sirna. Perekonomian Indonesia bahkan merangkak kembali dari bawah. "Efeknya sampai delapan kuartal," kata Martin. Baru pada dua kuartal terakhir, perekonomian Indonesia menunjukkan arah yang lebih baik. Indonesia sudah kembali ke jalurnya untuk bangkit kembali. Sayang jika momentum yang sudah bagus ini kembali ambruk. Meskipun begitu, Martin masih menaruh harapan bahwa Pemilu 2004 akan berjalan mulus. Dengan prediksi bahwa semua berjalan baik, baiklah dicuplik di sini pendapat dan perkiraan dari anggota DPR, Anton J. Supit. Menurut dia, dunia usaha memang tak terlalu khawatir dengan kerusuhan. Yang perlu dirisaukan adalah lamanya proses pemilihan umum sehingga aktivitas parlemen dan pemerintah untuk mengurus negara jauh menurun. Anton memastikan bahwa, sejak Januari 2004, sebagian besar anggota DPR akan disibukkan dengan urusan pencalonan dan kampanye untuk menang dalam pemilu. Pada saat yang sama, Presiden Megawati, Wakil Presiden Hamzah Haz, dan sejumlah menteri akan melakukan kampanye untuk partainya masing-masing. "Kalau sudah begitu, siapa yang mengurus negara?" tanya Anton Supit. Dalam keadaan demikian, tampaknya pemerintah tidak akan mengeluarkan kebijakan penting di bidang ekonom. Padahal, dunia usaha menantikan "terobosan" agar roda perekonomian bergerak cepat. Indonesia kini me- merlukan pertumbuhan sampai tujuh persen—bukan empat persen seperti tiga tahun terakhir. Di bidang investasi, misalnya, Bappenas mencatat sejumlah masalah krusial. Prosedur perizinan di negeri ini mencapai 168 hari—jauh lebih lama dibanding rata-rata negara Asia Timur, yang memerlukan "hanya" 66 hari. Selain itu, tumpang tindih urusan pusat dan daerah masih terus terjadi, terutama di sektor kehutanan dan pertambangan. Yang juga krusial adalah kurangnya kepastian hukum karena berlarut-larutnya perumusan RUU Pe- nanaman Modal. Selain itu, daerah-daerah potensial seperti Aceh dan Papua masih rawan; yang juga tidak mendukung adalah kurangnya insentif seperti pembebasan atau kelonggaran pajak. Jika tidak ada perubahan kebijakan di berbagai bidang tersebut, sulit mengharapkan investasi asing masuk ke Indonesia. Padahal, untuk memper- besar ekonomi, Indonesia sangat membutuhkan modal asing (FDI = foreign direct investment). Menurut Anton Supit, Indonesia memerlukan investasi di sektor infrastruktur sampai US$ 150 miliar dalam 10 tahun ke depan. Se- bagian besar dari dana itu tak mungkin dipenuhi oleh investor lokal. Yang juga tak kurang penting ialah, sejak krisis melanda Indonesia, arus investasi asing ke sini masih negatif. Bandingkan dengan Thailand dan Korea Selatan, yang sudah kembali ke titik sebelum badai ekonomi melanda Asia. Sialnya, untuk memperoleh porsi investasi yang kecil saja, kita mesti berebut dengan sejumlah negara lain. Apalagi kucuran investasi ke Asia pada 2004 diperkirakan hanya US$ 13,7 miliar, seperlima dari tahun sebelumnya. "Kita sudah tertinggal jauh dari Thailand atau Malaysia. Jika tidak ada terobosan, kita makin tertinggal," Anton melanjutkan. Sayang sekali, jawaban untuk meredam kerisauan itu tak mudah diperoleh. Kini, energi dan pikiran banyak pihak—termasuk para pengambil keputusan— terserap pada upaya untuk menang dalam pemilu. Pemerintah diperkirakan akan bersikap lebih murah hati—dalam arti tidak menaikkan harga BBM, tidak menggenjot kenaikan tarif, mengamankan suplai kebutuhan pokok, bahkan "memanjakan" rakyat dengan segala cara. Tapi, manakala pemilu sudah usai dan kemenangan ada dalam genggaman, "hadiah-hadiah" pun lenyap, berganti dengan kesulitan yang tak putus-putusnya. Kebijakan populis seperti ini juga perlu diwaspadai, dan dampaknya pada ekonomi tentu harus diantisipasi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus